Politik itu Mulia

Pertama, adalah “Perspektif Ideologis” untuk menelisik mengapa “Politik” itu perlu  diketahui, penting difahami, mutlak dikuasai, dan wajib diimplementasikan.

 Dalam literatur Islam, politik adalah Siyasah. Kata siyasah –سياسة   diambil dari kata  ساس (saasa) yang artinya memimpin, memerintah,  mengatur, dan melatih. Dikatakan

 ساس القوم  (saasa al qauma), artinya dia memimpin, memerintah, mengatur, dan melatih sebuah kaum (Al Munawwir, Hal. 677. Pustaka Progresif).

 Abul Wafa Ibnu ‘Aqil Al Hambali  menyebut, “Siyasah adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan” (Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 6/ 26. Mawqi’ Al Islam).  An Nawawi memaknai siyasah dengan, “Menegakkan atau menunaikan sesuatu dengan apa-apa yang bisa memperbaiki sesuatu itu” (Al Minhaj Syarah Shahih Muslim,  6/316. Mawqi’ Ruh Al Islam). Ibnul Qayyim bahkan menyebut siyasah sebagai “keadilan Allah SWT”.

 Karenanya, Prof. Dr. A. Rahman Zainuddin (Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI), menyebut bahwa moralitas itu “Embedded” dalam politik. Embedded berasal dari kata embed dalam Inggris, yang artinya “melekatkan, menyimpan, dan menanamkan”. Bukanlah disebut politisi, jika pandir plus tak bermoral pula.

 Jadi, Politik itu Mulia!

Dan Al-Qur’an adalah (juga) kitab politik: ada ayat Kursi (Al-Baqarah: 255) yang antara lain bermakna kekuasaan, ada surah bertajuk al-Mulk yang artinya Kerajaan (QS 67), ada kisah raja-raja yang taat (Sulaiman, Zulqarnain, Daud), kisah raja-raja pembangkang (Fir’aun, Namrudz), serta ada deskripsi tiga pilar penyokong kekuasaan politik Fir’aun yakni Birokrat/Teknokrat (Haman), Pengusaha (Qarun), dan Penasehat (tukang sihir).

Bahkan prinsip pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diagungkan di era modern ini ada termaktub dalam Al-Qur’an, antara lain: Kekuasaan sebagai amanah (An-Nisa: 58); Musyawarah (As-Syura: 38 dan Ali Imran: 159); Keadilan (An-Nisa: 135, Al-Maidah: 8, An-Nahl: 90); Persamaan (Al-Hujurat: 13); Pengakuan dan perlidungan terhadap hak-hak asasi manusia (Al-Isra: 70 dan 33, Al-Maidah: 32); Perdamaian (Al-Baqarah: 190 dan 194, Al-Anfal: 61); Kesejahteraan (Saba: 15); dan Ketaatan rakyat (An-Nisa: 59).

Kendati terang benderang persoalan politik itu tak bisa dilepaskan dari Islam, ragam pemikiran atas wacana ini tetap mengemuka. Keragaman itu muncul dari situasi dan kondisi yang dihadapi umat, baik karena faktor luar (sejarah panjang kolonialisme Barat) maupun dari internal umat berupa antara lain keterbelakangn sosial, ekonomi, dan stagnasi pemikiran.

Pemikiran politik dari seorang tokoh pemikir atau aktifis lahir tersebab merespons kondisi aktual, juga sosialisasi politik yang mereka alami berkontribusi pula. Hasilnya, potret keragaman berikut ini.

Ada kalangan yang berpandangan bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan belaka. Islam adalah satu agama yang sempurna dan lengkap, mencakup pengaturan bagi semua aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.

Sistem kenegaraan harus sepenuhnya mengacu pada Islam, dan karenanya tidak perlu meniru sistem Barat. Tokoh utama dari aliran pertama yang berfaham integralistik ini antara lain Muhammad Rasyid Ridha, Abu A’la al-Maududi, Hasan al-Banna, dan Sayyid Qutb. Di Indonesia adalah pendiri Masyumi dan Perdana Menteri M. Natsir, untuk menyebut satu nama.

Aliran kedua berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, tidak ada hubungan dengan persoalan kenegaraan. Nabi Muhammad SAW hanya seorang Rasul, bukan sebagai kepala negara. Tokoh utama dari aliran ini antara lain Ali Abdul al-Raziq dan Thaha Husein.  Ali Abdul al-Raziq ini yang antara lain turut menginspirasi pandangan sekuleristik Soekarno.

Menolak pendapat Islam sebagai agama yang serba lengkap dan dalam Islam terdapat suatu sistem ketatanegaraan, adalah aliran ketiga. Namun aliran ini menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.

Aliran ini, bisa disebut berpaham akomodatif, berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi ada seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Muhammad Husein Haikal adalah salah satu tokohnya.

Dimanakah posisi yang tepat dalam rimba belantara pemikiran itu? Aliran pertama, kedua, ataukah ketiga? Islam adalah ad-Din, “Sesungguhnya ad-Din (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam” (QS Ali Imran: 19). Secara konseptual, mengutip Muhammad ‘Imarah dalam Perang Terminologi, Islam versus Barat (1998), ad-Din adalah kode dan jalan yang telah dijelaskan Allah SWT, yaitu siap mengakui kekuasaan Allah SWT sebagai pemegang otoritas mutlak, siap dan pasrah menerima aturan-aturan hukum dan syariah-Nya serta akhirnya menerima dan mengakui bahwa hanya Allah-lah sebagai satu-satunya hakim kelak di hari pengadilan.

Ad-Din berbeda dengan agama (religion). Dalam perspektif Barat yang disemangati ajaran Kristen, yang dimaksud agama hanyalah menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, dan tidak berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan manusia. Adam Kuper dan Jessica Kuper, dalam The Social Science Encyclopedia (1985), menyamakan religion dengan ritual. Seturut dengan itu, P.THL. Verhoeven dan Marcus Carvallo dalam Kamus Latin - Indonesia (1960), menjelaskan bahwa pengertian religion hanya dalam hubungan transedental antara manusia dengan Tuhan.

Apa poin utama, sekaligus positioning terpenting, dari paparan pendek di atas? Ad-Din mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali politik. Atau dalam salah satu ungkapan tersohor dari M. Natsir, “Islam bukan Barat, Islam bukan Timur. Tetapi, Islam adalah Islam.”

 Kamarudin, founder AKSES School of Research