PKS Ingatkan Utang Indonesia Sudah Level Membahayakan

Jakarta -- Statemen yang seringkali dilontarkan oleh berbagai pihak tentang utang Indonesia yang dinyatakan aman karena masih di bawah ambang batas 60 persen rasio terhadap produk domestik bruto (PDB), mendapat kritikan dari Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Dr. Anis Byarwati.

Dalam rapat komisi XI dengan Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, Dirjen Perbendaharaan, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko pada Rabu, 11 Desember 2019, Anis mengatakan “Mengukur utang berbahaya atau tidak bagi negara, bukan hanya dari rasionya terhadap PDB. Ada indikator-indikator lain yang bisa digunakan untuk mengukur apakah utang tersebut sudah pada tahap berbahaya atau tidak.”

Menurut Anis, mengukur utang berbahaya atau tidak untuk negara tidak hanya tergantung pada rasio utang terhadap PDB. Apalagi dengan menggunakan persepsi yang menganggap bahwa rasio utang Indonesia lebih rendah dari negara lain.

“Jangan terjebak dengan persepsi rasio utang kita paling kecil di dunia", tuturnya mengingatkan.

Sebagai contoh, Anis menyebut Jepang yang memiliki jumlah utang delapan kali lebih besar dari Indonesia, dengan rasio utang terhadap PDB nya sebesar 230 persen. Yang harus diingat, papar Anis, Jepang bukan merupakan debitur murni karena dia memberikan utang kepada negara-negara lain termasuk kepada Indonesia dalam bentuk surat berharga dan pinjaman langsung.

Jepang juga merupakan pemegang surat utang terbesar untuk Amerika, menggeser Tiongkok. Selain itu, suku bunga yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang sangat rendah.

Dalam kurun 10 tahun suku bunga yang diberikan hanya bernilai dikisaran 0 persen yang merupakan terendah di dunia. Di tambah dengan mayoritas surat utangnya dibeli oleh rakyatnya sendiri sehingga dana pembayaran bunga berputar di negaranya sendiri. Oleh karena itu beban utang Jepang tidak berdampak besar pada stabilitas makro ekonomi negaranya.

Contoh negara lain yang diangkat oleh Anis adalah Amerika Serikat yang memiliki rasio utang 106,1 persen terhadap PDB. Tetapi AS hanya menganggarkan 7 persen anggaran negaranya untuk membayar utang. Mayoritas anggaran negara AS dialokasikan untuk program sosial yang langsung diterima oleh masyarakatnya dalam bentuk perlindungan sosial dan kesehatan.

“Kondisi Jepang ini jelas berbeda dengan Indonesia yang merupakan debitur murni. Surat utang Indonesia dalam bentuk rupiah dipegang oleh pihak asing sangat besar sampai 39 persen. Terbesar diantara negara-negara emerging market yang rata-rata 25 persen. Dan ini harus menjadi indikator bahwa utang kita sudah pada level yang membahayakan,” tegasnya.

Hal lain yang dikritisi Anis adalah argumentasi bahwa utang dipakai untuk sektor produktif. Menurutnya, jika mayoritas utang dialokasikan untuk infrastruktur, maka kurang efektif dan tidak sesuai dengan data. Data menunjukkan rasio pembayaran utang terhadap pendapatan ekspor mencapai 24 sampai 28 persen.

Salah satu angka tertinggi diantara negara-negara berkembang. Data juga menyebutkan bahwa selama ini utang negara lebih banyak dipergunakan untuk operasional birokrasi. Peningkatan belanja modal yang berkaitan dengan belanja infrastruktur lebih rendah dari pembayaran utang, belanja barang dan belanja pegawai. Postur belanja seperti ini membahayakan keuangan negara. “Kalau dianggap produktif, dimana letak produktifitasnya?” tanyanya lagi.

Masalah lain yang disoroti Anis terkait dengan beban pembayaran utang yang ikut dibebankan kepada BUMN. Padahal Jika BUMN merugi maka yang harus menanggung bebannya adalah pemerintah juga, dan seringkali rakyat terkena imbasnya dengan kenaikan tarif dan harga kebutuhan pokok.  “Kebijakan utang ini perlu ditinjau dan dikaji kembali,” pungkasnya.