Oposisi Politik

Sejatinya konsep “oposisi politik” tak dikenal dalam negara yang menganut sistem presidensial, macam Indonesia ini. Dia ada dalam negara yang mengambil bentuk pemerintahan bercorak parlementer. Dalam sistem presidensial, kedudukan kepala pemerintahan kokoh karena beroleh dukungan langsung dari rakyat lewat pemilihan presiden secara langsung. Jatuh bangun pemerintahan tidak ditentukan oleh seberapa besar dukungan politik terhadap pemerintah di parlemen. Jadi, aneh jika ada presiden di sebuah negara yang menganut sistem presidensial berhasrat betul meraup dukungan suara jumbo dari parlemen. Ini namanya, sistem presidensial rasa parlementer.

Namun faktanya publik kadung melabeli pihak yang berseberangan dengan pemerintah sebagai oposisi politik. Bisa jadi labelling ini, diluar persoalan salah kaprah tadi, terbangun lantaran ada fungsi controlling (pengawasan terhadap pemerintah) yang melekat dalam parlemen, disamping legislasi (pembuatan undang-undang), budgeting (pembuatan anggaran), dan political representation (perwakilan politik). Sekali lagi, sekeras apapun fungsi controlling itu dijalankan, dalam skema sistem presidensial, jauh dari kata kehendak menjungkalkan pemerintah. Jadi, tak perlu paranoid terhadap partai yang mengambil sikap dan konsisten beroposisi politik.

Tak perlu pula berpayah-payah memperbesar koalisi pemerintahan di parlemen, seperti saat ini dimana partai koalisi pemerintahan menguasai 471 kursi atau 81,9 persen dari 575 kursi di DPR.  Sedangkan partai oposisi, yakni Demokrat yang memiliki 54 kursi dan PKS sebanyak 50 kursi, total kursi keduanya adalah 104 atau hanya 18,1 persen dari keseluruhan kursi di parlemen.

Komposisi terlampau jomplang ini jelas memperlemah check and balances dalam skema sistem politik demokrasi yang kita anut. Minimnya controlling dari parlemen ini berdampak fatal pada akhirnya, seperti kualitas demokrasi terpuruk, tingkat korupsi yang mengkhawatirkan, penanganan pandemi Covid-19 yang berlarut, gurita oligarkhi politik dan ekonomi, dan lain sebagainya. Sinyalemen Lord Acton menemukan pembenarannya, “Power tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely.”

Lalu kita beranjak ke topik oposisi politik sebagai salah satu isu strategis, dari lima isu strategis,  yang bisa dimanfaatkan untuk menggapai target 15% suara nasional. Pijakannya adalah data hasil survei AKSES di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Banten beberapa waktu lalu. Geledah opini publik dengan 1.200 responden di setiap provinsi itu bertajuk Survei Peta Politik dan Perilaku Pemilih Pemilu 2024, menggunakan metode Multistage Random Sampling.

Apa temuan terpenting dari survei tersebut bagi PKS? Jawabannya adalah “Kesukaan publik  terhadap partai oposisi belum berkorelasi positif terhadap nilai elektabilitas PKS.” Di empat provinsi lokasi survei tersebut signifikan jumlah reponden yang suka kepada partai politik yang bersikap oposisi terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Rata-rata separuh responden menyukainya. Namun, penting untuk diulangi lagi, kesukaan terhadap partai oposisi nyatanya belum berkorelasi positif terhadap nilai elektabilitas PKS.

Padahal PKS adalah partai pertama, terdepan, dan konsisten dalam bersikap oposisi sepanjang dua periode masa jabatan Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Di Jawa Timur ada 47.7% responden suka partai oposisi, namun elektabilitas PKS adalah 6.1%. Di Jawa Tengah ada 53.4% responden suka partai oposisi, namun elektabilitas PKS sebesar 8.0%. Di DI Yogyakarta ada 62.0% responden suka partai oposisi, namun elektabilitas PKS senilai 11.1%. Dan di Banten 54.9% responden suka partai oposisi, namun elektabilitas PKS sebanyak 14.2%.

Jadi, faktanya adalah ada gap (kesenjangan) relatif besar antara kesukaan publik terhadap partai oposisi dengan nilai elektabilitas PKS yang sekali lagi sebagai partai pertama, terdepan, dan konsisten dalam bersikap oposisi sejauh ini.

Pertanyaan elementernya adalah mengapa terjadi kesenjangan tersebut? Ada dua   kemungkinan penyebab. Pertama, publik minim pengetahuan perihal sikap politik yang diambil PKS alias ada masalah serius dalam soal komunikasi politik ke publik. Sinyalemen ini patut menjadi perhatian jika kita menengok hasil survei di Provinsi Banten. Saat ditanyakan partai politik apa yang menurut penilaian responden yang bersikap oposisi, tiga besarnya adalah PKS (36.5%), Gerindra (15.8%), dan Demokrat (11.7%). Di sini, Gerindra adalah fenomena menarik, yakni sebagai partai penguasa namun dipersepsikan juga sebagai partai oposisi. PKS yang terdepan dan terkemuka dalam garis oposisi politik tak meraih bahkan oleh separuh responden sekalipun.

Kedua, soal wacana yang diproduksi dalam arus besar hegemoni koalisi pemerintahan. Di sini relevan mendiskusikan soal kontekstualitas wacana yang dikeluarkan oleh elite partai yang terkait dengan isu-isu substansial yang relevan dengan kepentingan publik. Ada banyak isu substansial yang bisa dikelola untuk meraih simpati publik. Sebagian diantaranya sudah disinggung di atas. Seperti kualitas demokrasi yang terpuruk, tingkat korupsi yang mengkhawatirkan, penanganan pandemi Covid-19 yang berlarut, gurita oligarkhi politik dan ekonomi, dan lain sebagainya. Dan, ini yang maha penting, apa tawaran solusi dari PKS. Dalam konteks produksi wacana ini, boleh jadi publik mempersepsikan dan menilai oposisi PKS sebagai antara ada dan tiada. 

Dalam sisa waktu sekitar 2,5 tahun menuju 2024 ini tak pelak harus memanfaatkan kesukaan pemilih akan partai politik yang bersikap oposisi dengan cara publikasi massif bahwa PKS adalah partai oposisi. Tentu saja bukan sekadar asal beda, tapi konstruktif dan solutif.

Kamarudin, founder AKSES School of Research