Jadi Saksi Fakta Uji Formil Perppu Ciptaker, Legislator Sampaikan Lima Poin Penting
Jakarta - Anggota Badan Legislasi DPR RI dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah menjadi Saksi Fakta pada Pengujian Formil Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/8).
Dalam kesempatan tersebut, Ledia bertindak sebagai saksi pemohon yang mewakili 15 serikat pekerja dalam perjuangannya menolak Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law Ciptaker yang sempat menjadi kontroversi beberapa waktu yang lalu.
“Beberapa hal yang perlu dijelaskan ialah terkait dengan proses karena ini uji formil. Maka saya menjelaskan bagaimana kita (DPR) melakukan proses (penyusunan undang-undang) tersebut,” ujar Ledia.
Di hadapan hakim konstitusi, Ledia menyampaikan berbagai kesaksian yang menunjukkan disahkannya Perppu Cipta Kerja cacat formil.
Ledia turut menjelaskan bahwa Perppu tersebut disahkan menjadi undang-undang bukan pada masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan oleh pemerintah.
Persoalan lain, penerbitan Perppu ini dinilai tidak memenuhi syarat adanya ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’.
Padahal, putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 mengamanati soal-soal kegentingan yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan sebuah Perppu, salah satunya terdapat poin yang telah disebutkan di atas.
“Pemerintah menyatakan penerbitan Perppu Cipta Kerja merupakan respon atas kebutuhan mendesak menghadapi berbagai ancaman keterpurukan ekonomi. Namun kami melihat kondisi perekonomian Indonesia masih cukup stabil dibuktikan dengan tren pertumbuhan yang menyentuh angka 5,72 persen pada triwulan III-2022,” papar Ledia.
Lebih lanjut, Ledia juga menyatakan bahwa penerbitan Perppu Ciptaker mengabaikan putusan dan tidak mengakomodasi poin-poin perbaikan yang diperintahkan oleh MK.
“Saya memandang pemerintah dalam hal ini presiden tidak memberikan kejelasan pada mekanisme perbaikan dan pengkajian undang-undang dan memilih untuk mengeluarkan Perppu yang sama sekali tidak menuntaskan permasalahan, alih-alih mengevaluasi secara menyeluruh sesuai dengan koridor perbaikan yang telah ditetapkan oleh MK,” jelas Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini.
Poin selanjutnya, Ledia menyinggung sikap pemerintah yang cenderung buru-buru dalam mengeluarkan Perppu Ciptaker. Ledia membandingkan penyusunan Omnibus Law Ciptaker dapat diselesaikan dalam waktu 6 bulan saja, padahal regulasi tersebut terdiri atas 1187 halaman. Pemerintah dipandang tidak memanfaatkan waktu perbaikan yang diberikan oleh MK, yakni hingga 25 November 2023 untuk mengevaluasi hal-hal perbaikan sesuai dengan putusan.
“Pemerintah bersikukuh untuk menerbitkan Perppu dalam waktu yang terbatas sehingga mengesankan pengesahan ini adalah hal yang mengada-ada dan dipaksakan,” ungkap Anggota Komisi X DPR RI ini.
Terakhir, Ledia juga menyampaikan bahwa penerbitan Perppu ini tidak mengoptimalkan Partisipasi Publik Secara Bermakna (Meaningful Participation).
“Lahirnya Perppu dalam proses yang singkat ini justru mengabaikan pelibatan berbagai pihak sehingga menciptakan kondisi minim partisipasi masyarakat untuk memberikan kritik, masukan, maupun tanggapan terhadap substansi yang akan diatur/diubah,” tutup Ledia.
Minimnya bahasan dalam DPR juga menjadi bagian kesaksian dalam poin ini, tercatat Badan Legislasi DPR hanya melakukan pembahasan Perppu Ciptaker selama dua hari dan tidak melibatkan pemangku kepentingan lainnya dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar.