Terjebak Dalam Asap

[Serial Kea, Adi, Dilan, dan Tera]

Oleh: Kang Ewa

Keheningan seketika melanda ruang tamu. Kedua mata Tera terlihat memandang berkeliling meminta persetujuan.

“Kea, pliss… nggak mungkin kan kita bertahan di sini? Ini jelas-jelas bahaya buat kita,” tuturnya setengah menggugat.

Kea masih terpaku dalam duduknya. Gadis berjilbab lebar itu sesekali ia mengusap keringat yang timbul dikeningnya menggunakan tissue di tangan.

“Kalau kalian mutusin pulang. Gue kudu bilang, sampe di sini aja persahabatan kita. Ngerti?!” tiba-tiba Adi bersuara dengan nada tinggi.

Matanya merah. Nafasnya memburu. Sejenak ia terdiam.

“Elo-elo jelas nggak mikir perasaan gue. Nggak mikir juga perasaan Om gue. Di mana logika lo? Saat kita baru nyampe beberapa menit di Pekanbaru ini terus pada mutusin mau pulang, hah?!” ketusnya.

“Dilan, Kea, elo mau ikut Tera?” Adi bertanya kepada dua sahabat lainnya.

Dilan tiba-tiba saja mendadak kikuk. Dalam hatinya bergelayut berbagai pertimbangan antara harus bertahan di Pekanbaru barang beberapa hari seperti apa yang direncanakan, atau kembali ke Jakarta dengan alasan asap tebal yang menyelimuti Ibukota Provinsi Riau itu.

Di satu sisi, ia merasa tak enak dengan Adi dan Omnya, di satu sisi lain, ia menyetujui alasan Tera. Asap berbahaya bagi kesehatan mereka, jadi kembali ke Jakarta adalah pilihan tepat.

Hal yang sama sebenarnya dirasakan oleh Kea. Namun Kea tetap seperti biasa, cermat, dan berusaha menimbang matang setiap keputusan yang akan diambilnya. Kea menghela nafas panjang. Matanya lekat menatap Tera yang sesekali melirik smartphone di tangannya. Sesaat setelah membetulkan posisi duduknya ia berkata,

“Untuk dua atau tiga hari ke depan aku tinggal disini, Tera. Om Bahtiar dan Tante Rita tentunya sudah menyiapkan sesuatu dari jauh hari sejak kita beritahu mau silaturahim ke rumah beliau ini. Tak santun rasanya bila baru beberapa jam disini langsung pulang ke Jakarta. Kecuali ada alasan yang bisa diterima,” terang Kea.

Di kursi yang tak jauh dari Kea, terlihat mata Adi berbinar.

“Duh, Kea. Aku takut banget kalau tiba-tiba kena ISPA lah, bengek lah, sakit. Aahh… gimana bisa main-main lagi coba kalau gitu?” tukas Tera.

“Lihat… kita bisa ngambil flight dari Padang. Naik mobil dari sini cuma beberapa jam saja. Setelah itu pasti kita bebas asap. Ayo dong… Papa ama Mamaku udah tahu kok kalau kita mau balik lagi,” lanjut Tera.

“Gimana Dilan, Kea? Nih lihat, kita masih bisa dapat tiket ke Jakarta dari Padang,”

Tera menyodorkan smartphone-nya kepada Kea dan Dilan. Dilan manggut-manggut. Namun tak sepatah kata pun. Sudut matanya sesekali memandang wajah Adi. Seolah sedang menimbang keputusan yang akan dibuatnya.

“Gue sebenernya setuju ama Tera. Lagian kalau Tera pulang sendiri gue khawatir ada apa-ada di perjalanan,” Dilan bersuara lirih.

Suasana ruang tamu kembali dilanda keheningan. Adi, Dilan, Tera, dan Kea seolah sedang menakar pikiran satu sama lain. Persahabatan mereka terancam perpecahan dengan keputusan Tera yang mengajukan pulang lebih awal.

“Assalamu’alaikum,” suara dari luar memecah keheningan ruang tamu.

“Wa’alaikum salam,” hampir bersamaan empat orang dari dalam rumah menyahut.

Adi bangkit dari duduknya, bergegas membukakan pintu.

“Wah… maaf lama menunggu. Om sibuk belakangan ini. Rumah sakit ramai. Maklum lah, musim banyak orang sakit,” ujar lelaki di hadapan Adi yang ternyata Om Bahtiar, Pamannya.

“Tidak apa, Om,” jawab Adi.

Satu persatu Om Bahtiar dan Tante Rita menyapa tamu-tamunya yang datang dari Jakarta itu.

“Kalian duduk dulu ya. Tante dan Om ke dalam sebentar,” kata Tante Rita.

Om Bahtiar dan Tante Rita bergegas meninggalkan keempat tamunya yang sedari tadi berada di ruang tamu.

***

Kedatangan Kea, Adi, Dilan, dan Tera di Pekanbaru adalah atas undangan Om Bahtiar dan Tante Rita. Om Bahtiar merupakan adik bungsu dari Ibunya Adi. Namun antara keluarga mereka sudah berbilang tahun tak bertemu. Setelah menyelesaikan studinya di bidang kedokteran, Om Bahtiar berangkat ke Pekanbaru. Bekerja pada salah satu rumah sakit terbesar di Ibu Kota Provinsi penghasil minyak tersebut sebagai Dokter Spesialis THT.

Telah lama Adi berniat untuk mengunjungi Om Bahtiar dan keluarga. Hingga pada kesempatan libur kali ini lah ia bisa menjalin silaturahim dengan mereka. Jauh-jauh hari keberangkatan telah dipersiapkan. Pemesanan tiket pesawat, serta segala kebutuhan lainnya sudah ia persiapkan, bahkan Om Bahtiar dan Tante Rita sudah dikabari sejak tanggal kunjungan ke Pekanbaru ditentukan. Tak lupa, Adi mengajak ketiga sahabatnya, Kea, Dilan, dan Tera untuk berkunjung ke Pekanbaru.

Namun malang tak dapat ditolak. Persiapan matang yang dilakukan Adi dan sahabat-sahabatnya ternyata nyaris berantakan. Pada tanggal yang telah ditentukan, pendaratan pesawat terpaksa dialihkan oleh pihak maskapai karena kabut asap yang melanda Kota Pekanbaru dan Provinsi Riau umumnya. Jadilah Bandara di Padang sebagai pendaratan mereka, untuk kemudian perjalanan ke Pekanbaru ditempuh melalui jalan darat.

Ketidaknyamanan langsung melanda Tera. “Anak Mama” yang selalu lekat dengan smartphone itu terus menunjukan raut muka gelisah. Beberapa kali memperlihatkan status-status di facebook, twitter, serta media sosial lainnya yang memuat informasi kondisi Kota Pekanbaru ter-update serta para korban kabut asap yang terus dilansir di media.

“Duh, coba bayangin kalau ada Mama di sini. Pasti langsung nyariin masker buat aku,” ujarnya.

“Wahai Nona Smartphone, anak gadis itu traveling bawa ransel. Bukan bawa emak ke mana-mana. Lah elo mau traveling emak terus yang diomongin. Ngapain nggak diajak aja sih kemaren,” celetuk Adi sambil disambut senyum Kea dan Dilan.

Namun cerita semakin meruncing ketika Tera mengemukakan pendapatnya, bahwa kabut asap di Pekanbaru akan sangat berbahaya bagi diri mereka, sehingga ia meminta kepada sahabat-sahabatnya untuk kembali pulang ke Jakarta hari itu juga.

Tiba di rumah Pekanbaru, asap memang teramat pekat. Tera dan Kea beberapa kali terbatuk. Begitu juga Adi dan Dilan yang terlihat begitu tak nyaman menghirup nafas. Kondisi yang sangat mendadak dan tidak mereka perkirakan, sehingga persiapan masker luput dari ingatan mereka.

Om Bahtiar tak bisa berlama-lama menunggu mereka, sebuah panggilan telepon membuatnya beranjak dari tempat duduk. Kembali ke Rumah Sakit di mana ia bertugas.

“Om pamit dulu ya, kalian anggap saja ini rumah sendiri. Tak usah sungkan. Nanti sepulang dari Rumah Sakit Om ke Kantor Pajak. Sekalian jemput Tantemu, Adi,” demikian kalimat terakhir Om Bahtiar sebelum meninggalkan keempat tamunya itu.

Sepeninggal Om Bahtiar itulah Tera mendesak sahabat-sahabatnya untuk mengikuti keinginanya. Sehingga membuat Adi sangat tersinggung. Hingga pada akhirnya, timbul silang pendapat di antara mereka.

***

“Maaf, Om belum bisa ajak kalian jalan-jalan. Banyak pasien saat ini,” ungkap Om Bahtiar tak lama setelah duduk di kursi ruang tamu diikuti Tante Rita.

“Tidak apa, Om. Kami milih di sini aja deh. Banyak asap. Sesak nafas, Om,” terang Adi.

“Om, boleh Tera ngomong?” tiba-tiba Tera membuka suara lirih, matanya beralih dari smartphone yang lekat ditatapnya sedari tadi. Sesaat terlihat ia menggigit bibir seperti tak yakin dengan apa yang diucapkannya.

“Oh, tentu saja,” tukas Om Bahtiar sambil tersenyum.

Kea sebenarnya telah berulang kali memberikan isyarat kepada Tera untuk menahan diri. Ia memahami betul apa yang akan diungkapkan Tera. Rahang Adi terlihat mengeras. Dilan tertunduk menyembunyikan kegundahannya akan maksud Tera.

“Om, e… anu… Tera tadi ngajak temen-temen balik ke Jakarta. Khawatir kalau di sini terus membahayakan buat kesehatan kami. Tapi maaf ya, Om. Maaf….,” ujarnya terbata. Tera menunduk menahan perasaan yang tak menentu menunggu jawaban Om Bahtiar.

“Dilan tadi setuju juga, Om,” imbuhnya.

Om Bahtiar menarik nafas panjang. Ruang tamu kembali hening. Namun tak lama kemudian senyumnya mengembang.

“Om memahami, Tera. Asap yang kaliah hirup di sini memang tidak menyehatkan. Ya, itu terserah kalian saja,” tutur Om Bahtiar.

“Sebenarnya kami sudah memiliki rencana bila kalian jadi menetap seminggu disini. Ada beberapa kegiatan sosial yang akan kami lakukan dengan melibatkan kalian terkait musibah asap ini,” Tante Rita menambahkan.

“Namun, bila kembali ke Jakarta menjadi pilihan kalian, kami tidak bisa menahan. Memang kondisinya seperti ini,” lanjutnya.

Tak berselang lama setelah Tante Rita menghentikan pembicaraannya. Di luar terdengan suara seorang perempuan mengucapkan salam dan mengetuk pintu dengan sedikit keras.

“Assalamu’alaikum… Dokter Bahtiar… Dokter,” ujar suara di luar.

“Wa’alaikum salam,” jawab Om Bahtiar. Bergegas ia membuka pintu.

“Subhanallah… Bu Ida. Aisyah kenapa? Mari lekas dibawa masuk, Bu. Mari…!” kalimat terakhir Om Bahtiar membuat seisi ruang tamu tergerak untuk mendekat ke pintu.

“Bu Ida, tenang ya, Bu. Insya Allah Aisyah saya bantu,” lanjut Om Bahtiar.

Perempuan yang dipanggil Bu Ida masih terisak dalam tangisnya yang tertahan. Dalam gendongannya seorang balita yang dipanggil Aisyah terlihat lemas tak berdaya. Wajahnya pucat. Nafasnya tersengal. Batuknya terus berkelanjutan tanpa henti. Di sudut matanya sisa-sisa air mata masih terlihat menggenang.

“Tolong anak saya, Dokter. Tolong…” Bu Ida mengiba kepada Om Bahtiar.

“Tapi maaf Dokter, saya tak punya uang. Makanya saya tak membawa Aisyah ke Rumah Sakit. Kami menunggu Dokter sampai di rumah dari tadi,” terangnya.

“Tenang, Bu. Saya akan membantu Aisyah dengan kemampuan maksimal yang saya bisa. Ibu tak perlu pikirkan biayanya,” Om Bahtiar berusaha menenangkan tetangganya itu.

Kea, Tera, Adi, dan Dilan tak tinggal diam. Keempatnya mengikuti langkah Om Bahtiar menuju tempat prakteknya di ruang sebelah ruang tamu.

Tera merangsek maju untuk melihat Aisyah ketika balita itu telah dibaringkan oleh Om Bahtiar. Terlihat wajah cemas mengembang tanda perasaan yang menyimpan rasa empati mendalam atas penderitaan Aisyah yang terus terbatuk sambil terisak.

“Beginilah kami, Tera. Setiap hari terpaksa harus menghirup asap sampai satu demi satu dari kami masuk ruang perawatan,” Om Bahtiar berkata perlahan sembari melakukan pemeriksaan terhadap Aisyah.

“Om dan Tante Rita memiliki kesempatan untuk pergi dari kota ini. Jelas kami bisa. Namun bila kami pergi, tak tega rasanya melihat penderitaan anak-anak seperti Aisyah ini. Sakit. Tak cukup biaya untuk berobat,” tutur Om Bahtiar.

Aisyah masih semakin terlihat begitu menderita. Nafasnya masih saja sesak hingga saat salah seorang perawat di tempat praktek itu memasangkan oksigen.

Tera tak kuasa menahan air mata. Dilihatnya Bu Ida terisak. Sesekali menenggelamkan wajahnya pada kain penggendong Aisyah sambil terisak.

Kea beranjak menjajari Tera. Ia merangkul bahu sahabatnya yang tengah terpukul melihat kondisi Aisyah.

“Tenang, Tera. Lihatlah, Om Bahtiar sedang berusaha membantu Aisyah,” ujarnya.

“Aku batal pulang, Kea. Aku nggak mau lihat ada Aisyah yang lain. Kasihan…” Tera membuka suara.

“Aku mau ikut agenda yang akan digalang Tante Rita. Sekecil apapun, aku ingin berbuat untuk para korban asap di Pekanbaru ini. Aku ingin seperti Om Bahtiar. Berguna. Ngasih manfaat sama banyak orang,”

“Nah… gue setuju. Setuju banget ama saran elo” tiba-tiba suara Adi terdengar ceria dari belakang.

“Kalau Dilan aslinya gue tahu banget. Dia pasti ngikut soal aksi-aksi ginian mah. Secara, aksi demo aja demen. Apalagi yang ginian. Benerkan, Dil?” setengah memaksa meminta persetujuan Adi melirik Dilan.

Dilan mengangguk. Diiringi senyum Kea yang menyetujui pendapat para sahabatnya itu.

Tera urung kembali ke Jakarta. Bukan soal masalah lain yang menjadi penghalang, namun soal nurani yang tengah berbicara. Untuk para korban asap. Para balita yang tak berdosa. Untuk sebuah cinta, kepada sesama, kepada Sang Pencipta. (*)