Penerbitan Utang Global US$ 4,3 Miliar Melanggar Konstitusi

Ketua DPP PKS Bidang Ekuintek-LH Memed Sosiawan (dok PKSFoto)
Ketua DPP PKS Bidang Ekuintek-LH Memed Sosiawan (dok PKSFoto)

Oleh: Memed Sosiawan

Ketua DPP PKS Bidang Ekuintek-LH

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan dalam teleconference, pada Selasa (7/4/2020), bahwa pemerintah baru saja menerbitkan obligasi global atau surat utang global dengan nilai US$ 4,3 miliar atau Rp 68,8 triliun (kurs Rp 16.000). Surat utang ini merupakan surat utang denominasi dolar AS terbesar sepanjang sejarah yang diterbitkan pemerintah Indonesia.

Sri Mulyani menuturkan, surat utang ini terdiri dari tiga jenis. Pertama, RI 1030 dengan tenor 10,5 tahun dengan nilai US$ 1,65 miliar dengan yield 3,90%. Kedua, RI 1050 bertenor 30,5 tahun dengan nilai US$ 1,65 miliar. Obligasi ini memiliki yield 4,2%. Ketiga, RI 0470 dengan jatuh tempo 50 tahun. Nilai yang diterbitkan US$ 1 miliar dengan yield 4,50%. Sri Mulyani juga menuturkan, penerbitan obligasi ini merupakan yang pertama diterbitkan sejak COVID-19 diumumkan.

Penerbitan surat utang global tersebut didasarkan kepada Pasal 2 (1) f. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan (yang berpotensi melanggar Konstitusi),  dan juga didasarkan kepada kebutuhan Pembiayaan Anggaran yang nilai totalnya diperkirakan sebesar Rp 852,935 triliun, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (5), dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (yang juga berpotensi melanggar Konstitusi).

Pasal 1 ayat (5) Perpres No. 54 Tahun 2020, berbunyi: Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diperkirakan sebesar Rp 852.935.976.739.000,00 (delapan ratus lima puluh dua triliun sembilan ratus tiga puluh lima miliar sembilan ratus tujuh puluh enam juta tujuh ratus tiga puluh sembilan ribu rupiah), yang terdiri atas: a. pembiayaan utang; b. pembiayaan investasi; c. pemberian pinjaman; d. kewajiban penjaminan; dan e. pembiayaan lainnya.

Dan pasal 3 ayat (1) Perpres No. 54 Tahun 2020, berbunyi: Rincian Perubahan Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 berupa Anggaran Pendapatan Negara, Anggaran Belanja Negara, dan Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

Penerbitan surat utang global yang bertenor jangka menengah (RI 1030 bertenor 10,5 tahun) dan bertenor jangka panjang (RI 1050 bertenor 30,5 tahun dan RI 0470 bertenor 50 tahun), akan menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara ketika saatnya jatuh tempo pada tahun 2031, tahun 2051, dan tahun 2070. Bahkan bayi yang hari ini belum lahir akan menanggung pembayaran utang yang akan jatuh tempo pada tahun 2051 dan tahun 2070.

Meskipun Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan yang dijamin oleh konstitusi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa: Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Namun Presiden RI dalam memegang kekuasaan pemerintahan juga dibatasi oleh konstitusi, dalam hal membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945.

UUD NRI Tahun 1945 Pasal 11 ayat (2) menyatakan bahwa, Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.***) dan Pasal 11 ayat (3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.***).

Undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi yang terkait dengan perjanjian internasional adalah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL. Dan pada Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000 tersebut dinyatakan bahwa, Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan: a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Kalau melihat sejarah konstitusi Indonesia setelah kemerdekaan dalam menyikapi perjanjian internasional yang terkait dengan beban keuangan negara, diantaranya utang internasional, maka telah disebutkan dalam KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERIKAT (Keputusan Pres. RIS 31 Djan. 1950 Nr. 48.(c) LN 50–3/du. 6 Peb. ’50), pada pasal 172 ayat (1) dan (2). Pasal 172 Konstitusi RIS 1950 menyatakan, sbb: ayat (1) Pindjaman uang atas tanggungan Republik Indonesia Serikat tidak dapat diadakan, didjamin atau disahkan, ketjuali dengan kuasa undang-undang federal; dan ayat (2) Pemerintah berhak, dengan mengindahkan aturan2 jang akan ditetapkan dengan undang-undang federal, mengeluarkan biljet2 dan promes2 perbendaharaan.

Hal yang sama tentang perjanjian internasional yang terkait dengan beban keuangan negara, diantaranya utang internasional juga telah disebutkan oleh UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA REPUBLIK INDONESIA, UU No. 7 Tahun 1950, LN 1950–56, d.u. 15 Ag 1950 (UUDS 1950) pada pasal 118 ayat (1) dan (2). Pasal 118 UUDS 1950 menyatakan, sbb: ayat (1) Pindjaman uang atas tanggungan Republik Indonesia tidak dapat diadakan, didjamin atau disahkan, ketjuali dengan undang-undang atau atas kuasa undang-undang; dan ayat (2) Pemerintah berhak, dengan mengindahkan aturan-aturan jang ditetapkan dengan undang-undang, mengeluarkan biljet-biljet perbendaharaan dan promes-promes perbendaharaan.

Surat utang global dengan nilai US$ 4,3 miliar atau Rp 68,8 triliun (kurs Rp 16.000) yang merupakan surat utang denominasi dolar AS adalah suatu bentuk pinjaman dalam perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara sehingga harus mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 11 (2) UUD NRI Tahun 1945) dan harus berkedudukan sebagai undang-undang (Pasal 11 (3) UUD NRI Tahun 1945) untuk menjamin adanya kepastian hukum.

Apabila surat utang global sebagai bentuk pinjaman dengan jumlah nilai tertentu menurut perjanjian internasional tidak dapat berkedudukan berdasarkan Perpu dan Perpres yang berpotensi melanggar konstitusi, karena apabila didasarkan kepada Perpu dan Perpres yang berpotensi melanggar konstitusi, maka surat utang global berdenominasi dolar AS tersebut dapat tidak diakui atau diingkari oleh Pemerintahan selanjutnya, karena dianggap telah melanggar konstitusi.

Demikian pula apabila ada pembelian surat utang global yang diterbitkan pemerintah namun tidak dijamin undang-undang secara konstitusional, yang dilakukan oleh Bank Indonesia atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau investor korporasi atau investor ritel atau atau State Own Company (SOC) negara asing atau pembeli lainnya akan merugikan dan memberi resiko hukum kepada pihak pembeli tersebut dalam jangka menengah dan jangka panjang