Dr. Salim for Presiden RI

Pada pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung (Pilpres) 2004 putaran pertama diikuti oleh lima pasangan calon, dan berlangsung dalam dua putaran, dimana pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla mengalahkan Megawati Soekarnoputri dan Ahmad Hasyim Muzadi. Dalam pemilu legislatif tahun tersebut PDIP, Golkar, Demokrat, dan PKB yang para calon pasangan presiden dan wakil presiden berasal atau diasosiasikan ke partai tersebut meraih dukungan signifikan.

Pada Pilpres 2009 pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto serta dan Muhammad Jusuf Kalla dan Wiranto. Dalam pemilu legislatif tahun tersebut Demokrat, Golkar, dan PDIP yang para calon pasangan presiden dan wakil presiden berasal atau diasosiasikan ke partai tersebut meraih dukungan signifikan.

Pada Pilpres 2014 pasangan Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Dalam pemilu legislatif tahun tersebut PDIP, Golkar, dan Gerindra yang para calon pasangan presiden dan wakil presiden berasal atau diasosiasikan ke partai tersebut meraih dukungan signifikan.

Pada Pilpres 2019 pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amien mengalahkan pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Dalam pemilu legislatif tahun tersebut PDIP dan Gerindra yang para calon pasangan presiden dan wakil presiden berasal atau diasosiasikan ke partai tersebut meraih dukungan signifikan.

Itulah yang disebut coat-tail effect alias efek ekor jas, yaitu pengaruh figur atau tokoh dalam meningkatkan suara partai dalam pemilu. Djayadi Hanan, dalam Efek Ekor Jas (Kompas, 8 Februari 2018), menyimpulkan terdapat hubungan yang positif antara kekuatan elektoral seorang calon presiden – wakil presiden dan partai yang mengusungnya. Artinya, seorang calon presiden atau wakil presiden yang populer dengan tingkat elektabilitas yang tinggi akan memberikan keuntungan positif secara elektoral kepada partai yang mengusungnya sebagai calon. Sebaliknya, seorang calon presiden atau wakil presiden yang tidak populer dengan tingkat elektabilitas yang rendah akan memberikan dampak negatif kepada perolehan suara partai yang mengajukan dia sebagai calon presiden atau wakil presiden.

Bayangan efek ekor jas inilah yang kembali akan mendatangani Pemilu 2024 kelak, dan setidaknya diyakini oleh petinggi partai politik akan berdampak positif bagi nilai elektabilitas partai. Sinyalemen tersebut terkonfirmasi lewat survei AKSES di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Banten beberapa waktu lalu. Geledah opini publik dengan 1.200 responden di setiap provinsi itu bertajuk Survei Peta Politik dan Perilaku Pemilih Pemilu 2024, menggunakan metode Multistage Random Sampling.

Jika pemilu serentak dilaksanakan dalam satu hari untuk memperebutkan tujuh jabatan publik (presiden – wakil presiden, DPR RI, DPD, gubernur – wakil gubernur, DPRD Provinsi, bupati/walikota – wakil bupati/wakil walikota, dan DPRD Kabupaten/Kota), pemilih lebih memerhatikan sosok presiden – wakil presiden dan urutan berikutnya -ini fakta menarik pula- yakni posisi  bupati/walikota – wakil bupati/wakil walikota. Sekali lagi, jika dalam satu hari secara serentak kita memilih calon untuk tujuh jabatan publik itu.

Separuh responden (50,6%) di Jawa Timur lebih memerhatikan calon yang memperebutkan posisi Presiden - Wakil Presiden RI, 53.7% di Jawa Tengah, 59.7% di DI Yogyakarta, dan 59.6% di Banten. Berada di posisi kedua dari tujuh jabatan publik tersebut adalah pemilihan bupati/walikota – wakil bupati/wakil walikota, dengan temuan di semua provinsi tersebut sebagai berikut: Jawa Timur (31.5%), Jawa Tengah (26.8%), DI Yogyakarta (23.7%), dan Banten (18.8%).

Jika pemilihan itu dipilah antara pemilu nasional dan pemilu lokal dalam dua waktu pelaksanaan yang berbeda, pada pemilu nasional adalah calon presiden – wakil presiden yang jauh lebih membetot perhatian pemilih ketimbang jabatan lainnya (DPR RI dan DPD). Distribusi prosentasenya adalah Jawa Timur (80.0%), Jawa Tengah (79.3%), DI Yogyakarta (79.3%), dan Banten (76.2%).

Pada pemilu lokal, calon bupati/walikota – wakil bupati/wakil walikota yang lebih dilirik ketimbang kontestasi jabatan publik lainnya (DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, dan Pilgub). Di Jawa Timur sosok calon  bupati/walikota – wakil bupati/wakil walikota menarik perhatian 71.9% responden, 56.7% di Jawa Tengah, 66.6% di DI Yogyakarta, dan 46.1% di Banten.

Karenanya, mengingat sangat signifikan fokus perhatian publik pada kontestasi pemilihan presiden dan wakil presiden serta  pemilihan bupati/walikota – wakil bupati/walikota –dan memerhatikan efek ekor jas itu-, maka urgent dan strategis bagi PKS untuk menempatkan kadernya dalam dua perhelatan politik tersebut. Tentu saja tanpa mengenyampingkan posisi politik lainnya yang dikontestasikan pula pada Pemilu 2024 nanti.

Dalam konteks paparan di atas, maka amat relevan tema penokohan Ketua Majelis Syuro Dr. Salim Segaf Al-Jufri, sebagai calon Presiden RI dari PKS. Sosialisasi politik secara massif dan terstruktur bertema Dr. Salim for Presiden RI adalah sebuah keharusan. Visi dan integritasnya memang sudah jelas dan telah terbangun secara baik selama ini, tinggal memanfaatkan aspek kontekstual plus memperluas  jejaring sosial dan politik hingga jauh ke tingkat akar rumput. Aspek kontekstual yang dimaksud itu bisa berupa tawaran antara lain ide Zaken Kabinet alias kabinet ahli -yang dilengkapi dengan portofolio kabinet beserta personalianya.

Di tingkat daerah, perlu dipertimbangkan penetapan sejak dini bakal calon kepala daerah dari internal PKS untuk posisi  bupati/walikota – wakil bupati/wakil walikota. Maksud sejak dini itu adalah di tahun 2022 PKS sebaiknya sudah menetapkan bakal calon kepala daerah. Dan sang calon kepala daerah tersebut juga dimajukan sebagai calon anggota legislatif. Penetapan Vote getter berstatus calon kepala daerah itu bisa dimaknai sebagai salah satu ikhtiar untuk mendulang suara di pemilu legislatif. Tentu saja calon kepala daerah dengan nilai popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas yang tinggi.

Kamarudin, founder AKSES School of Research