Belajar dari Masyumi

Masyumi -yang dalam ejaan zaman itu tertulis Masjoemi- adalah singkatan dari Madjelis Sjoero Moeslimin Indonesia, dibentuk sebagai partai politik pada tanggal 7 November 1945. Ia diobsesikan -mengutip risalah Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta tanggal 7 – 8 November 1945- “sebagai Poesat Persatoean Oemmat Islam Indonesia, sehingga dapat mengerahkan dan memimpin perdjoeangan Oemmat Islam Indonesia seloeroehnja.” Di dalam Masyumi berhimpun tokoh-tokoh  perkumpulan Islam kala itu seperti KH. Hasjim Asy’ary (Nahdlatul Ulama), Haji Agus Salim (Sarekat Islam), Mohammad Natsir (Persis), KH. A. Wahid Hasjim (NU), Prawoto Mangkusasmito (Muhammadiyah), Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Syaikh Djamil Djambek (Perguruan Thawalib Sumatera).

Masyumi adalah partai pemenang kedua pada Pemilu 1955, setelah ditinggalkan Syarekat Islam di tahun 1947 dan NU pada tahun 1952. Mereka memenangkan 7.903.886 suara dari total 37.875.229 jiwa pemilih yang menggunakan hak suara, dan meraih 57 kursi di parlemen. Andaikan tak terjadi fragmentasi kekuatan politik Islam, Masyumi sebagai rumah besar kekuatan politik umat mendapat jumlah terbesar yakni 45,2% (116 kursi), menyusul nasionalis 27,6% (71 kursi), dan Sosialis Kiri-Komunis 15,2% (39 kursi) dari total 257 kursi.

Masyumi adalah loyalis tulen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ketua Masyumi Mohammad Natsir menginisiasi Mosi Integral pada tanggal 3 April 1950 yang hasilnya tujuh negara bagian dan sembilan satuan kenegaraan yang tadinya berhimpun di dalam bentuk negara federalisme, bermufakat untuk kembali ke NKRI. Mosi Integral itu pulalah yang mengantarkan beliau dipercaya menduduki jabatan Perdana Menteri pertama di era Demokrasi Parlementer. Pemerintah Darurat Republik Indonesia atau PDRI (Desember 1948 –  Juli 1949) di Sumatera, dinakhodai tokoh Masyumi, Presiden Mr. Syafruddin Prawiranegara. Lantaran ada PDRI inilah, Indonesia kala itu tetap eksis di mata internasional saat kolonialis Belanda getol mengkampanyekan Indonesia telah bubar. Pemilu 1955 dilaksanakan di bawah masa Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, yang juga berasal dari Masyumi.

Masyumi adalah legenda. “Partai yang paling gigih membela konstitusi dan demokrasi, hingga partai ini menjadi martir karena palu godam kekuasaan,” tulis Ahmad Syafi’i Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah dalam buku Partai Masjumi, Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral karya Remy Madinier (2013). Tahun 1960 ia dicap sebagai partai terlarang oleh Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960, karena dituding mendukung pemberontakan PRRI. Lalu dicobabangkitkan pada awal era Orde Baru namun kandas karena tak memperoleh restu Presiden Soeharto. Kandas di jalur politik, sejumlah aktivisnya yang dimotori Allahuyarham Buya Mohammad Natsir membidani kelahiran Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai kendaraan dakwah di jalur kultural. DDII juga bersinar terang, seterang kiprah otentik Masyumi dalam mewarnai perjalanan negeri ini.

Banyak sudah studi tentang Masyumi, antara lain Masjumi, its Organization, Ideology, and Political Role in Indonesia (Deliar Noer, 1960),  The Islamic State in Indonesia, the Rise of Ideology, the Movement for Its Creation and the Theory of the Masjumi (Harun Nasution, 1965), Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir (Anwar Harjono dkk, 1966), The Rise of Masjumi Party in Indonesia and The Role of the ‘Ulama’ in its Early Development, 1945 – 1952 (Muhammad Asyari, 1976), In Memoriam: Mohammad Natsir (George McTurnan Kahin, 1994), dan The Masyumi Legacy: Between Islamist Idealism and Political Exigency (Greg Fealy dan Bernard Platzdasch, 2005).

Lalu apa pelajaran untuk kita dewasa ini?

Pertama, aktivis Masyumi piawai dalam membangun kesadaran politik, dalam membentuk kekuatan politik, dan dalam merebut kesempatan politik. Bauran antara modal sosial, modal ekonomi, dan modal politik berhasil dikonversikannya ke dalam bentuk dukungan riil publik. Hasilnya, Masyumi tak hanya perkasa di ranah politik baik di parlemen maupun di eksekutif, namun juga berlimpah dukungan umat saat aktivisnya meniti jalur dakwah melalui kendaraan DDII. 

Kedua, aktivis Masyumi adalah minoritas kreatif. Masyumi mengajarkan kita bahwa umat Islam harus berhenti membuat 'kerumunan’ (hanya sebatas mengumpulkan massa), tapi juga membangun 'barisan' (organisasi dan jaringan). Itu dilakoni secara terus menerus, yang terkadang dalam senyap. Di titik ini kita ingat Arnold J. Toynbee dalam A Study of History (1934) tatkala mengatakan, “Tidak ada peradaban dunia yang dibentuk oleh mayoritas. Peradaban dan perubahan itu dibangun oleh minoritas kreatif. Ketika semua orang mengatakan tidak mungkin, minoritas kreatif berkata mungkin dan dia menunjukkannya dengan data dan fakta-fakta.”

Ketiga, sehebat apapun seorang politisi, jika kecerdasannya tak kontekstual, tidak akan berguna. Karena itu memunculkan tokoh hanya menjelang pemilu laksana menabur garam di lautan kontestasi politik. Aktivis Masyumi tahu persis kapan dan bagaimana memaknai term “Kontekstual” itu. Sejarah membuktikan di kurun waktu dasawarsa 1940-an hingga 1960-an, mereka sigap merespon dan bahkan turut mewarnai wacana besar kebangsaan. Demokrasi, hubungan antara agama dan negara, dasar negara, dan bentuk negara adalah sejumlah wacana besar yang semarak kala itu, dengan salah satu pelantang utamanya aktivis Masyumi. 

Dan terpenting Masyumi mengajarkan kita tentang pentingnya -mengutip istilah Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita (1960)- ‘keinsyafan politik’ yang harus diwujudkan melalui pendidikan politik. Ini adalah projek strategis, berjangka panjang, dan acapkali dalam senyap. Mengapa strategis? Karena keinsyafan politik itu adalah prasyarat utama bagi kecerdasan politik.

Kamarudin, founder AKSES School of Research