Secret Admirer yang Enggak Banget

Oooaaahmm…

Dilan menguap lebar dengan tangan menutup mulut. Sesaat kemudian ia hempaskan punggungnya ke belakang berlabuh di sandaran kursi. Dagunya ia topang dengan telapak tangan dengan siku bertumpu pada lengan bangku. Duduk di tengah kelas, Dilan mengantuk. Merasa bosan dengan kuliah kali ini. Dosen di muka kelas menerangkan pelajaran dengan intonasi yang meninabobokan mahasiswa.

Dan tiba-tiba saja Dilan merasakan getaran di saku celananya. Handphone yang ia setting silent memberi tanda ada pesan masuk. Dilan merogoh saku celananya untuk mengeluarkan HP berlayar 5 inchi yang sejak tadi tak ia sentuh.

Jari telunjuk Dilan menggesek layar handphone dengan sebuah pola. Terlihat ada pemberitahuan sebuah pesan whatsapp diterima. Ketika Dilan mengecek lebih lanjut, kiranya nomor yang tidak ia kenal dan tidak tersimpan dalam phonebook-nya baru saja mengirim sebuah pesan.

“Nomor ini lagi…” Dilan membatin. Sudah sebulan belakangan Dilan diganggu dengan nomor tersebut. Dilan membuka pesan itu.

“Assalamu’alaikum,” begitu pesan itu tertulis. Hanya memberi salam. Tak ada pesan lain. Dahi Dilan berkernyit.

Pemilik nomor itu memang misterius. Berkali-kali menghubungi Dilan, namun tak pernah membuka identitas. Dilan dibuatnya penasaran. Ia merenungi kembali saat-saat awal berinteraksi dengan nomor misterius itu. Ia gulung layar handphone ke atas menuju pesan pertama yang sampai di gawainya empat pekan lalu.

“Assalamu’alaikum. Ini nomor Dilan ya? Aku mau nanya nih Dilan. Soal agama. Kalau aku kena macet di jalan dan gak sempet sholat, hukumnya gimana ya?”

Tanpa memberi tahu identitas, nomor itu menyapa. Isi pesannya kerap berupa pertanyaan tentang agama. Kadang kalau pertanyaannya soal fiqh, Dilan agak berhati-hati menjawab. Bahkan ia sampai memfoto buku yang dijadikan rujukan, tepat di halaman yang mengulas tentang hal yang ditanyakan, lantas gambarnya dikirim ke nomor itu.

Dilan masih berfikir mungkin orang yang punya nomor tersebut sedang dalam pencarian kebenaran. Sedang belajar mendalami Islam. Dilan berharap dirinya dapat menjadi media agar orang tersebut benar-benar berkepribadian Islam. Jadi Dilan ladeni saja semua pertanyaannya tentang agama, meski setelah didesak berkali-kali orang itu tak kunjung membuka identitasnya. Yang penting ia belajar Islam, begitu pikir Dilan.

Tetapi tidak juga selalu tentang Islam yang diobrolkan. Kadang pemilik nomor itu bertanya tentang hal yang remeh. Sedang apa, mikirin apa, hobinya apa, dan pertanyaan lain yang sebenarnya Dilan merasa terganggu ditanyai persoalan pribadi. Kadang pemilik nomor itu curhat hal yang tidak penting.

Setelah sekian lama, akhirnya Dilan mendapatkan sedikit petunjuk mengenai identitas pemilik nomor misterius tersebut. Bahwa dia seorang wanita. Karena pernah ada pertanyaan tentang jilbab kepada Dilan.

“Mana jilbab yang lebih bagus menurut kamu, Dilan?” tanyanya di suatu malam saat Dilan telah berbaring di atas kasur hendak tidur. Dua buah foto dikirim. Yang satu foto wanita berjilbab modis berpakaian ketat, dan satu lagi berjilbab lebar.

“Kamu kenal Kea, teman sekelas aku? Jilbab seperti dia sudah bagus kok,” jawab Dilan.

“Ya aku tau dia. Hmm… Tapi kalau bertahap, boleh?”

“Kamu udah pake jilbab belum?”

“Belum. Doain ya… mudah2an aku segera bisa menutup auratku.”

Dari situ Dilan beranggapan bahwa orang tersebut adalah wanita. Dan tentunya orang itu kuliah satu kampus dengannya. Buktinya orang itu kenal Kea.

Interaksi mereka berdua belakangan malah semakin intens. Semakin diladeni oleh Dilan, semakin agresif nomor tersebut mengajak berdialog. Semua dilakukan melalui aplikasi chatting whatsapp. Tiga pesan terakhir, Dilan dikirimi puisi yang ia tak mengerti maksudnya. Kalimatnya mencerminkan orang sedang galau. Puisi-puisi itu biasanya dikirim saat hujan deras. Kata-kata dalam puisi itu berkisar tentang kerinduan, hujan, perasaan, dan hal-hal lain yang tak dipahami Dilan. Dan Dilan juga tidak menjawab karena tidak tahu harus menjawab apa.

Tak terasa, Dilan telah selesai membaca semua percakapan dengan nomor itu dari handphonenya dan sampai pada pesan terakhir tadi, ucapan salam. Saat Dilan hendak mengantongi handphonenya kembali, sebuah pesan kembali masuk. Dari nomor itu juga.

“Kamu bosen ya dengan kuliah sekarang?”

Dilan terkejut. Darimana orang itu tahu? Apa dia di kelas yang sama?

“Kamu satu kelas dengan aku?” tanya Dilan.

“Hehehe…” Begitu saja jawabannya.

Dilan sontak menengok ke kanan dan kekiiri. Pandangannya menyisir seluruh penjuru kelas untuk mencari seorang wanita yang sedang memegang handphone. Ia beranggapan orang itu tentu sedang memainkan handphone untuk mengajaknya chatting. Tapi semua mahasiswi yang dilihatnya sibuk memperhatikan dosen. Ia terus melacak, menyebar pandangan, mendelikkan mata, hingga sebuah tepukan mendarat di bahunya.

“Aduh, apa Di?” ujar Dilan. Orang yang menepuk bahunya adalah Adi, yang sedang duduk di samping kanannya.

“Itu… Ditanya dosen.” Adi menunjuk ke depan.

Saat Dilan melempar pandangan mengikuti telunjuk Adi, tampak seorang bapak berkacamata memandang ke arahnya dari arah depan kelas.

“Hey… Hey… Perhatikan kesini! Coba kamu ceritakan kembali sejarah internet dari awal yang sudah saya terangkan tadi!” suara bapak itu serak-serak basah.

Dilan terkesiap. Mulutnya menganga. Saking kagetnya ia tidak mendengar suara cekikan di sekitar.

***********

Oh, secret admirer
When you’re around the autumn feels like summer
How come you’re always messing up the weather?
Just like you do to me….

Lagu band Mocca itu mengalun dari laptop Adi. Suaranya memenuhi setiap sudut kamar kosan Dilan yang berukuran 4×5 meter. Adi dan Dilan sedang mengerjakan tugas bersama. Mereka ingin tampil sempurna pada presentasi kelompok besok.

Tengah konsentrasi membuat slide, seperti biasa, pesan dari nomor itu kembali masuk ke handphone Dilan.

“Kamu di mana?”

Pesan itu membuat Dilan merasa terganggu. “Di kosan. Kamu ada perlu apa? Aku lagi konsentrasi kerjain tugas bareng Adi. Kalau tidak terlalu penting, jangan ganggu ya!” tulisnya. Setelah memencet tombol send, ia kembali fokus ke hadapan komputer. Namun handphonenya kembali bergetar diikuti bunyi notifikasi pesan whatsapp masuk.

“Kamu deket banget sih sama Adi.”

“Ya memangnya kenapa? Dia sahabatku kok. Yang jelas aku masih normal, bukan gay.” Dilan meski terganggu, tetap ia tidak bisa mengacuhkan pesan-pesan dari nomor asing itu. Tergoda untuk membaca dan membalas pesan.

“Memangnya gay tidak normal, Dilan? Gay juga manusia lho. Aku punya beberapa kenalan gay. Mereka manusia normal seperti kita kok. Beraktivitas seperti biasa, bergaul dengan orang-orang. Mereka baik-baik.” pesan berbalas.

“Perbuatan homoseksual itu dikutuk Allah. Masak kamu gak tahu? Itu dosa besar lho.”

“Tapi Dilan, intelektual muslim bilang LGBT itu gak dosa.”

Dilan mulai menyadari bahwa orang yang diajaknya berbicara sudah sedemikian rupa terpengaruh pemikiran menyesatkan oleh beberapa pihak. Virus penyesatan itu sangat merusak aqidah. Yang halal dibilang haram, yang haram dibilang halal.

Dan Dilan pun menjawab dengan menceritakan kisah kaum Nabi Luth yang diadzab oleh Allah. Sesekali orang itu menyangkal, lagi-lagi berdasar pada perkataan orang yang mengaku intelektual muslim. Dilan beristighfar berkali-kali. Prihatin dan miris. Ia tak tega juga bila makhluk misterius itu sampai dijerumuskan oleh pihak yang berpikiran Islam liberal.

“Ya… Aku gak kan bisa mendebat kamu Dilan. Kamu memang pinter soal agama. Tapi Dilan, walau kita tidak sependapat, aku ingin menyampaikan sesuatu,” tulis orang itu.

“Menyampaikan apa?” Dilan penasaran.

“Aku suka kamu Dilan.”

Dilan tersentak. Ia tidak menyangka akan “ditembak”oleh gadis ini. “Ah… jangan terlalu jauh begini. Aku cuma menganggap kamu teman. Kamu sering nanya soal agama sama aku. Ya aku jawab. Gak ada perasaan lain. Maaf ya.”

“Iya, aku tahu kamu bakal nolak. Tapi yang jelas aku sudah mengutarakan perasaanku. Sudah lega. Sudah plong. Kalau kamu mau tahu aku, sekarang aku ada di perpustakaan. Kosan kamu gak jauh kan dari kampus? Dateng dong kesini! Biar kamu tahu siapa yang kamu ajak ngobrol selama ini.”

Awalnya Dilan ingin mengacuhkan. Tapi rasa penasaran menggoda. Dan semakin kuat menggoda. Agak lama mempertimbangkan, akhirnya ia pamit kepada Adi keluar kosan sebentar.

Dilan melangkahkan kaki tergesa ke arah kampus yang pintu gerbangnya berjarak 400 meter dari kamar kosannya. Matahari sore itu sudah semakin condong ke barat. Tak terlalu panas. Tapi karena langkah yang tergesa, peluh Dilan terbit juga membasahi keningnya. Hingga akhirnya ia sampai ke dalam ruangan perpustakaan yang ber-ac. Hembusan angin meredakan suhu badan Dilan yang naik. Dilan melempar pandang ke penjuru.

Tetapi tidak tampak mahasiswi yang sekelas dengannya. Dilan menggerakkan kakinya melangkah di antara lorong rak-rak buku. Saat ia berdiri di suatu sudut, sebuah suara menyapanya.

“Kamu cari siapa Dilan?”

Dilan menengok ke arah suara. Bernard. Lelaki jangkung agak kurus berkacamata teman satu kelasnya menatap ke arah Dilan dengan penuh senyum.

“Ah… Enggak…” Dilan grogi. Ia takut bila Bernard memergoki acara perjumpaannya dengan manusia misterius yang rajin menyapa melalui whatsapp sebulan ini.

“Cari aku? Aku yang ngirim pesan ke kamu selama ini, Dilan.”

“APAAAA….”

Suara keras Dilan disambut bunyi “sssstt….” dan protes pengunjung perpustakaan. Ruangan ini harus terjaga dari suara bising.

Badan Dilan lemas. Terasa ingin pingsan.

**********

“Aku juga pengen normal. Tapi perasaan ini kan bukan aku yang minta, Dilan. Allah yang ngasih tanpa aku mau.”

“Iya. Tapi itu sebagai ujian buat kamu. Untuk dilawan. Bukan untuk diikutin.”

Dialog itu terjadi di teras masjid. Setelah terkejut luar biasa, Dilan masih bisa mengendalikan dirinya. Ia ajak Bernard berdialog baik-baik ke tempat yang lebih ramai. Teras masjid dipilih. Kini mereka berdua duduk bersebelahan di atas lantai teras masjid kampus.

“Bernard, kamu ada waktu sekarang? Ikut aku! Ada hal yang ingin aku tunjukin ke kamu.” tukas Dilan.

“Boleh. Aku lagi senggang.” jawab Bernard.

“Tapi aku minta temenin Adi,” Dilan memberi syarat. Mulanya Bernard keberatan. Ia tidak ingin Adi tahu bahwa ia punya kelainan orientasi seksual. Tapi Dilan menjamin bahwa ia dan Adi tidak akan membongkar rahasia Bernard. Dilan sedikit mengancam juga, kalau Bernard tidak mau maka rahasianya akan disebar. Akhinrya Bernard setuju.

Adi ikut shock mendengar cerita Dilan. Tapi ia tidak keberatan menemani Dilan dan Bernard menuju suatu tempat. Rupanya, tempat yang dituju adalah sebuah Rumah Sakit yang banyak menampung pasien penderita AIDS.

Mereka sampai di rumah sakit itu bertepatan dengan jam bezuk. Ada kawan masa kecil Dilan yang mengidap AIDS sedang terbaring di salah satu ruangan. Mereka bertiga masuk ke dalam ruangan itu setelah sebelumnya saat di teras masjid tadi Dilan menelpon temannya meminta izin untuk menjenguk.

Terdapat 4 kasur di ruangan itu. Tiga di antaranya terisi oleh penderita AIDS, dan satu kosong. Dilan berbincang dengan temannya yang terbaring bersama selang infus menjalar di tangan. Tanpa sungkan, temannya Dilan mengaku tertular karena aktivitas homoseksual. Kini ia menyesal. Ada keinginan menjadi normal. Tapi kecenderungan yang ia alami sekarang susah sekali dilawan. Bahkan karena terlanjur AIDS, terpikir untuk bertahan dengan orientasi seksual yang menyimpang itu.

Temannya Dilan juga bercerita bahwa dua pasien lain di ruangan itu semuanya tertular akibat hubungan homoseksual.

Selesai membezuk temannya, Dilan mengajak Bernard dan Adi menemui tante Dilan yang kebetulan bekerja sebagai perawat di rumah sakit itu. Bernard pun berkonsultasi kepada tantenya Dilan.

“Sumpah, saya belum pernah berhubungan badan dengan pelaku homoseksual. Tapi apa kecenderungan saya ini bisa disembuhkan, tante?” Bernard bertanya serius. Terlihat kesungguhan dari matanya.

“Bisa. Kamu catet nomor ini. Kenalan tante, seorang terapis yang sudah menyembuhkan beberapa orang gay,” jawab tantenya Dilan.

Mata Bernard berbinar. Ia mencatat nomor yang didiktekan. 0817225952. Indra Kusumah.

(Pembaca, ini terapisnya beneran ada ya…. Kalau ada kenalan yang ingin sembuh dari kecenderungan gay, sila kontak nomor tersebut)

“Satu lagi. Kalau kamu punya uang, berdoalah di depan Kakbah. Tunaikan umroh. Berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh,” tantenya Dilan memberi saran.

“Insya Allah tante. Saya akan umroh, dan saya akan berobat. Terima kasih tante. Terima kasih Dilan atas bimbingan kamu selama ini. Makasih juga Adi udah nemenin saya ke rumah sakit ini.”

Mata Bernard berkaca meluapkan berbagai perasaan yang bergemuruh di dadanya. Sore itu ada tekad yang membulat dan membaja di hati Bernard. “Bismillahi Allahu Akbar,” bisik Bernard dalam hati.

Oleh: Zico Alviandri

#RelawanLiterasi