Sinyal Kelesuan Ekonomi Indonesia Empat Bulan Pertama 2016

Ketua Bidang Ekuintek-LH Memed Sosiawan
Ketua Bidang Ekuintek-LH Memed Sosiawan

“Sinyal Kelesuan Ekonomi dalam Empat Bulan Pertama tahun 2016”

Ir. Memed Sosiawan, ME
Ketua Bidang Ekuintek-LH DPP PKS

Dalam empat bulan pertama tahun 2016, mulai terlihat adanya beberapa sinyal kelesuan ekonomi yang membayangi perjalanan kondisi ekonomi kita selama tahun 2016. Beberapa sinyal kelesuan ekonomi dapat terlihat dari: kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2016; melesetnya target penerimaan negara 2016; deflasi yang terjadi selama bulan februari dan april 2016; surplus perdagangan selama bulan februari dan bulan maret yang ditandai dengan melemahnya impor barang modal; melambatnya pertumbuhan kredit perbankan yang ditandai dengan melemahnya kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI); serta kondisi likuiditas perbankan sebagai pelumas ekonomi yang semakin kerontang.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2016 mencapai 4.92%, meleset dari harapan semula diatas 5%. Angka tersebut masih lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal sebelumnya yaitu kuartal IV 2015 yang mencapai 5.04%, meskipun angka tersebut masih lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal yang sama tahun lalu, kuartal I 2015 yang mencapai 4.73%.

Melesetnya target penerimaan negara sebesar Rp290 triliun. Dengan melesetnya penerimaan negara sebesar Rp290 triliun tersebut akan sangat mempengaruhi kualitas belanja negara yang telah direncanakan dalam APBN 2016, disisi lain belanja negara juga mempunyai daya ungkit terhadap pencapaian PDB kita, menurunnya belanja negara yang disebabkan oleh melesetnya target penerimaan negara akan menurunkan pencapaian target PDB kita, dan melemahkan pertumbuhan ekonomi, sebagaimana telah dikonfirmasi oleh BPS bahwa pertumbuhan ekonomi kita pada kuartal I 2016 melemah dibandingkan pada kuartal sebelumnya. Untuk menutupi melesetnya penerimaan negara, maka pemerintah akan menjalankan skenario tax amnesty yang apabila disetujui oleh DPR, banyak ahli memperkirakan hanya akan menambah penerimaan negara sebesar Rp50 triliun. Lalu bagaimana dengan masih adanya kekurangan penerimaan negara sebesar Rp240 triliun? Kekurangan ini dapat ditutupi dengan meningkatkan defisit anggaran sampai plafon teratas sebesar 2,5% (karena defisit anggaran kita maksimal adalah 3% termasuk defisit APBD).

Postur APBN 2016 menetapkan defisit anggaran sebesar 2,15% (senilai Rp273.178,90 miliar), kalau defisit anggaran dinaikkan sampai plafon teratas sebesar 2,5% (senilai Rp317.649,88 miliar), maka hanya akan menambah anggaran sebesar Rp44.470,98 miliar atau kalau dibulatkan menjadi Rp45 triliun. Jadi dengan skenario tax amnesty dan skenario mendorong defisit sampai plafon teratas, hanya akan menambah anggaran sebesar Rp95 triliun, kemudian bagaimana dengan kekurangan anggaran yang masih sebesar Rp195 triliun? Maka skenario lain yang dapat dilakukan pemerintah adalah memotong belanja negara sebesar itu, yang tentu saja akan berpengaruh signifikan terhadap kualitas belanja negara, dan mengurangi daya ungkit pencapaian target pertumbuhan ekonomi.

Terjadinya deflasi selama bulan februari dan bulan april 2016 juga dapat dibaca sebagai sinyal adanya kelesuan ekonomi. Kepala BPS mengumumkan pada hari Senin (2/5/2016), bahwa terjadi deflasi sebesar 0,45% pada bulan april 2016, angka ini merupakan deflasi terendah selama 16 tahun sejak 2000. Sebelumnya juga telah diumumkan bahwa deflasi juga terjadi selama bulan februari 2016 adalah sebesar 0,09%. Deflasi bulan April tersebut terjadi di tiga kelompok pengeluaran, pertama adalah kelompok bahan makanan (0,94%). Kedua adalah kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (0,13%). Dan ketiga adalah kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan (1,6%).

Deflasi ini bisa juga disebabkan karena turunnya harga bahan bakar minyak yang disebabkan oleh merosotnya harga minyak dunia dan menguatnya rupiah, namun dari tiga kelompok pengeluaran tadi bisa dilihat bahwa terkandung didalamnya faktor kelesuan konsumen dalam berbelanja. Dengan target inflasi sebesar 4,7% selama tahun 2016, maka total inflasi selama empat bulan pertama ini sebesar 0,16% termasuk masih sangat rendah, dengan perincian: inflasi bulan januari 0,51%; deflasi bulan februari -0,09%; inflasi bulan maret 0,19%; serta deflasi bulan april -0,45%.

Surplus perdagangan selama bulan Februari dan Maret, yang ditandai dengan rendah dan melemahnya import barang modal. Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) BI pada april 2016 menyatakan: Neraca perdagangan Indonesia terus mencatat surplus pada bulan Maret 2016, terutama didukung oleh surplus perdagangan nonmigas. Surplus neraca perdagangan Indonesia tercatat sebesar 0,49 miliar dolar AS, turun dari surplus pada bulan sebelumnya sebesar 1,14 miliar dolar AS. Penurunan surplus tersebut dipengaruhi oleh kenaikan impor nonmigas yang melampaui kenaikan ekspor nonmigas. Kontraksi impor pada triwulan I 2016 diperkirakan tertahan. Kondisi ini didorong terutama oleh membaiknya impor barang konsumsi. Impor barang konsumsi pada triwulan I 2016 tumbuh positif terutama didorong oleh kenaikan impor makanan dan minuman untuk rumah tangga, serta barang konsumsi tahan lama dan semi-tahan lama. Meskipun masih terkontraksi, impor bahan baku juga membaik sejalan dengan kenaikan impor makanan dan minuman primer untuk industri. Di sisi lain, impor barang modal diperkirakan terkontraksi lebih dalam pada triwulan I 2016.

Melambatnya pertumbuhan kredit perbankan, dan dikonfirmasi dengan melemahnya Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI). TKM BI april 2016 juga mencatat bahwa: Pertumbuhan kredit pada Februari 2016 masih melambat. Perlambatan pertumbuhan kredit ini terkait dengan pertumbuhan ekonomi yang masih lambat dan peningkatan risiko kredit (NPL). Pada Februari 2016, kredit perbankan tumbuh 8,24% (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya (9,6%, yoy). Berdasarkan jenis penggunaan, seluruh jenis kredit mengalami perlambatan, terutama Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI) yang turun masing-masing dari 7,43% (yoy) dan 14,01% (yoy) menjadi 5,28% (yoy) dan 12,81% (yoy). Sementara itu, Kredit Konsumsi (KK) sedikit melambat dari 9,29% menjadi 9,19% pada Februari 2016. Perkembangan ini menunjukkan bahwa transmisi kebijakan moneter melalui jalur kredit masih lemah.

Melambatnya pertumbuhan kredit perbankan, dapat juga diartikan atau disebabkan oleh likuiditas perbankan yang semakin kering, likuiditas perbankan sebagai pelumas ekonomi mulai kerontang, dengan kondisi Lending Debt Ratio (LDR) pada kuartal I 2016 yang mencapai kisaran 90%, meningkat bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya dengan LDR sebesar 88%. Artinya dunia perbankan harus semakin selektif menyalurkan kreditnya karena Dana Pihak Ketiga (DPK) sudah 90% disalurkan, hal ini juga dapat menjelaskan kenapa Kredit Modal Kerja (KMK) dan Kredit Investasi (KI) melemah, sehingga investasi di industri dan sektor riil lainya melemah, serta impor barang modal sebagai salah satu komponen investasi semakin melemah (terkontraksi lebih dalam). Padahal investasi juga mempunyai peran penting dalam pembentukan PDB yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. (PB 28/080516)