Reforma Agraria Melalui Redistribusi Lahan Jadi Tantangan Terbesar Wujudkan Kemakmuran Rakyat

Ketua Bidang Ekuintek-LH DPP PKS 

Memed Sosiawan

Sejak zaman dahulu tanah merupakan salah satu sumber penghidupan penting dalam mewujudkan kemakmuran rakyat. Di masa VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, 1602-1799), berlaku sistem Pembatasan dan Penyerahan (Contingenten dan Leveranties). Kepala-kepala daerah lokal (Inlandsche Hoofden) banyak menjual tanah di wilayahnya kepada VOC. Kebijakan stelsel tersebut dipertahankan sampai masa Gubernur Daendels (1808-1811). Kemudian pada masa Gubernur Raffles, dilakukan penelitian dengan kesimpulan bahwa pada awalnya Rajalah yang menjadi pemilik semua tanah, dan rakyat mendapatkan tanah secara pinjam dengan pembayaran berupa hasil bumi (Upeti). Kecuali jika seseorang dapat membuktikan bahwa dialah pemilik tanah tersebut. Pada zaman Raffles inilah mulai dikenal pajak bumi, atau disebut juga landrent (sewa tanah).

Setelah Perang Dipenegoro (Perang Jawa, 1825-1830) yang mengakibatkan bangkrutnya keuangan Kerajaan Belanda, diberlakukan Sistem Perkebunan (Cultuurstelsel) oleh Gubernur Van Den Bosch. Agar Gubernur mendapatkan uang banyak, maka dalam penyetoran pajak bumi ditetapkan macam hasil bumi yang sangat berharga di pasar Eropa. Cultuurstelsel ini mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1848, namun setelah 1850 nampak kemunduran, dan lambat laun penanaman seperti Nila (Indigo), Tembakau, dan Lada dihentikan pada 1866. Dalam tahun 1854 lahirlah peraturan Regeringsreglement, yang didalamnya ada memuat masalah agraria dalam pasal 62. Dalam pasal tersebut tergambar bahwa meskipun tidak terang-terangan menentang Cultuurstelsel, namun memuat peraturan yang dimaksudkan untuk melindungi rakyat Indonesia terhadap Perkebunan Partikelir (Onderneeming) dan paksaaan dalam pengelolaan tanah. Peraturan Regeringsreglement ternyata tidak memuaskan bagi Perkebunan Partikelir, serta kurang memuat jaminan terhadap hak tanah bagi rakyat Indonesia, sehingga akhirnya lahirlah Undang-undang baru bernama Wet Agraria pada 1870. Wet Agraria ini kemudian dikuatkan oleh ketetapan Raja Belanda yang dikenal dengan sebutan Agraris Besluit (Staatsblad 1870 no. 118).

Dengan adanya Agraris Besluit ini pemerintah Belanda telah menyatakan diri sebagai satu-satunya pemilik seluruh tanah kepulauan Indonesia. Hak milih rakyat atas tanah menjadi harapan yang tergantung diawang-awang. Pernyataan bahwa pemerintah Belanda sebagai pemilik tanah tercantum dalam pasal 1 Agraris Besluit, dengan istilah Domainverklaring. Semua tanah yang tidak mempunyai bukti kepemilikan (Hak Eigendom), adalah milik Pemerintah Belanda. Tanah yang mempunyai pemilik disebut dengan Onvrij Staatsdomein, dan tanah-tanah dipuncak gunung dan hutan-hutan disebut tanah mentah atau Vrij Staatsdomein.

Setelah kemerdekaan 1945, selama Hukum Tanah yang baru belum lahir, maka hampir semua Undang-undang Agraria yang ada adalah warisan jaman Belanda. Dengan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949, maka secara resmi semua kekuasaan termasuk hak atas tanah beralih ke tangan Pemerintah Indonesia. Kontitusi RIS dalam UUDS 1950 telah memuat pokok pikiran dalam pasal 26, bahwa hak milik itu adalah fungsi sosial (tugas yang bersifat sosial kemasyarakatan). Maksud dari pasal tersebut ialah, “bahwa tanah yang telah kita lepaskan dari kekuasaan bangsa asing itu, hendaknya jangan sampai dikuasai oleh segolongan yang mampu daripada masyarakat kita saja, hingga mereka dapat menimbun kekayaan hasil tanah menurut kehendak mereka sendiri, tetapi tanah itu harus benar-benar diusahakan supaya membawa manfaat bagi rakyat seluruhnya sebagai suatu keluarga. Jadi hasil tanah itu hendaknya dipergunakan sedemikian rupa, sehingga tidak semata-mata untuk kepentingan diri sendiri, tetapi memberi hidup bagi masyarakat seluruhnya” .

Sampai sebelum berlakunya UUPA 1960, kondisi Tanah dan Pemakaiannya di Indoesia adalah sebagai berikut:

Hukum tanah di Indonesia akhirnya mengalami perubahan setelah diberlakukannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA), pada 24 September 1960. UUPA mengakhiri berlakunya peraturan hukum tanah kolonial, dan sekaligus mengakhiri dualisme atau pluralisme hukum tanah di Indonesia, serta menciptakan dasar-dasar bagi pembangunan hukum tanah nasional yang tunggal berdasarkan hukum adat sebagai hukum nasional Indonesia yang asli. Dengan lahirnya UUPA, berarti telah terjadi unifikasi hukum tanah di Indonesia . UUPA juga mengandung beberapa konsep tentang Reforma Agraria, antara lain: menjamin kepastian hukum tanah bagi rakyat Indonesia; memberi kemungkinan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa untuk kemakmuran rakyat; adanya azas perlindungan dan larangan monopoli dalam sektor agraria; tanah bukanlah komoditas, namun harus menjadi alat produksi untuk mensejahterkan rakyat; memuat prinsip penataan ruang untuk kemakmuran rakyat.

Selama berlakunya UUPA sampai tahun 1967, sebagai hukum tanah yang tunggal ternyata mampu menjaga dan melindungi proporsi penggunaan dan pemakaian tanah di Indonesia secara optimal, dengan kondisi luasan tanah sebagai berikut: Luas Tanah Pertanian = 62,61 juta Ha; Luas Tanah Perkebunan Swasta – Asing = 2,42 juta Ha; dan Luas Hutan = 123,90 juta Ha. Dalam perkembangan selanjutnya UUPA yang mengatur pertanahan secara tunggal, kembali terpecah dalam berbagai Undang-undang yang terkait dengan pengaturan dan pengelolaan pertanahan, antara lain: UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA); UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan; UU No. 11/1974 tentang Pengairan; UU No. 18/2004 tentang Perkebunan; UU No. 31/2004 tentang Perikanan; UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan lain-lainnya. Dengan terbitnya berbagai Undang-undang yang juga berkaitan dengan pengaturan dan pengelolaan pertanahan, maka semakin banyak terjadi alih fungsi atau konversi lahan dan hak atas tanah secara besar-besaran.

Selama tahun 1950-1985, telah diterbitkan 519 Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Penerbitan HPH tersebut menyebabkan terjadinya konversi tanah hutan menjadi tanah non hutan (Deforestasi) seluas 42,6 juta ha. Selama tahun 1986-1997, diterbitkan 651 HPH. Penerbitan HPH tersebut menambah terjadinya konversi tanah hutan menjadi tanah non hutan seluas 20,5 juta ha. Selama Orde Baru terjadi konversi lahan hutan menjadi non hutan total seluas 63,1 juta ha, artinya prosentasenya adalah sebesar 50,92% dari total luas hutan 123,91 juta ha pada saat akhir Orde Lama setelah berlakunya UUPA. Setelah Reformasi, selama 1998-2013 diterbitkan 132 HPH. Penerbitan HPH tersebut menambah terjadinya konversi tanah hutan menjadi tanah non hutan seluas 15,0 juta ha. Selama masa Orde Baru dan masa Reformasi telah terjadi konversi lahan hutan menjadi non hutan seluas 78,1 juta ha, sehingga prosentase deforestasinya meningkat menjadi 62,9%. Luas kawasan hutan di Indonesia tersisa 45,81 juta ha (37,1%) dari luas semula 123,91 juta ha.

Dari perubahan kawasan hutan menjadi non hutan, maka setelah tonggak pohon kayunya habis ditebang oleh perusahaan pemilik HPH, kemudian tanah non hutan tersebut dialih fungsikan menjadi kawasan perkebunan atau pertambangan. Sampai tahun 2000, luas perkebunan sawit di Indonesia adalah 3,6 juta ha. Setelah terbitnya UU No. 18/2004 tentang Perkebunan, maka pertambahan luas perkebunan sawit melonjak menjadi tiga kali lipat. Pada tahun 2013 luas perkebunan sawit bertambah 10,4 juta ha. Selama masa Reformasi total perkebunan sawit adalah seluas 14 juta ha. Pengelolaan perkebunan sawit dari jumlah luasan tersebut adalah: 51% dikelola oleh swasta – asing; dan 49% dikelola oleh rakyat. Namun hasil pengelolaan perkebunan sawit tersebut sangat berbeda antara produktifitas swasta – asing dengan produktivitas rakyat, perkebunan swasta – asing mampu menghasilkan 8 ton cpo per ha, sedangkan perkebunan rakyat hanya mampu menghasilkan 2 ton cpo per ha.

Selain terjadinya konversi - alih fungsi tanah hutan menjadi tanah non hutan, terjadi pula konversi - alih fungsi tanah pertanian menjadi tanah non pertanian. Dalam sepuluh tahun terakhir yang terjadi adalah masifnya konversi – alih fungsi lahan pertanian, terutama di pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan nasional. Dari tahun 2003 sampai 2013, terjadi konversi lahan pertanian seluas 508.287 hektar: Jawa tengah 202.222 ha; Jawa Timur 167.864 ha; Banten 71.519 ha; Jawa Barat 36.389 ha; DI Yogyakarta 30.302 ha . Masifnya konversi kepemilikan lahan pertanian tersebut meningkatkan jumlah petani gurem menjadi 77,0% dan berpotensi menurunkan produksi beras 3,2 juta ton, jagung 1,6 juta ton, dan kedelai 93 ribu ton.

Dengan terjadinya berbagai permasalahan dikarenakan terjadinya konversi – alih fungsi lahan baik tanah hutan maupun tanah pertanian, disertai dengan bertambahnya jumlah penduduk yang menuntut tersedianya kehidupan menuju kemakmuran, maka diperlukan Reforma Agraria lanjutan. Reforma Agraria merupakan penataan ulang Restrukturisasi Kepemilikan Tanah, Penguasaan Tanah, dan Penggunaan Sumber-sumber Agraria (Gunawan Wiradi 2000). Tujuan dari Restrukturisasi Kepemilikan tanah adalah mengatasi ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Restrukturisasi Penguasaan tanah semakin diperlukan mengingat penguasaan asing atas tanah dan sumber daya alam semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penataan Restrukturisasi Penggunaan tanah juga mendesak dilaksanakan karena kewenangan menentukan peruntukan dan penggunaan tanah adalah kewenangan negara. Reforma Agraria adalah merupakan salah satu pilar dalam pemerataan ekonomi. Prinsip dasar dalam pemerataan ekonomi adalah pemberian kesamaan perlakuan (Equality) dan pemberian aset atau modal (Equity) kepada masyarakat ekonomi lemah. Dengan dilakukannya Reforma Agraria maka diharapkan: terjadi pengurangan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan tanah; mendorong terciptanya sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan berbasis tanah; pengurangan kemiskinan melalui penciptaan lapangan kerja; memperbaiki akses masyarakat terhadap sumber ekonomi; meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; serta diharapkan dapat menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

Reforma Agraria pada tingkat operasional dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya: Legalisasi Tanah dan Redistribusi Tanah untuk mencegah berlanjutnya ketimpangan kepemilikan tanah dan penguasaan tanah, melalui Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA); dan pemberian hak akses, izin, kemitraan dalam Pengelolaan Hutan melalui Perhutanan Sosial. Sebenarnya Pemerintah dalam RPJMN 2015-2019, telah menetapkan bahwa Program Reforma Agraria terdiri dari unsur Legalisasi Aset sebesar 4,5 juta ha dan Redistribusi Tanah sebesar 4,5 juta ha. Pada aspek Perhutanan Sosial, dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat sekitar hutan, memberikan akses dalam bentuk hak pengelolaan hutan, ijin pemanfaatan hutan, dan kemitraan kehutanan. Sementara bagi masyarakat hukum adat diberikan penetapan hak hukum adat. Dalam Nawa Cita Presiden, khususnya pada angka 5 menjanjikan peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan Program Indonesia Kerja dan Indonesia Sejahtera dengan mendorong Land Reform dan Program Kepemilikan Tanah 9 ha. Selama tiga tahun terakhir 2015-2017 program Reforma Agraria yang dijalankan ternyata belum mencapai hasil yang sesuai dengan harapan, beberapa target dan realisasi Reforma Agraria yang tercatat adalah sebagai berikut: dari target fisik Legalisasi Aset sebanyak 7.059.735 bidang, terealisasi 2.889.993 bidang (40,93%); dari target fisik Persertifikatan Redistribusi Tanah sebanyak 304.687 bidang, terealisasi 245.097 bidang (80,44%); pada awalnya Perhutanan Sosial dalam 5 tahun sebenarnya ditargetkan sebesar 12,7 juta ha, namun target tersebut kemudian direvisi menjadi sebesar 4,38 juta ha, dan realisasi dari target Perhutanan Sosial tersebut adalah sebesar 1,173 ha (26,78%).

Potensi sumber pengadaan tanah bagi TORA sebenarnya sangatlah besar. Dari luasan 78,1 juta ha tanah (62,9%) yang telah dikonversi dari tanah hutan menjadi tanah non hutan selama masa Orde Baru dan masa Reformasi, dapat dialokasikan sebagian luasannya menjadi TORA, terutama tanah-tanah yang telah habis masa konsesinya. Sedangkan sebagian besar luasan tanah non hutan sisa lainnya dapat dikembalikan fungsinya menjadi tanah hutan seperti semula yang mendukung kesehatan ekosistim melalui reboisasi, agar luasan hutan di Indonesia yang telah berkurang menjadi hanya tinggal 37,1% dapat meningkat kembali menjadi lebih dari 50%. Perjuangan menghutankan kembali tanah non hutan menjadi tanah hutan adalah merupakan tantangan perjuangan jangka panjang lintas generasi, agar generasi kita yang akan datang tetap dapat hidup dalam lingkungan ekosistim yang sehat, disisi lain Reforma Agraria diantaranya Legalisasi Tanah, Redistribusi Tanah, dan Penghutanan Sosial dapat terus dilanjutkan perjuangannya sehingga rakyat Indonesia semakin meningkat kemakmuran dan kesejahteraannya

[1] Penuntun tentang Hukum Tanah. Astana Buku ABEDE, Semarang 1952. Oleh: S. Poerwopranoto, hal 7.
[2] Ibid, hal 9.
[3] Ibid.
[4] Ibid, hal 6.
[5] Ibid, hal 5.
[6] Pembaharuan Kebijakan Hukum Pertanahan Nasional dalam Sistem Hukum di Indonesia. Oleh: Dr. La Sina, SH, Mhum.
[7]DA. Santosa 2018. Diolah dari Sensus Pertanian 2013.