Perlindungan Pekerja Migran

Telah dimuat di Harian Republika 
Edisi Senin, 21 Desember 2015, Hal 6 Kolom Opini


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 4 Desember 2000 resmi mencanangkan Hari Buruh Migran Internasional setiap 18 Desember. Kebijakan ini diambil seiring semakin meningkatnya jumlah pekerja migran di seluruh dunia dan bertepatan dengan 10 tahun diadopsinya Resolusi 45/158 tentang Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Keluarganya.

Penetapan Hari Buruh Migran Internasional ini merupakan langkah signifikan bagi perlindungan buruh migran yang dinilai telah berkontribusi nyata bagi perbaikan ekonomi di negara asal maupun negara tujuan. Hari Buruh Migran Internasional juga menjadi momentum membangun kesadaran masyarakat untuk menghargai hak-hak dasar pekerja migran. Apalagi saat ini migrasi dan bekerja di luar negara bukan lagi tren dalam pola hubungan masyarakat dunia, tapi telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari di era globalisasi.

Data UN Desa 2013 menunjukkan, ada 232 juta orang yang bermigrasi dari satu negara ke negara lainnya dengan 49 persen di antaranya adalah wanita. Dengan kata lain, 30 persen warga dunia adalah para migran.

Indonesia tak terlepas dari migrasi internasional. Dalam sejarahnya, migrasi penduduk sudah sejak lama. Sebelum Perang Dunia II banyak warga negara Indonesia bermigrasi ke Malaysia untuk bekerja di perkebunan dan meluas ke Singapura, Eropa, Amerika Selatan, dan Australia sebagai kru kapal setelah Perang Dunia II. Memasuki era Orde Baru, tepatnya pada 1966, migrasi lokal (transmigrasi) dan internasional memainkan peran penting bagi perekonomian Indonesia.

Pada 1970-an, pekerja wanita Indonesia mulai diberangkatkan ke negara-negara Timur Tengah yang secara resmi di bawah tanggung jawab pemerintah sejak 1975. Hingga kini, lebih kurang 4 juta penduduk Indonesia berada di 131 negara sebagai pekerja migran.

Data Puslitfo BNP2TKI 2015 pada Januari hingga November menunjukkan, ada 253.084 pekerja migran asal Indonesia yang diberangkatkan dengan komposisi 60 persen wanita dan 40 persen pria. Mayoritas mereka bekerja di Malaysia (89.799), Taiwan (68.508), Arab Saudi (21.131), Singapura (18.437), dan Hong Kong (14.076). Selaku salah satu negara pengirim pekerja migran terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah meneken Konvensi Internasional Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran dan Keluarganya sejak 1993, tapi baru meratifikasi untuk diadopsi dalam UU Perlindungan Pekerja Migran pada 2012.

Indonesia sendiri punya aturan terkait perlindungan terhadap pekerja migran, yakni UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Namun, UU ini masih belum mampu mengatasi permasalahan terkait perlindungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Data Puslitfo Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) 2015 menunjukkan, pada 1 Januari-31 Desember 2014 tecatat 3.953 kasus terjadi terhadap TKI. Sebagian besar mengenai TKI yang ingin dipulangkan (818), gaji tidak dibayar (514), meninggal di negara tujuan (496), putus hubungan komunikasi (359), pekerjaan tidak sesuai kontrak (234), sakit (175), gagal berangkat (136), ilegal rekrutmen (110), tindakan kekerasan oleh majikan (105), dan kecelakaan (93).

Banyak juga di antara TKI yang terancam hukuman mati. Data Direktorat Perlindungan WNI/BHI Kemenlu pada 2012 menunjukkan, terdapat 253 orang yang terancam hukuman mati dengan berbagai sebab. Negara tujuan terbanyak memberikan ancaman hukuman mati adalah Malaysia dan Arab Saudi.

Lemahnya perlindungan TKI tak terlepas dari regulasi. UU No 39 Tahun 2004 lebih banyak mengatur mengenai penempatan TKI daripada tentang perlindungannya (jumlah pasal yang mengatur perlindungan hanya delapan pasal (tujuh persen) dari 109 pasal. Sedangkan, pasal yang mengatur penempatan ada 66 pasal (38 persen) dari 109 pasal sehingga konsentrasi UU ini adalah pengaturan penempatan bukan perlindungan.

Penataan pasal yang kurang dalam hal perlindungan dan berlebihan yang mengatur masalah penempatan menyebabkan TKI menjadi komoditas yang diabaikan hak-hak dasarnya. Hal lainnya adalah inkosistensi pasal-pasal terutama yang berkaitan dengan, pertama, kewajiban pemerintah menjamin terpenuhinya hak-hak TKI yang berangkat melalui PPTKIS dan secara mandiri, tapi di bagian perlindungan sebagian besar kewajibannya dilimpahkan kepada PPTKIS, yakni melindungi TKI sesuai perjanjian penempatannya.

Kedua, pada Bab IV tentang Pelaksanaan Penempatan TKI di Luar Negeri, pemerintah juga merupakan pelaksana penempatan, tidak ada diatur lebih lanjut kewajiban untuk melindunginya. Ketiga, juga tidak diatur tentang bagaimana bila pemerintah tidak melaksanakan perlindungan yang diwajibkan (sanksi) bila pemerintah pihak yang menempatkan. Pelimpahan peran yang besar terhadap PPTKIS membuka peluang biaya penempatan berlebih (overcharging) dan pemerasan terhadap TKI.

DPR melalui Komisi IX sejak 2013 sudah mencoba merevisi UU No 39 Tahun 2004, tapi hingga masa jabatan periode 2014 berakhir hingga kini tidak kunjung selesai. Revisi UU ini sangat penting dalam melindungi pekerja migran Indonesia di luar negeri khususnya pada sektor informal dan pelaut yang banyak menjadi korban kekerasan, penipuan, perdagangan manusia, pemalsuan, tidak dibayar karena lemahnya sistem perlindungan dan pengawasan.

UU ini juga nanti juga diharapkan memberikan aturan jelas tentang kelembagaan karena keberadaan BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja masih tumpang tindih, peran pemerintah daerah sangat minim, khususnya dalam meningkatkan kualitas dan kompetensi calon TKI sehingga bisa digaji murah.

Dengan peningkatan kompetensi, pekerja migran Indonesia dapat terampil dan memiliki posisi tawar dan digaji besar. Pemerintah sudah seharusnya menghentikan pengiriman pekerja migran ke negara yang tidak memiliki sistem perlindungan dan iktikad baik membuat memorandum of agreement (MoA) karena akan mendatangkan risiko dalam melindungi pekerja migran.

Di samping itu purna TKI juga harus menjadi perhatian. Mereka yang sudah kembali ke Tanah Air harus mendapatkan pendampingan dan pembinaan agar tak menjadi TKI seumur hidup. Pemerintah bisa memberdayakan mereka dalam pembangunan sosial dan ekonomi.

Karena itu, PKS mendorong terwujudnya kehadiran dan kepedulian negara secara nyata dalam memproteksi pekerja migran Indonesia. Salah satunya melalui regulasi yang mampu menjawab seluruh permasalahan pekerja Indonesia.

Percepatan pembahasan revisi UU No 39 Tahun 2004 menjadi UU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri seharusnya diprioritaskan. PKS berpendapat, negara harus mampu menciptakan pekerja Indonesia di luar negeri yang siap bekerja, baik dari segi keterampilan, kelengkapan dan keaslian dokumen, kesiapan fisik dan psikis, serta mendapatkan informasi menyeluruh tentang negara penempatan.

Terkhusus dengan diresmikannya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015, peluang dan tantangan makin terbuka luas bagi generasi produktif Indonesia, maka diharapkan peranan pemerintah semakin nyata lagi dalam memberikan perlindungan.

Mempersiapkan tenaga kerja yang tangguh tidak hanya difokuskan kepada calon TKI, tapi juga keluarganya sehingga tercipta kekuatan ekonomi paripurna. Hari Buruh Migran Internasional sejatinya momentum tepat bagi memperkuat komitmen kita dalam berkhidmat untuk pekerja migran. Wallahu a'lam.

Ledia Hanifah Amalia
Ketua Bidang Pekerja Petani dan Nelayan (BPPN) DPP PKS

Sumber: Koran Republika