Tanyakan Pada Diri, Apakah Aku Korupsi
Oleh: Ati Yatul Wawaddah (Pemenang Lomba Menulis Cerpen Populer Mukernas PKS)
Sudah beberapa menit jari-jari Kea terpaku di atas keyboard. Terdiam. Khawatir menuliskan sesuatu, antara melanjutkannya atau tidak. Sebagai seorang blogger, Kea merasa memiliki kewajiban untuk berbagi mengenai banyak hal dengan pembaca setianya. Selalu, Kea menceritakan apa yang ada di sekitar, mulai dari keluarga, sahabat, rekan kerja, kawan lama, dan siapapun yang pernah Kea temui atau Kea kenal.
Kali ini, Kea memiliki sebuah ide untuk menuliskan sebuah cerita singkat yang berjudul “Aku Korupsi?”. Semua cerita terlahir dari orang-orang terdekat Kea. Setelah mengikuti rangkaian acara workshop bersama KPK disuatu kesempatan, Kea menobatkan diri bukan hanya sebagai seorang blogger, tapi juga agen KPK. Acara yang membuat Kea paham pada perbedaan perilaku korupsi dan tindakan korupsi tersebut, menggerakkan imajinasi menulis Kea untuk berbagi ilmu tentang korupsi. Bahwa sesederhana apapun perilaku korupsi atau sekecil apapun tindakan korupsi yang kita lakukan, tak akan pernah bisa dibenarkan selamanya.
Pada akhirnya Kea menuliskan realita dengan atas nama fiksi. Sebuah cerita tentang orang-orang yang dikenalnya. Yang semoga bisa memberi ilmu baru bagi kebanyakan manusia, bahwa korupsi begitu dekat, hingga tidak pernah disadari keberadaannya bahwa jutaan manusia melakukannya, baik perilaku korupsi maupun tindakan korupsi.
***
Di cerita pembuka, Kea menuliskan kisah sepupu wanitanya yang sudah berkeluarga, dengan menggunakan nama fiksi tentunya.
Pagi. Di sebuah rumah minimalis kompleks perumahan pusat Kota Jember. Anita, ibu rumah tangga tulen yang sudah 6 bulan menyandang status sebagai seorang istri, sibuk melakukan aktifitas pagi rutin hariannya. Memasak, menata menu sarapan, membersihkan rumah, dan menyiapkan keperluan kerja suaminya. Tepat pukul setengah tujuh pagi, 30 menit sebelum sang suami berangkat kerja, meja makan sudah nampak lengkap dengan menu spesial favorit mereka berdua, nasi goreng, telur gulung, dan omelet daging.
“Mas pulang jam berapa hari ini?” tanya Anita sembari menyendokkan nasi dan lauk ke piring suami tercinta.
“Sepertinya telat, soalnya ada tugas tambahan di kantor. Kenapa dek?” jawab si suami
“Begini, nanti siang ada arisan. Adek mendapatkan info di grup BBM untuk iuran sosial, karena ibu-ibu akan melakukan bakti social,” jelas Anita.
“O… terus?” sang suami mulai mengunyah suapan pertamanya.
“Untuk uang arisan, adek sudah pegang. Tapi untuk iuran sosial, adek belum pegang,” Anita membuat pernyataan dengan suara lembut.
“O gitu, Adek tidak perlu keluar ke ATM. Mas ada uang tunai. Berapa iurannya dek?”
“Lima ratus ribu,”
“Baiklah,” si suami tersenyum penuh cinta.
Di waktu yang sudah dijadwalkan, Anita bersiap dengan pakaian rapi, untuk menghadiri acara arisan bulanan ibu-ibu kompleks. Sesaat sebelum ia melangkahkan kaki meninggalkan gerbang rumahnya, smartphonenya bergetar, pertanda ada pesan masuk.
[Assalamu’alaikum Mbak Anita. Saya telat sekitar 30 menit. Acaranya dimulai saja dulu. O ya, untuk iuran sosial 250ribu, mohon dikoordinir terlebih dahulu. Ibu Sofiah]
Anita membacanya, dan lantas tersenyum. Bibirnya melebar penuh makna.
***
Di cerita selanjutnya, masih menuliskan kisah dari salah satu orang yang Kea kenal. Keberuntungan memiliki profesi yang mulia, ternyata salah dimaknai oleh sikap dan pemikiran kawannya tersebut.
Siang. Di sebuah sekolah yang memiliki kantor (ruang guru-red) cukup luas dengan fasilitas super lengkap. Betty, wanita yang memiliki profesi mulia yakni sebagai seorang guru, asyik duduk menikmati waktu istirahat di depan rentetan gadgetnya. Memainkan handphone, mengotak-ngatik laptop, membaca koran, dan semua itu ia lakukan tanpa beranjak dari kursi ‘empuk’nya.
Tidak terasa, waktu istirahat berlalu, bel berdering keras. Pertanda siang semakin terik, siswa harus masuk kelas untuk menerima materi, dan guru juga harus masuk kelas untuk berbagi materi yang ia miliki ilmunya serta pengetahuannya. Namun, Betty tidak beranjak. Ia masih asyik dengan aktifitas santai siangnya, lengkap dengan cemilan ringan di atas meja. 15 menit berselang, ada seorang siswa yang menghampiri meja Betty.
“Ibu Betty, saat ini ibu ada jam mengajar di kelas saya. XI IPA-2. Ruangannya di TB-3,” ucap si siswa tepat berdiri di depan meja kerja Betty.
“Kamu ketua kelasnya?” tanya Betty seraya memerhatikan wajah si siswa langsung.
“Bukan bu. Ketua kelas kami sakit, saya yang mewakili,”
“Saya titip pesan untuk kelasmu, tolong dicatat ya. Kerjakan LKS halaman 16-20. Dikumpulkan di meja saya,” ujar Betty menugaskan.
“Ibu sakit atau ada tamu?” si siswa bertanya penuh perhatian.
“Ada hal yang harus saya kerjakan,” jawab Betty.
“Baik bu,” balas si siswa disertai senyum dan kemudian pamit pergi. Entah si siswa bahagia atau kecewa mendapatkan tugas dari guru yang mendidiknya.
Hingga jam pulang sekolah tiba, tak ada hal berarti yang dikerjakan oleh Betty. Hanya bercengkerama dengan gadget-gadgetnya. Setelah bel pulang terdengar di seluruh penjuru sekolah, akhirnya Betty beranjak. Merapikan meja kerjanya dan berlalu pulang. Hanya tersisa tumpukan LKS yang ia tugaskan pada para siswa-siswinya.
***
Dan pada akhir cerita, Kea membagikan sebuah kisah klasik dari seorang ghostwriter. Yang Kea pahami betul bagaimana kehidupan dan jam terbang menulisnya.
Sore. Di sebuah kamar kos, pinggiran Kota Jember. Caca, seorang ghostwriter muda terlihat cukup sibuk. Dalam ruangan berukuran 4x4 tersebut, Caca menghabiskan 20 jam waktu yang ia miliki dalam sehari semalam. Seperti biasa pemandangan yang terlihat dari kamar tersebut, kamar mandi, satu set tempat tidur, tumpukan buku, satu set meja belajar, lengkap dengan Caca yang bertengger di atas kursi dengan pandangan seratus persen fokus dan serius pada laptop, tak lupa sebuah headset menempel di telinganya, dan beraneka ragam camilan tepat berada di samping jemarinya yang merangkai sebuah tulisan. Terlihat sepi jika dilihat dari luar, tapi bagi Caca pribadi, hidupnya sudah sangat ramai, dengan dentuman musik dan ribuan kata yang harus ia tulis setiap hari. Cling. Handphone Caca bernada dering bak bunyi tongkat milik para peri dari negeri dongeng itu berbunyi. Sejenak, Caca beralih dari laptop menuju handphone.
[Sist choco, judul yang sudah disetujui kampus sudah aku email. Mohon bantuannya.]
Caca membalas pesan tersebut.
[Baiklah. Proposal penelitian aku kirim akhir bulan. Tanggal skripsi selesai belum bisa aku tentukan, karena aku akan lihat tingkat kesulitan penelitianmu dulu. Terima kasih telah percaya padaku. Choco]
Tanpa menunggu menit, Caca mendapat sebuah balasan.
[Aku percaya padamu sist choco. Uang muka sudah aku transfer sejam yang lalu]
Caca tersenyum dan membalas.
[Oke]
***
Setelah selesai menuliskan masing-masing cerita yang berhubungan dengan korupsi tersebut, Kea pun membagikan cerita pendek yang ditulisnya pada sahabat-sahabat karibnya, Adi, Dilan, Eja, dan Tera. Terjadi perdebatan panjang di antara mereka berlima. Saling mencoba untuk menjelaskan perilaku korupsi yang tak pernah nampak oleh mata manusia.
Malam itu, di sebuah cafe modern di pusat Kota Jember. Kea, Adi, Dilan, Eja, dan Tera memilih duduk di meja yang sama dan menikmati hidangan yang sama pula. Meski sudah hampir satu dekade bersahabat, perselisihan di antara mereka bukan tidak mungkin untuk terjadi.
“Malam ini, aku yang bayar,” Kea membuka obrolan.
“Dapat bonus?” tanya Adi.
Yang lain terlihat diam saja, bergantian memandang sosok dua sahabatnya yang tepat berada di hadapan mereka.
“Hmmm… halal kan Kea?” Adi meluncurkan pertanyaan kedua.
Kea tersenyum, mengerti akan candaan Adi. Yang pasti berhubungan dengan cerpen yang baru saja ia bagikan pada mereka.
“Aku menuliskan kisah itu bukan berarti aku juga turut melakukannya,” sanggah Kea.
Yang lain tertawa melihat keseriusan Kea yang dibuat-buat.
“Mengenai cerpenmu Ke, aku tertarik dengan kisah Anita. Berbohong pada suami sendiri? Minta uang lebih kok pakai cara seperti itu. Seperti anak sekolahan aja, yang bohong uang SPP,” Dilan mulai berkomentar.
Kea, Adi, Eja, dan Tera terdiam sambil menyimak suara Dilan. Bertahun-tahun bersahabat, membuat mereka saling tahu kebiasaan baik dan buruk dari masing-masing individu. Dilan menggebu-gebu, seakan ingin menelan Anita.
“Meski uang suaminya sendiri, yang lelah bekerja demi istri dan keluarga. Tapi tindakan seperti yang Anita lakukan tidak bisa dibenarkan. Meski satu rupiah pun yang digunakan, tetap harus atas ridho dan ijin suami. Itu artinya, si Anita belum paham tentang hak dan tanggung jawab dalam hubungan suami istri. Haduh, bahaya tuh,” jelas Dilan panjang lebar.
Kea bungkam dengan coklat hangatnya, sedangkan yang lain tetap menyimak dan mencari momen yang pas untuk membuka suara.
“Kalau menurutku, Betty yang parah kesalahannya. Seharian dia online. Padahal dia memiliki jadwal jam mengajar yang padat. Meski siswanya sudah diberi tugas sebelumnya untuk mengerjakan LKS. Tapi tetap saja itu pembodohan dan merugikan anak didiknya kan? Betty tidak memiliki alasan kuat untuk tidak masuk kelas. Yang menerima gaji itu guru apa LKS?” Adi juga mulai mengkritik tokoh yang ada dalam cerita pendek yang Kea buat.
“…” Semua terdiam.
Dan akhirnya Eja pun mencoba mengeluarkan kalimat panjang,
“Manusia itu sama-sama harus intropeksi diri. Membohongi suami demi uang tambahan dan tidak menjalankan tanggung jawab dengan benar dalam pekerjaan. Tidak ada yang benar dalam kasus cerita ini, siapapun ternyata bisa menjadi pelaku dari perilaku korupsi. Sederhana mungkin, wajar mungkin, berbohong pada orang terdekat demi seribu dua ribu rupiah, tapi jika dibiarkan terus-menerus maka akan berakibat fatal. Ingat pepatah sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Semua perbuatan baik dan buruk pun sama, juga akan begitu,”
“Bijaknya sahabatku nih,” Tera akhirnya bersuara.
“Dan untuk Caca yang membantu oranglain dalam keburukan. Mengerjakan skripsi oranglain dan akhirnya diakui sebagai skripsi orang tersebut. Itu artinya Caca sudah membantu oranglain untuk malas dan bodoh. Untuk penipuan ilmiah juga. Bukan sebulan-dua bulan dampaknya, tapi seumur hidup. Bagaimana jika orang yang dibantu Caca tersebut lantas menjadi guru anak-anak muda Indonesia, dokter, polisi, atau pilot? Untuk lulus saja pakai jalan pintas,” lanjut Tera.
Kea mencoba mencerna semua obrolan yang sangat menyalahkan tokoh dalam cerpennya tersebut.
“Baiklah, kalian semua sudah mampu melihat kesalahan masing-masing dari tokoh dalam ceritaku. Banyak orang yang terlalu asyik dengan kesalahannya sendiri, disadari ataupun tidak. Tapi malam ini, kita jangan hanya sekedar membahasnya, bahwa sesuatu hal yang salah tidak pernah memiliki alasan yang benar. Setidaknya kita harus berbagi, mengenai sedikit ilmu yang kita ketahui. Dengan harapan semoga tidak ada Anita, Betty, dan Caca yang lain. Kita semua harus tahu, sekecil apapun kesalahan itu, salah tetap salah, dosa tetap dosa. Tidak ada kesalahan yang sepele, semua kesalahan itu serius, dan harus diperbaiki. Bisa aku sebut, tokohku adalah koruptor teri, karena sudah melakukan perilaku korupsi. Dan jangan sampai menjadi koruptor kakap, karena melakukan tindakan korupsi. Setuju?”
“Setuju…” sahut Adi, Dilan, Eja, dan Tera hampir bersamaan.
“Langsung posting di blogmu Ke,” suruh Adi pada Kea.
“Aku akan membuat lagu tentang anti korupsi,” ucap Dilan.
“Kalau aku ingin membuat film tentang anti korupsi,” imbuh Eja
“Aku akan bantu kalian dengan do’a untuk memerangi korupsi,” ujar Tera dan lantas menyeringai.
Yang lain ikut tersenyum atas tingkah Tera yang pasrah di atas kemampuannya. Malam itu pun, kelima sahabat yang larut dengan minumannya masing-masing serta obrolan bersama, menyadari satu hal, ‘Gajah di pelupuk mata tidak nampak, namun debu di seberang lautan begitu nampak’. Seringkali manusia yang satu membutuhkan manusia yang lain untuk menilai, mengoreksi, dan mengevaluasi bagaimana kita menjalani kehidupan ini sebenarnya.
***