Mempertanyakan Politik Pangan Jokowi

Oleh Riyono (Ketua Bidang Tani dan Nelayan DPP PKS)

Semarang - Hari pangan sedunia 5 oktober memang sudah hampir sebulan lewat. Pangan sebagai problem utama rakyat memiliki porsi hampir 70% dalam kehidupan rakyat. Jika pangan terpenuhi maka keluarga akan kuat dan negara berdaulat. Kepemimpinan Jokowi selama 7 tahun berjalan faktanya urusan pangan menjadi sumber kegaduhan nasional yang berujung kepada silat lidah para pemangku kepentingan.

Program cetak lahan 1 juta Ha yang ternyata hanya berjalan 50%, tolak impor beras yang ujungnya selama Jokowi beras impor hampir 10 juta ton masuk ke Indonesia, food estate yang oleh para pakar diragukan ternyata juga stagnan, belum lagi kemampuan menjaga ketersedian pangan melalui Bulog yang justru membuat Bulog merugi ratusan milyar. Lalu apa sebenarnya agenda politik pangan Jokowi?

Jargon vs Kebijakan Impor

Memang tidak mudah merealisasikan janji Stop Impor Pangan. Janji ini keren dan menyihir publik seolah berani dan berdaulat. 2 periode berjalan ternyata Jokowi tidak mampu merealisasikan janji ini. Perdagangan pangan global saat ini menuju titik ketimpangan serius, arus barang produk pangan mengalir keras dari negara maju ke negara berkembang dan miskin dengan tujuan utama "mematikan" kedaulatan panganya.

Ketergantungan menjadi target mereka, negara maju melihat negara berkembang sebagai market empuk sekaligus mengunci dengan harga pangan yang semakin mahal.

Dikutip dari bisnis.com indeks Harga Pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO Food Price Index/FFPI) pada April bertengger di 120,9 poin atau naik 1,7 persen dibandingkan dengan indeks pada Maret 2021. Indeks ini juga 30,8 persen lebih tinggi dibandingkan dengan April 2020.

Kenaikan pada April juga menjadi indikasi tren harga pangan yang terus merangkak dalam 11 bulan terakhir, sekaligus memecahkan rekor  indeks tertinggi sejak Mei 2014.

FAO melaporkan kenaikan pada April disumbang oleh naiknya sejumlah komoditas. Kontribusi kenaikan terbesar berasal dari gula, minyak nabati, daging, produk susu, dan serealia. Dari kelompok komoditas tersebut, sebagian diimpor Indonesia dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri.

Sebagai contoh, Indonesia telah mengimpor 1,19 juta ton gula mentah selama Januari–Februari 2021 dengan nilai US$471,35 juta untuk memenuhi kebutuhan industri dan konsumsi. Jika dirata-rata, maka harga gula mentah impor berada di kisaran US$0,39 per kilogram (kg). Adapun pada periode yang sama tahun lalu, impor gula mentah mencapai US$239,68 juta dengan volume 699.878 ton dengan harga rata-rata saat itu US$0,34 per kg.

Kenaikan harga juga tecermin dari importasi biji kedelai yang secara volume naik 10,04 persen dari 403.875 ton pada Januari–Februari 2020 menjadi 444.434 ton pada 2021. Namun dari sisi nilai impor, kenaikan mencapai 36,47 persen dari US$164,53 juta menjadi US$224,54 juta pada periode tersebut.

Laporan FAO diatas memberikan gambaran betapa tidak berdayanya Indonesia ditengah serbuan produk pangan impor yang sudah sampai pasar rakyat dan bahkan pasar gelap. Slogan stop impor pangan baru menjadi jargon politik belum menjadi kebijakan politik serius yang ditepati oleh Jokowi. Akhirnya impor menjadi senjata ampuh untuk memenuhi pangan nasional.

Kondisi ke depan impor akan semakin meningkat karena lahirnya UU 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja tidak menjadikan produksi dalam negeri sebagai cara utama memenuhi pangan, tetapi impor akan didahulukan dengan alasan "kondisi tertentu". Bahkan di tengah pandemi yang petani mampu produksi beras dan bahkan surplus di bulan mei rakyat dikejutkan dengan kebijakan impor yang karena tekanan publik akhirnya Jokowi membatalkan. Aneh bin ajaib bulan juli ada beras impor masuk 40.000 ton, ketidakmampuam menahan impor ini memberikan sinyal bahwa ada kekuatan dibalik kebijakan impor yang membuat pangan kita semakin tergantung dengan impor. Apa gak boleh impor? Boleh saja, hanya pemimpin itu ditagih janjinya karena itu hutang ke rakyat. Harus dibayar dengan kebijakan, bukan dibayar dengan lanjutan impor. Sampai kapan rakyat terus di

Mampukah kita Berdaulat?

Jawabannya mampu. Produksi nasional beras khususnya selalu surplus kisaran 1 - 2 juta ton/tahun. Beras cadangan nasional yg di simpan Bulog dengan volume 2 juta ton untuk kebutuhan cadangan jika terjadi paceklik dan gagal panen nasional. Faktanya beras Bulog banyak tidak tersalurkan, bahkan rusak di gudang dan menimbulkan kerugian ratusan milyar. Fakta lain juga tidak ada kebutuhan ekstrim pangan selama 20 tahun terakhir yang mengakibatkan kelarapan rakyat. Lalu jika kondisnya begitu kenapa kita harus impor? Kepentingan rente dan oligarki yang berujung kerusakan politik pangan nasional. Saatnya kita sekarang berani menyatakan Indonesia berdaulat pangan.

Tingkatkan serapan produk lokal, benahi tata niaga produk startegis nasional seperti beras, jagung, gula, garam, ikan dengan kebijakan yang menstimulan umkm serta industri berbasis modal dalam negeri. Kenapa Vietnam mampu terus menjadi sumber impir beras Indonesia? Karena selain produksi berlebih pemerintahnya melindungi petani dengan maskimal, alih teknologi semakin maju, petani semakin sejahtera. Nelayan - nelayan cina yang menangkap ikan illegal di Laut Natuna Utara saja dimodali negara dengan kapal dan sistem usaha yang saling menguntungkan. Nelayan Indonesia menangkap ikan malah takut ke keamanan laut karena takut kena pungli. Ironi dan beda kelas dalam berdaulat. Soal berdaulat ini kadang bukan soal produksi semata, namun juga soal politik dan kemauan pemimpin soal kebijakan yang pro kepada nasionalisme bidang pangan. Selama ini kita belum menemukan keberanian dalam kebijakan, baru berani dalam slogan dan pencitraan.

Akhirnya terbang jauh makna kedaulatan, yang mendarat justru impor dan menjadikan Indonesia sawah impor dengan segala kebebasaannya. Jangan mau terjebak definisi berdaulat model FAO yang semata berorientasi kepada row material yang justru memjadikan FAO gagal mengatasi kelaparan internasional dengan gagalnya menjaga keseimbamgan pangan global. Seolah FAO menikmati orang yang mati di Afrika setiap 4 menit sekali, namun justru diam melihat 300.000 orang kegemukan tiap tahun di Amerika. Jadi, saatnya Indonesia berdaulat. Berani kurangi impor secara signifikan, tegakkan hukum bagi para pemburu rente pangan, pemimpin menjadi contoh bagi pengembangan produk lokal, perkuat kapasitas industri dalam negeri, bergerak bersama dalam wujudkan daulat pangan nasioanal. Yakin Indonesia bisa berdaulat, 1984 kita telah membuktikan.

Petani Kunci Kedaulatan

Pemerintahan Jokowi sudah jalan 7 tahun. Waktu yang cukup untuk membuktikan mampu menjadikan petani sejahtera. Faktanya masih jadi mimpi petani, banyak janji yang belum ditepati. Salah satunya beridirinya Bank Petani dan Nelayan Indonesia sebagai wujud hadirkan kedaulatan pangan yang didahului kesejahteraan petani. Petani sejahtera apa wujudnya? Ukuran NTP sebenarnya sudaj tidak relevan. Indeks bayar dan indeks yang diterima petani selalu saja tidak mampu memberikan gambaran serius kondisi ideal petani. Waktunya memasukkan indeks pendidikan anak sebagau tolok ukur kesejahteraan petani. Petani sejahtera itu punya anak yang kebutuhan pendidikannya terpenuni dari dasar sampai pendidikan tinggi. Inilah kunci kesejahteraan petani yang harus didorong oleh pemerintah. Petani apapun kondisinya saat ini mampu bertahan dan "sukses" sebagai juara ditengah pandemi dengan kontribusi positif kepada perekonomian nasional. Jadi kalau mau negara Indonesia maju maka majukan petani, jadikan sebagai subyek dalam pembangunan nasional. Cetak petani muda, jadikan mereka wirausahawan nasional yang ini sesuai jati diri sebagai negara agraris. Inilah kuncinya.