Pasokan Batubara ke PLN Turun, Legislator PKS Minta Pemerintah Amankan Kebijakan DMO

Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Diah Nurwitasari
Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Diah Nurwitasari

Jakarta (11/08) — Anggota DPR RI Komisi VII dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Diah Nurwitasari meminta pemerintah mereview kebijakan terkait penegakkan sanksi kepada perusahaan batu bara yang tidak menaati aturan pemerintah dalam hal kewajiban memenuhi Domestic Market Obligation (DMO).

Di tengah kondisi tingginya ekspor batu bara yang dilakukan oleh para pengusaha Indonesia, terdapat ancaman kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN).

“Ketersediaan batu bara sebagai bahan utama dalam Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) mengalami ancaman kekurangan ketersediaan stok batu bara,” pungkasnya.

Hal tersebut, kata Diah, disebabkan oleh rendahnya kontribusi perusahaan batu bara dalam melaksanakan kewajiban mereka menyediakan kebutuhan domestik (DMO), dalam hal ini untuk kebutuhan PLN.

Dalam kesempatan berbicara, Diah Nurwitasari menanyakan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM RI dan PLN.

“Sebenarnya berapa sih cadangan batu bara PLN hari ini? Saya ingin mengetahui kondisi detailnya seperti apa, apakah dalam kondisi aman atau seperti apa?” tanya Politisi PKS tersebut.

Komisi VII DPR RI bersama Menteri ESDM RI melaksanakan rapat kerja mendadak di tengah masa reses untuk membahas dan mendiskusikan terkait permasalahan tersebut.

Dalam pembukaan rapat, Ketua Komisi VII DPR RI mengatakan bahwa agenda pembahasan mengenai progres realisasi entitas khusus batu bara dan strategi kebijakan pemenuhan DMO.

Legislator dari Fraksi PKS tersebut mempertanyakan terkait implementasi dari strategi pemenuhan DMO yang sudah berjalan.

“Strategi pemenuhan DMO secara konsep sudah cukup baik menurut saya, namun implementasinya yang kemudian menjadi persoalan. Tentu ketika implementasinya tidak baik, maka hasilnya pun demikian,” ungkap anggota DPR RI Dapil Jabar II tersebut.

Menteri ESDM RI dalam paparannya mengatakan bahwa perusahaan cenderung memilih ekspor dibandingkan memasok batu bara ke dalam negeri karena adanya disparitas harga yang signifikan.

“Di mana hal tersebut menimbulkan potensi industri dalam negeri akan mengalami kekurangan ketersediaan stok batu bara. Selain itu disampaikan juga bahwa perusahaan lebih cenderung memilih bayar denda kompensasi karena tarif yang relatif kecil,” jelas Diah.

Politisi yang akrab dipanggil Teh Diah itu mempertanyakan efektivitas dari denda kompensasi yang telah dilakukan tersebut.

“Kalau pak menteri tadi sampaikan bahwa perusahaan lebih memilih bayar denda kompensasi dibandingkan menaati aturan yang ada, maka sudah pasti aturan tersebut kurang tepat dan harus ditinjau ulang,” ujar Diah

Diah juga mengusulkan kepada Menteri ESDM terkait perlunya melakukan penyesuaian terhadap royalty progressive dengan membuat ketentuan baru yang lebih tepat.

“Saya kira kita perlu juga me-review kembali terkait royalty progressive batu bara yang sudah ada. Ke depan kita perlu ada tambahan layer Ketika batu bara misal di atas $200 atau lainnya, bagaimana kebijakannya,” ungkap Politisi lulusan Jerman tersebut.

Diah juga menyampaikan bahwa terkait penegakan sanksi bagi perusahaan yang melanggar harus dipastikan. Disebutkan bahwa perusahaan yang melanggar aturan dikenakan sanksi pemblokiran fitur ekspornya.

“Apa benar sudah di blokir fitur ekspornya? Jangan sampai perusahaan lain yang taat aturan mendapat sanksi lain karena ulah perusahaan-perusahaan yang melanggar aturan tersebut,” tandasnya.

Di akhir penyampaian, Wakil Rakyat dari Kab Bandung – Kab Bandung Barat tersebut menegaskan bahwa meskipun payung hukum belum ada, kita tetap harus mampu mengawal setiap kebijakan yang berkaitan dengan permasalahan ini.