Pemerintah Harus Temukan Akar Persoalan Darurat Kesehatan di Indonesia

Jakarta (13/11) -- Sambut Hari Kesehatan Nasional yang jatuh pada tanggal 12 November kemarin, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menggelar agenda Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Sehatkan BPJS, Sehatkan Indonesia", Selasa (12/11/2019) di Jakarta.

"Semua pengambil kebijakan harus serius dalam menyelesaikan darurat kesehatan di Indonesia. Harus ditemukan langkah strategis yang menyentuh akar persoalan, bukan yang di permukaan saja " tegas Netty Prasetiyani selaku keynote speaker acara.

Anggota Komisi IX DPR RI ini menuturkan berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2019 ada lima isu prioritas bidang kesehatan dengan angka statistik tinggi, yaitu: Angka Kematian Ibu (AKI) atau Angka Kematian Bayi (AKB), Stunting, Tuberculosis (TBC), Penyakit Tidak Menular (PTM), dan Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap.

"Melihat realitas tantangan Indonesia di bidang kesehatan tersebut, hal yang paling mendesak untuk diselesaikan adalah stunting. Yaitu kondisi kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya," ungkap Aleg Dapil Jabar VIII ini.

Data Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) 2018 menunjukkan, 30,8 persen balita di Indonesia mengalami stunting. Angka ini dianggap mengalami penurunan jika dibandingkan tahun 2013, yakni 37,2 persen. Kondisi ini masih jauh dari target Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yakni 20 persen, "Data ini menunjukkan perjuangan kita menghadapi stunting masih panjang. Indonesia masih darurat stunting,".

Sebagaimana diketahui, WHO menjadikan stunting sebagai fokus Global Nutrition Targets untuk 2025, juga Sustainable Development Goals untuk 2030. WHO mencatat, 60 dari 134 negara masih memiliki tingkat stunting di bawah standar 20 persen. Ambang batas prevalensi stunting dari WHO mengategorikan angka stunting 20 sampai kurang dari 30 persen sebagai tinggi, dan lebih dari atau sama dengan 30 persen sangat tinggi.

Oleh sebab itu, Netty mengajak semua pihak terkait untuk bersemangat mencari solusi. Sebab, stunting menjadi salah satu indikator kunci kesejahteraan rakyat Indonesia. Negara dengan angka stunting tinggi memberikan gambaran ketidaksetaraan sosial dan ketidaksejahteraan secara ekonomi.

"Kami mempertanyakan peran pemerintah dalam usaha menyejahterakan rakyatnya sehingga muncul kasus stunting dengan angka statistik yang tinggi,"ujar Netty.

Apa yang disampaikan Netty, sejalan dengan fakta bahwa Indonesia saat ini merupakan negara dengan beban stunting pada anak tertinggi ke-2 di kawasan Asia Tenggara dan nomor 5 di dunia. Netty juga mengutip data dari Kementerian Kesehatan (2017), ada lima provinsi dengan tingkat prevalensi balita stunting tertinggi di Indonesia adalah Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan.

"Stunting juga memengaruhi perkembangan motorik, kognitif, dan bahasa anak. Bagaimana mungkin presiden bicara soal menyiapkan SDM unggul jika persoalan stunting tidak ditangani dengan tuntas dan melibatkan semua elemen secara komprehensif. Keluarga dengan anak penderita stunting mendapat beban tambahan untuk menjalani perawatan dan pengobatan jangka panjang. Dengan rata-rata kepala keluarga Indonesia yang tidak berpendidikan tinggi dan masih berpenghasilan rendah, tentu ini menjadi berat dan pemerintah harus menemukan jalan keluarnya," tambahnya.