Teropong 2024

 Kamarudin, founder AKSES School of Research

Tahun politik, Februari 2024. Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden – Wakil Presiden RI. Dua puluh sembilan bulan lagi dari bulan ini dan tahun ini, Agustus 2021. Masa yang lama, namun sejatinya pendek laksana selemparan batu di lorong waktu. Lama, karena masih dua puluh sembilan bulan lagi, dengan asumsi pelaksanaan di Februari 2024. Pendek, karena untuk mendongkrak nilai popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas partai politik, calon anggota legislatif, serta calon presiden dan wakil presiden  perlu modal tak kecil untuk menghela mesin politik. Modal itu adalah modal sosial, modal ekonomi, dan modal politik. Ini yang tak bisa sim salabim.

Rubrik Teropong? teringat, menjelang Pemilu 2004 sebuah majalah menyediakan kolom khusus dengan nama rubrik yang sama di website ini, untuk penulis. Rutin setiap edisi. “Tujuannya, yang penting PKS menang,” tutur Suhud Alynuddin, sang redaktur Majalah Saksi kala itu, tatkala penulis bertanya apa arah dari rubrik itu. Penulis tak tahu seberapa besar dampak dari tulisan itu bagi perolehan suara PKS. Tidak ada kajian. Yang jelas, kumpulan tulisan itu kelak dibukukan oleh sebuah penerbit dengan judul: Ada Apa dengan Partai Keadilan Sejahtera, Catatan dari Warga Universitas Indonesia (2004).

Sekarang, rubrik Teropong itu coba dibangkitkan dari tidur panjangnya. Dengan penambahan angka tahun politik 2024, tentu pinta Akh Suhud  dulu itu kembali terngiang, dalam narasi begini: “Tujuannya, yang penting PKS menang dalam Pemilu 2024.” Tabik penulis haturkan kepada Bang Muzammil Yusuf, Ketua Bidang Polhukam DPP PKS, yang berkenan memberi ruang bagi penulis untuk menuangkan gagasan di website ini. Juga Cang Mabruri, sosok penting yang menakhodai urusan kehumasan partai. Tentu saja, karena ini adalah website official, penulis sadar diri untuk harus menjaga marwah partai dakwah ini.

Kita bergeser ke ranah praktis, dimulai dengan pertanyaan besar: Mengapa harus politik? Statemen dua pejabat publik berikut ini sudah cukup menjawab secara sederhana -tetapi jitu- pertanyaan besar tadi. “… Menutup tempat maksiat dianggap tidak mungkin, hari ini terlaksana... Dan itu tanpa kekerasan, cukup selembar kertas dan tanda tangan. Karena itu jangan pernah anggap enteng proses politik, ”ujar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada Reuni Akbar 212 yang digelar Ahad, 2 Desember 2018, “karena tanda tangan yang menentukan arah kebijakan.”

Kemudian penulis cuplik pula pidato Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Laiskodat saat memberi Kuliah Umum di Universitas Nusa Cendana Kupang, Senin, 3 Desember 2018, "Sebagai gubernur, saya akan cabut (larangan produksi minuman keras beralkohol lokal di wilayah NTT) itu. Dimana-mana itu distribusi minuman keras harus diatur dengan baik. Tidak semua tempat bisa jual minuman keras …… Kita malah melarang produksi minuman keras. Itu jelas melarang kreativitas warga."

Poin utama pernyataan kedua pejabat publik di atas, sama dan sebangun. Intinya, proses politik itu amat penting, amat menentukan. Teramat pandir malah untuk diabaikan. “Buta terburuk, “ tutur Bertolt Brecht, penyair dan dramawan Jerman, sebagaimana dikutip Stephen A. Harmon dalam Terror and Insurgency in the Sahara-Sahel Region (2016), “adalah buta politik. Orang yang buta politik tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya bergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap antipolitiknya, membusungkan dada dan berkoar ‘Aku benci politik!’ Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk, korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri.”

Karena itu politik itu harus diketahui, dipahami, dikuasai, dan diimplementasikan. Tahu tanpa paham, levelnya setara dengan buta politik. Paham tanpa Menguasai, paling maksimal hanya berisik di media sosial, ujungnya sering sakit hati. Menguasai tanpa mengimplementasikan, ibarat layang-layang putus, terombang-ambing di lautan pragmatisme politik. Dus, roh perjuangan yang bernama ideologi dalam konteks “Tahu” hingga “Mengimplementasikan” ini, menemukan relevansinya, yakni, sekali lagi, ideologi sebagai kompas pembimbing: partai politik itu sendiri dan dalam skala makro adalah saat sang partai politik berkuasa.

Sebegitu pentingnya persoalan “diketahui” hingga “diimplementasikan” terhadap “Politik” itu, dalam hemat penulis, dibutuhkan lima perspektif untuk menjelaskannya: Ideologis, Sosiologis, Historis, Psikologis, dan Politis. InsyaAllah dalam lima edisi kedepan, secara berurutan, kelima perspektif itu kita kulik satu persatu. Tentu dalam kerangka besar, “Islam, Politik, dan Umat Islam Indonesia”.

Teropong 2024 ini ditulis dengan gaya bahasa tak formal, menghindari penulisan model karya ilmiah yang kaku dan cenderung membosankan untuk dibaca. Garis besar tulisan Teropong 2024 dimulai dari pemahaman akan pentingnya politik (penjelasan tentang lima perspektif tadi), partai politik Islam di pentas reformasi, lalu -ini yang menjadi roh Teropong 2024-  mengerucut ke strategi dan program pemenangan pemilu. Karenanya, isu strategi dan program ini akan mendapatkan porsi terbesar. Hasil survei yang relevan juga akan diangkat untuk memperkaya wawasan, memperkokoh argumentasi atau menegasikan hasil kajian sebuah fenomena.

Plus, juga isu aktual potensial pula menjadi topik dalam beberapa edisi, sepanjang ia bisa berdampak atau setidaknya menginspirasi para pengurus, anggota, dan simpatisan partai, untuk menaikkan  nilai popularitas, akseptabilitas, dan elektablitas PKS.

Selamat mengulik Teropong 2024, untuk meretas jalan sepanjang dua puluh sembilan bulan, menuju tahun politik 2024. Semoga bermanfaat, semoga menginspirasi. Tabik, untuk para pembaca budiman.