Ketua DPP PKS: Pertumbuhan Ekonomi Harus Optimis Tapi Tetap Realistis

Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Perdagangan (Ekuin), Dr. Handi Risza.
Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Perdagangan (Ekuin), Dr. Handi Risza.

Jakarta (5/7/2025) — Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Perdagangan (Ekuin), Dr. Handi Risza menekankan pentingnya sikap optimis yang tetap dibarengi dengan kehati-hatian dan realisme dalam menyikapi perkembangan ekonomi nasional. 

Hal ini ia sampaikan menanggapi pembahasan Laporan Realisasi Semester I (Lapsem) dan Prognosis Semester II Pelaksanaan APBN 2025, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2026 yang berlangsung Jumat (4/7/2025).

Menurut Handi, kondisi ekonomi dan keuangan global yang semakin tidak menentu akibat konflik geopolitik dan perang di berbagai kawasan, menjadi faktor kunci yang memengaruhi proyeksi ekonomi nasional ke depan.

“Outlook dan realisasi APBN 2025 akan menjadi acuan dalam menyusun postur APBN 2026. Siklus APBN seperti ini memastikan pembangunan nasional tetap berkesinambungan setiap tahunnya,” ungkap Handi di Kantor DPP PKS, Jakarta.

Tantangan Global, Proyeksi Menurun

Dalam paparan pemerintah, pertumbuhan ekonomi tahun 2025 diperkirakan berada di kisaran 4,7–5,0 persen, menurun dari target awal sebesar 5,2 persen. Koreksi ini dilakukan setelah melihat realisasi kuartal I yang hanya mencapai 4,87 persen.

Lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF juga mencatat tren perlambatan ekonomi di berbagai negara. Indonesia sendiri diproyeksikan tumbuh hanya 4,7 persen—lebih rendah dari prediksi sebelumnya (5,1 persen) dan realisasi tahun 2024 (5,02 persen).

Laporan Economic Outlook Q2-2025 dari LPEM FEB UI bahkan memperkirakan PDB Indonesia tahun ini hanya akan tumbuh sekitar 4,95 persen (y.o.y), menandakan belum pulihnya produktivitas secara signifikan.

Optimisme Perlu Dibarengi Realisme

Meski kondisi global penuh tantangan, pemerintah menunjukkan sikap optimis dalam KEM-PPKF RAPBN 2026, dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2–5,8 persen. Bappenas bahkan mematok angka lebih tinggi, yakni 5,8–6,3 persen. Namun Bank Indonesia lebih berhati-hati dengan proyeksi 4,7–5,5 persen.

“Optimisme tentu penting untuk menjawab persoalan pengangguran, kemiskinan, serta meningkatkan penerimaan negara. Tapi target harus tetap realistis agar tidak menjadi jebakan ekspektasi semata,” ujar Handi yang juga Wakil Direktur CSED INDEF.

Menurutnya, target tinggi tidak akan berdampak jika mesin ekonomi tidak cukup kuat untuk menggerakkan pertumbuhan. Terlebih, IMF dan Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2026 akan stagnan, bahkan menurun—masing-masing hanya 3 persen dan 2,3 persen.

Dorongan Kebijakan yang Tepat Sasaran

Handi menekankan pentingnya kebijakan fiskal dan moneter yang bersifat countercyclical guna menahan perlambatan ekonomi. Pemerintah, kata dia, perlu mendorong belanja yang produktif dan stimulus yang menyasar kelompok miskin, rentan, serta kelas menengah.

“Bantuan sosial, subsidi upah, bantuan pangan, insentif jalan tol, dan subsidi transportasi sangat penting. Mobilitas kelas menengah harus dijaga, sekaligus memastikan kelompok rentan dapat bertahan di tengah pelemahan ekonomi,” jelasnya.

Selain itu, ia mendukung langkah Bank Indonesia yang mempertimbangkan kebijakan moneter ekspansif melalui relaksasi suku bunga acuan (BI rate). Kebijakan ini dapat mendorong permintaan kredit untuk konsumsi maupun investasi, sejalan dengan tren inflasi yang masih cukup rendah.

Menahan Laju Perlambatan Ekonomi

Meski demikian, Handi mengingatkan bahwa kebijakan countercyclical fiskal dan moneter yang ada saat ini belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan secara signifikan.

“Kebijakan-kebijakan tersebut lebih tepat diposisikan sebagai upaya menahan perlambatan ekonomi, agar pertumbuhan tetap terjaga di kisaran 5,0 persen,” tutupnya.