Proyek Cetak Uang Rp 600 Triliun Usulan Banggar DPR ke BI Dapat Memperburuk Kondisi Perekonomian

Oleh: Memed Sosiawan

Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, kemudian kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 agustus 1950, Indonesia langsung dihadapkan oleh beberapa masalah penting, termasuk masalah ekonomi. Perang kemerdekaan telah mewariskan buruknya kondisi ekonomi yang segera menjadi beban dan  harus dipikul oleh republik muda ini. Jatuhnya nilai rupiah dan merosotnya kegiatan ekspor telah meningkatkan laju inflasi dan krisis devisa yang terus berlanjut, bahkan semakin memuncak pada tahun 1954.

Pada kurun waktu 1957-1958, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang semakin berat. Laju inflasi terus meningkat dan terus memperbesar tekanan terhadap posisi cadangan devisa. Secara eksternal, hal tersebut disebabkan oleh resesi di negara-negara industri yang mengakibatkan turunnya permintaan harga bahan mentah sehingga pendapatan hasil ekspor merosot. Secara internal, kondisi ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh ketegangan politik dalam negeri yang memuncak pada kurun waktu 1957-1958 serta keterlibatan Indonesia dalam konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat. Oleh karena permasalahan tersebut, agar pemerintahan dapat terus berjalan, Bank Indonesia (BI) terus melakukan pembiayaan deficit spending pemerintah yang terus meningkat[i].

Krisis ekonomi semakin memuncak terjadi pada tahun 1966, ketika pembayaran pertama dari utang luar negeri selama dua puluh tahun mulai jatuh tempo. Pemerintah mengalami kesulitan membayar karena devisa penghasilan dari ekspor besarnya US$679 juta, sementara itu impor Indonesia yang harus dibayar dalam tahun yang sama besarnya US$527 juta, dan selisih devisa yang ada tidak cukup membayar utang yang jatuh tempo.

Beban utang tersebut diperparah dengan oleh kondisi ekonomi yang tidak berkembang, karena sektor swasta masih kecil dan lemah, Indonesia tidak mempunyai alternatif selain mengandalkan pemerintah sebagai ujung tombak membangkitkan ekonomi[ii]. Terjadinya krisis ekonomi 1966 yang bersumber dari merosotnya kegiatan ekspor yang telah meningkatkan laju inflasi dan krisis devisa, ditambah dengan kurangnya penerimaan negara ditengah upaya membebaskan Irian barat sehingga berkonfrontasi dengan Belanda menyebabkan pembiayaan defisit negara dibiayai oleh BI melalui pencetakan uang baru (inflatory) yang akhirnya semakin meningkatkan inflasi sampai menjadi hiper-inflasi 650%.

Dalam menyelesaikan krisis ekonomi 1966, pemerintah Orde Baru merubah format APBN dari format APBN Anggaran Moneter, yaitu format APBN disatukan dengan anggaran kredit dan anggaran devisa (yang disebut juga sebagai APBN Sosialisme versi Indonesia dari  Orde Demokrasi Terpimpinnya Bung Karno[iii]) menjadi format APBN berimbang dan dinamis yang mempunyai tugas kembar yaitu tugas fiskal dan tugas moneter.

Tugas fiskalnya antara lain, disatu pihak mengadakan penertiban terhadap defisit, namun di pihak lain tetap memungkinkan adanya defisit yang dibiayai tidak secara infaltoir melalui pencetakan uang, tetapi dibiayai melalui pinjaman atau utang luar negeri, yang diberlakukan secara intra budgeter. Proses penertiban defisit diawal Orde Baru berhasil menghilangkan defisit pada 1968, dengan hasil sebagai berikut: Defisit sebesar 173,7% dari pendapatan negara (1965); defisit 127% dari pendapatan negara (1966); defisit 3,1% dari pendapatan negara (1967); kemudian tidak ada defisit (1968)[iv].

Dan tugas moneternya adalah menertibkan inflasi. Dalam lima tahun pelaksanaan APBN berimbang dan dinamis, pemerintah Orde Baru mampu mengendalikan tingkat inflasi dari kondisi hyper inflation menjadi kondisi inflasi yang normal, sebagai berikut: tingkat inflasi 639% (1966); tingkat inflasi 113% (1967); tingkat inflasi 85% (1968); tingkat inflasi 9,9% (1969); tingkat inflasi 4,3%; menjadi tingkat inflasi 3,9% (1970)[v].

Dengan demikian kebijakan pembiayaan defisit negara yang dibiayai oleh BI melalui pencetakan uang baru (inflatory) menyebabkan semakin meningkatkan inflasi sampai menjadi hyper inflation dan semakin membesarkan defisit anggaran karena kemudahan pencetakan uang baru oleh BI. Dua masalah yang menyebabkan krisis ekonomi pada akhir Orde Lama tersebut baru dapat disembuhkan oleh pemerintahan Orde Baru dalam waktu tiga tahun (1966-1968) untuk penertiban defisit anggaran dan dalam waktu lima tahun untuk pengendalian tingkat hyper inflation (1966-1970).

Setelah sukses mengelola utang pemerintah dalam sistem keuangan negara dengan model APBN berimbang dan dinamis selama lebih dari tigapuluh tahun, Indonesia kembali ditimpa krisis ekonomi. Tanda-tanda krisis diawali dengan adanya kebijakan ekonomi terkait dengan deregulasi perbankan yang dikenal dengan Paket Kebijakan Oktober 1988 atau Pakto 88. Paket tersebut adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia. Hanya dengan modal Rp 10 miliar (pada tahun 1988) siapapun dapat mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional. Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.

Sebenarnya Pakto 88 juga memiliki tujuan menggerakkan ekonomi non migas. Dari tahun 1970-an, hingga awal 1980-an, Indonesia sedang jaya-jayanya karena industri migas. Harga minyak yang tinggi menjadikan penerimaan negara surplus. Akan tetapi, setelah harga minyak melemah, pemerintah harus mencari sumber perekonomian yang lain, salah satunya perbankan. Namun disisi lain kebijakan ini juga meningkatkan jumlah uang beredar (M2, Broad Money) secara besar-besaran. Proporsi uang beredar (M2, Broad Money) terhadap GDP, menurut International Monetary Fund, International Financial Statistics and data files, and World Bank and OECD GDP estimates, yaitu rasio Jumlah Uang Beredar (M2, Broad Money) terhadap GDP adalah sebagai berikut: pada tahun 1988 (30,072%); tahun 1990 (43,637%); tahun 1997 (55,999%), dan tahun 1998 (59,86%). Jumlah uang beredar selama 1988 adalah 30,0772% dan meningkat tajam menjelang sampai terjadinya puncak krisis pada 1998 menjadi 59,86%.

Ketika krisis mulai kembali melanda Indonesia pada pertengahan 1997, kondisi keuangan negara sebenarnya tidak terlalu buruk. Pada tahun 1996, APBN mencatat surplus 1,9% dari PDB, utang luar negeri pemerintah adalah US$55,3 miliar atau 24% dari PDB, sedangkan utang dalam negeri tidak ada.  Krisis mengubah itu semua, defisit anggaran serta merta membengkak dan utang pemerintah meningkat tajam. Pada tahun 1998, tahun paling kelabu dalam krisis, Indonesia mengalami kombinasi penyakit ekonomi yang paling fatal, yaitu: sektor riil yang macet dan terjadinya hyper inflation. Pada tahun itu PDB Indonesia anjlok sekitar 13%, inflasi mencapai 78% dengan harga makanan meningkat lebih dari dua kali lipat, kurs melonjak-lonjak tidak menentu (dari Rp 3.000,00 menjadi Rp 16.000,00 per US$), dan serta merta anggaran negara berubah dari surplus menjadi defisit 1,7% dari PDB[vi].

Rasio utang terhadap PDB juga meningkat tajam, utang pemerintahan yang telah ada era Presiden Soeharto (1998) selama kurang lebih 25 tahun memimpin, tercatat jumlah utang pemerintah di kisaran Rp 551,4 triliun dengan rasio 57,7% terhadap PDB. Selanjutnya, era Presiden BJ Habibie (1999) sesaat setelah redanya krisis ekonomi, besarnya utang pemerintah menjadi sekitar Rp 938,8 triliun atau bertambah Rp 387,4 triliun. Rasio utang pada saat itu melonjak menjadi 85,4% terhadap PDB.

“Proyek Cetak Uang Rp 600 Triliun” usulan Banggar DPR ke Bank Indonesia beberapa hari yang lalu akan dapat memperburuk kondisi kesehatan perekonomian pada masa mendatang. Pencetakan uang baru di Amerika dipatok hanya sebesar 3% dari jumlah penerimaan negara, sedangkan pencatakan uang baru di Italy dan Yunani dipatok sebesar 10% dari jumlah penerimaan negara. Kalau dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020, tercatat besarnya penerimaan negara adalah sebesar Rp. 2.233 Triliyun, maka jumlah pecetakan uang baru yang rasional adalah sebesar Rp. 66,99 Triliun sampai dengan Rp. 223,3 Triliun. Jadi usulan pencetakan uang baru sebanyak Rp 600 Triliun dari Banggar DPR ke Bank Indonesia adalah sangat tidak rasional.

Peningkatan jumlah uang beredar baik melalui kebijakan pencetakan uang baru dan kebijakan pelonggaran likuiditas untuk membiayai defisit anggaran merupakan sumber utama meningkatnya inflasi, membengkakan defisit anggaran, dan meningkatkan rasio jumlah uang beredar terhadap PDB, serta meningkatkan rasio utang terhadap PDB. Peningkatan defisit anggaran masa Orde Lama baru dapat diredam selama tiga tahun pemerintahan Orde Baru, peningkatan inflasi menjadi hyper inflation masa Orde Lama baru dapat dinormalkan selama lima tahun pemerintahan Orde Baru, dan peningkatan jumlah uang beredar terhadap PDB masa Orde Baru dapat dikembalikan normal dibawah 40% setelah sepuluh tahun pemerintahan Reformasi, serta tingginya rasio utang terhadap PDB masa Orde Baru juga baru dapat disehatkan dibawah 30% setelah sepuluh tahun pemerintahan Reformasi (Jakarta, 05 Mei 2020. Bidang Ekuintek-LH. DPP PKS).

[i] Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia, 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1953 - 1959. Hal 2.

[ii] Radius Prawiro, Kebijakan Fiskal: Berutang Melampaui Ambang Kemiskinan, Mencari Solusi Kolaboratif bagi Krisis Utang Indonesia. Jakarta, Penerbit Kompas, 2004. Hal 315.

[iii] Frans Seda, Kebijakan Fiskal: Kebijakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) Berimbang dan Dinamis. Jakarta, Penerbit Kompas, 2004. Hal 67.

[iv] Ibid. Hal 68 dan 79.

[v] Ibid. Hal 76 dan 80.

[vi] Budiono, Kebijakan Fiskal: Kebijakan Fiskal, Sekarang dan Selanjutnya. Jakarta, Penerbit Kompas, 2004. Hal 44.