PKS Nilai Pemisahan Pemilu DPRD Bukan Wewenang MK, Minta DPR Ambil Alih Kembali Fungsi Legislasi Pemilu

Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru (Fathur/PKSFoto)
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru (Fathur/PKSFoto)

Jakarta, 2 Juli 2025 — Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan jadwal Pemilu untuk pengisian anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang dapat diselenggarakan antara dua tahun hingga dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden, Wakil Presiden, DPR, dan DPD. 

PKS menilai, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.

Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan bahwa keterpilihan anggota DPRD adalah hasil dari Pemilu yang harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.

 “Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa Pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Hal ini melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subjek lembaga yang diatur,” tegas Zainudin dalam keterangannya, Rabu (1/7/2025) 

Ia menambahkan, perubahan fundamental terhadap norma-norma konstitusi seharusnya menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang Dasar, bukan Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, Zainudin menyebut bahwa melalui putusan ini, MK telah melangkah terlalu jauh.

“MK seolah-olah mengambil alih peran pembentuk UUD, padahal ranah itu bukan kewenangannya. Ini menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita,” lanjutnya.

Terkait Pilkada yang turut diatur dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024, Zainudin mengkritisi inkonsistensi Mahkamah. MK dinilai tidak memiliki posisi tetap mengenai apakah Pilkada masuk dalam rezim pemerintahan daerah atau kepemiluan.

 “Putusan ini seharusnya masuk dalam ranah manajemen pemilu, bukan konstitusionalitas. Ketidakkonsistenan ini semakin memperlemah posisi hukum MK, apalagi dalam putusan sebelumnya No. 85/PUU-XX/2022, Pilkada disamakan dengan Pemilu,” jelasnya.

Zainudin juga menyinggung mengenai model keserentakan Pemilu yang seharusnya dikembalikan kepada pembentuk undang-undang melalui kebijakan hukum terbuka (open legal policy), sebagaimana ditegaskan dalam Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019.

 “Meski pasal-pasal yang diuji dalam perkara ini belum secara eksplisit diubah, kenyataannya model keserentakan telah ditetapkan dan dijalankan pada 2024. Maka, pembentuk undang-undang perlu mengambil kembali fungsi legislasinya untuk memastikan pelaksanaan Pemilu sesuai dengan UUD 1945,” pungkasnya.

PKS menyerukan agar seluruh elemen bangsa, termasuk Mahkamah Konstitusi, menjunjung tinggi prinsip-prinsip konstitusional dalam menjaga marwah demokrasi di Indonesia. (Arya JP)