Radar Dakwah Seorang Kadek Syarifuddin

Kadek Syarifuddin saat mengikuti Sekolah Kepemimpinan Partai, Depok (22/4).)
Kadek Syarifuddin saat mengikuti Sekolah Kepemimpinan Partai, Depok (22/4).)

Di lantai tiga kamar nomor 308 hotel Sifana, Depok, laki-laki berjenggot panjang itu sedang istirahat sejenak. Namanya Syarifuddin (42).

“Panggil Kadek Syarifuddin,” katanya, seusai mengikuti Sekolah Kepemimpinan Partai (SKP) di hotel Bumi Wiyata Depok, Jumat (22/4) malam. SKP merupakan rangkaian agenda milad ke-18 Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sambil meletakkan ponsel cerdasnya, Kadek yang masih masih mengenakan baju kebesaran PKS berwarna putih itu mulai berkisah tentang perjalanan dakwahnya.

Masa kecil ia habiskan di Bali. Lalu pasca sekolah menengah pertama pindah ke Magelang. Sebab, ia tak menemukan sekolah teknik yang Islami di provinsinya, Bali. Keluarga ayahnya bisa dibilang cukup taat, makanya cukup selektif mencarikan sekolah buat anak-anaknya.

Di Magelang, sempat jadi pengurus Partai Keadilan (PK). Di era awal PKS menjadi kaderisasi. Ketika kembali ke Bali, ia merasakan hal yang berbeda. Di Jawa lumayan banyak teman kader dakwah, lumayan kondusif. Ceruk di Bali pasarnya terbatas. Ia masih ingat sekali ketika menjadi panitia dauroh syarat-syarat peserta itu tidak merokok, rajin ke masjid banyak variabel yang kita tentukan yang terpilih 10 orang itu sudah bagus. Sementara di Bali sulit untuk mendapatkan kualifikasi seperti itu. Bahkan ia mempunyai binaan-binaan awal itu tak bisa memenuhi itu. Ada morfinis, yang suka mabuk, merokok , ada yang semiran rambutnya, bahkan sampai orang liar lah. Bagaimana mereka bisa mengikuti ajakan Kadek?

Potensi yang ia miliki menurutnya adalah kemampuan berkomunikasi dengan baik, paling tidak menurut penilaian orang-orang di sekitarnya. Rata-rata binaan yang ia pegang hasil dari rekrutan sendiri, baik yang di Magelang maupun yang di Bali. Bahkan hingga mereka ada yang menjadi kader inti. Sebelum era kepartaian sekalipun, ia memiliki peserta halaqoh terbanyak. Karena ia memang hobi dan memiliki lembaga training juga.

Ia memiliki strategi untuk menaklukan orang agar bisa tertarbiyah. Ia merasa dengan strategi ini angka kegagalannya cukup kecil bahkan 99 persen berhasil. Bahkan ada satu orang tokoh terpandang di Bali , pada tahun 2004, seminggu sekali Syarifuddin sering mendatangi tokoh tersebut.

Dakwah di kota Tabanan itu menurutnya lumayan sulit, asal masuk selalu terpental, terpental dan terpental. Ia mendatangi sosok yang bisa dikatakan hidupnya wah, mobil juga mewah. Sementara dirinya setiap kali berkunjung ke rumah orang tersebut hanya menggunakan sepeda motor.

“Saya salut dengan Pak Syarif, luar biasa menaklukkan saya. Pantang menyerah,” aku sosok tersebut seperti ditirukan Kadek Syarifuddin.

Sejak sekembalinya ke Bali makin banyak tercetak kader-kader inti yang sebelumnya dari ‘papa’ menjadi pribadi yang mulai liqo, tertarbiyah dan jadi kader inti. Seperti sosok terpandang di atas.

Menurutnya merekrut kader itu harus orang seadanya, tidak bisa mencari orang yang tidak merokok di Bali. Pernah ia ditawari oleh binaannya di forum halaqoh, “Pak, merokok, Pak?” ucapnya menirukan binaannya itu. Tentu saja ia menolak dengan halus.

Dia juga punya binaan yang ketika tidak memiliki uang untuk modal mabuk, ia beli bahan kimia obat dan bahan lain yang dicampur. “Diminum itu dia bisa tiga hari fly,” ucapnya. Kadek mengistilahkan cara tersebut dengan ‘selemah-lemahnya cara mabuk bagi pemabuk’. Sekarang binaan itu menjadi kader inti.

Langkah strategis yang kedua, Syarifuddin sebelum beraktivitas selalu menyalakan radar. Ia memercayai apa yang dikatakan para psikolog bahwa setiap manusia memiliki frekuensi yang berpengaruh ke alam. Nah, jika frekuensi manusia berbeda dengan manusia yang akan direkrut, biasanya banyak tidak tersambung.

“Saya menghidupkan radar itu artinya begini, jika radar kita nyalakan untuk rekrutmen maka kita akan berpikir buruan mana yang akan kita pilih,” ucapnya.

Mau interaksi di sekolah, kantor, mall, atau pun pasar, ketika radarnya sudah hidup maka ia akan cepat memilih calon buruan, alam akan menyambut. Semesta mendukung (mestakung).

Kadek Syarifuddin sering heran dengan para kader dakwah yang lemah karena mengeluh sulitnya merekrut. Menurutnya sebenarnya mereka mampu hanya saja tidak mendesain pola rekrutmennya, tidak dihidupkan radarnya.

Yang ketiga, tentukan target. Ia memberikan contoh dirinya ketika ada di sebuah daerah, selalu memastikan diri untuk silaturahim atau sholat jamaah di masjid. Maghrib dan Isya misalnya. “Di sana kita akan ketemu dengan orang baik. Habis sholat minimal kenal dulu, ajak ngobrol, besok sholat lagi di tempat tersebut,” sarannya.

Setelah melakukan target, tahap selanjutnya adalah bertindak. “Action. Lakukan tindakan nyata secara bertahap dan berkelanjutan,” ujar pendiri pesantren Alquran untuk anak-anak Bali usia SD hingga SMA tersebut, di mana para santrinya dari kalangan anak yatim hingga anak terlantar itu.

Yang terakhir, katanya, adalah mendoakan para ‘buruan’ tersebut. “Kita terlalu pede setelah melakukan perekrutan. Lemahnya kita di sini, lupa mendoakan mereka. Padahal kendali hati ada pada Allah Swt. Kita doakan si fulan, ‘bukakan hatinya wahai Allah, mudahkan untuk menerima petunjukMu’,” terang anak ke-14 dari 15 bersaudara ini.

Kisah dakwah lain, pada tahun 2003 ia mendirikan yayasan Hikmah Foundation dan tahun 2007 ia mendirikan pesantren bernama Nur Muhammad. Nama pesantren tersebut dipakai dari nama pewakaf yakni orang keturunan Arab bernama Nur dan orangtua dari pewakaf bernama Muhammad. Pewakaf tersebut membiayai dari tanah hingga bangunan. Sementara generasi pertama pesantren tersebut sudah lulus LIPIA Jakarta tahun ini.

Ketika ditanya apakah itu berkat dari radar tadi? “Salah satunya dari situ hehe..” jawab ayah 4 anak ini terkekeh.
Tentang capaian politis yang diraihnya bersama kader lain, ia menilai Partai Dakwah tidak berada di urutan belakang meski berada di wilayah yang penduduk muslimnya terbilang minoritas.

“PKS sudah nomor satu, lho he-he-he..” ucapnya tertawa. “Dibandingkan partai Islam lain!”

Dulu awal-awal memang sulit PKS untuk memperoleh capain itu, malah tidak mendapatkan kursi sama sekali. Apatah lagi di kota provinsi seperti di Denpasar. Menurutnya hanya dibutuhkan daya tahan.

“Dalam kondisi apapun yang dibutuhkan itu daya tahan (kader), soliditas, yang menjadikan PKS kuat. Euforia kemenangan tanpa itu hanya akan membuat kita tergradasi,” pungkasnya, tepat ketika adzan Isya berkumandang.