Pengamat Ekonomi: Cara Berpikir Pemerintah Soal Pemindahan Ibukota Negara Masih Kuno

Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira saat menjadi narasumber di acara Bincang Oposisi DPP PKS, Senin (21/12/2021). (Donny/PKSFoto)
Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira saat menjadi narasumber di acara Bincang Oposisi DPP PKS, Senin (21/12/2021). (Donny/PKSFoto)

Jakarta (21/12) - Pengamat Ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan cara berpikir Pemerintah bahwa pemindahan ibukota dengan menciptakan proyek konstruksi maka akan menimbulkan pertumbuhan ekonomi adalah cara berpikir yang kuno. Hal ini disampaikan Bhima saat menjadi pembicara Bincang Oposisi yang digelar oleh DPP PKS, Senin (20/12/2021). Di zaman serba digital sekarang ini semestinya Pemerintah berpikir ke depan dan lebih mengutamakan digitalisasi yang masif.

"Ini yang saya bikin bingung nih, jadi dianggap kalau ada semen sama bata itu kemudian disusun itu nanti menimbulkan pertumbuhan ekonomi baru, padahal ini kan zamannya zaman digital, ibukota bisa di Jakarta tetap, tapi di kalimantan misalnya yang dikembangkan selain tadi inisiasi industrinya bahkan adalah ekonomi digitalnya misalnya, kan ga ada di sana, startup startup adanya dari Jakarta, Bandung dan Jogja, nggak ada startup dari Kalimantan, ibukota pindah di sana nggak juga menjamin adanya digitalisasi yang masif, apalagi cuma bangunan pemerintahan," kata Bhima.

Apalagi, lanjut Bhima, yang menjadi kontradiksi lainnya adalah di satu sisi Pemerintah mengatakan akan mengganti aparatur sipil negara (ASN) dengan robot atau dengan artificial intelligence dan ini merupakan ancaman bagi ASN, akan tetapi di sisi lain berkeyakinan pemindahan ibukota dengan memindahkan bangunan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baru.

"Mereka sendiri berkeyakinan memindahkan ibukota baru, komputernya dipindah kemudian kursi dan mejanya dipindah ke Kalimantan itu akan menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi yang baru, jadi agak saling kontradiksi, mereka juga akhirnya kebingungan dengan teori ataupun asumsi yang dibuat sendiri," ujar Bhima.

Seharusnya yang dikembangkan adalah ekosistem digital usaha miktro kecil dan menengah (UMKM). Sehingga, menurut Bgima, anggaran 466 triliun yang akan dipakai untuk pemindahan ibukota baru itu akan lebih efektif.

"Kalaupun investasi ya investasinya diarahkan ke investasi yang seperti itu, investasi yang memang berkelanjutan serapan tenaga kerja. Kalau konstruksi itu proyeknya selesai ya selesai, paling setiap tahun keluar buat perawatan, tapi tenaga kerjanya tidak berkelanjutan gitu loh, jadi cara berpikirnya ini kok masih berpikir era tahun 70-an, ekonomi klasiknya lebih klasik lagi nih, jadi harus ada bangunannya dulu ada semen ada pasir ada bata disusun jadi gedung pemerintahan itu dianggap akan menciptakan serapan tenaga kerja, jadi cara berpikirnya masih kuno saya bilang," pungkasnya.