Pandemi Corona dan Resesi Global akan Mengoreksi Target Perekonomian dalam RJPMN 2020-2024 Serta APBN TA 2020 dan TA 2021

Oleh: Memed Sosiawan

(Ketua Bidang Ekuintek-LH DPP PKS dan Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR-RI)

Pandemi Corona yang berawal dari Wuhan China pada bulan januari 2020 telah menyebar dengan cepat keseluruh belahan dunia. Di Indonesia pandemi Corona mulai mewabah pada bulan maret 2020, dan terus meningkat kasusnya sampai saat ini. Puncak dan akhir dari Gelombang Pertama belum bisa diperkirakan, demikian pula kapan dimulai dan diakhirinya Gelombang Kedua pandemi Corona, sehingga kapan pandemi Corona ini akan mereda di Indonesia juga belum bisa diperkirakan.

Setelah sebelumnya kondisi perekonomian dunia sudah melemah karena terjadinya perang dagang antara Amerika dan China, maka dengan terjadinya pandemi Corona ini kondisi perekonomian dunia menjadi semakin terpuruk, sebagian besar negara telah memasuki kondisi resesi, tidak terkecuali kondisi perekonomian di Indonesia. Memburuknya kondisi perekonomian ini akan mengoreksi target perekonomian dalam pembangunan jangka menengah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024), maupun turunannya dalam pembangunan jangka pendek (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020 dan tahun 2021).

Pertumbuhan ekonomi yang diharapkan didalam RPJMN 2020-2024 adalah rata-rata sebesar 5,4% - 6% per tahun dan pertumbuhan PDB per kapita sebesar 4 +/- 1%. Dengan target pertumbuhan ekonomi tersebut GNI per kapita (Atlas Method) diharapkan meningkat menjadi USD 5.600 – 5.930 per kapita pada tahun 2024. Dalam penyusunan APBN TA 2020, target pertumbuhan ekonomi ditetapkan sebesar 5,3% (Nota Keuangan APBN TH 2020). Namun dengan mulai mewabahnya pandemi Corona sejak bulan maret 2019, maka dilakukan dua kali koreksi terhadap target pertumbuhan ekonomi dalam APBN TA 2020, melalui perubahan asumsi makro APBN TA 2020, yang dilakukan pada Outlook APBNP I TA 2020 dan Outlook APBNP II TA 2020.

Dengan semakin memburuknya kondisi perekonomian karena terjadinya pandemi Corona, maka Outlook APBNP II TA 2020 memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun 2020 mengalami penurunan menjadi -1,1% sampai 0,2%. Penurunan pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 diharapkan akan membaik dan meningkat kembali pada tahun berikutnya seiring dengan perkiraan mulai meredanya pandemi Corona, sehingga pertumbuhan ekonomi pada 2021 diharapkan menjadi 5% sebagaimana tercantum dalam Nota Keuangan APBN TA 2021.

Beberapa lembaga multinasional seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank (WB), dan International Monetary Fund (IMF), juga memberikan prediksinya terhadap kondisi pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 2020 dan 2021. ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sebesar -1,0% sampai 2,5% (2020) dan 5,3% (2021). Kalau WB memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sebesar -2,0% sampai -1,6% (2020) dan 3,0% sampai 4,4% (2021). Sedangkan IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sebesar -0,3% sampai 0,49% (2020) dan 6,1% sampai 8,2% (2021).

Pertumbuhan ekonomi di tiga tahun terakhir (2022, 2023, dan 2024) juga akan sulit ditingkatkan pada kisaran 6%, berdasarkan pengalaman pertumbuhan ekonomi di lima tahun terakhir yang tidak beranjak dari kisaran 5%, padahal pada saat itu belum terjadi pandemi Corona dan resesi global. Dengan demikian tercapainya pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5,4% sampai 6% selama lima tahun kedepan sebagaimana diharapkan dalam RPJMN 2020-2024 dan pertumbuhan PDB per kapita sebesar 4 +/- 1%, serta target terwujudnya GNI per kapita (Atlas Method) yang meningkat menjadi USD 5.600 – 5.930 per kapita pada tahun 2024, akan sulit diwujudkan. Diperkirakan pertumbuhan ekonomi selama periode 2020-2024 hanyalah berada pada kisaran rata-rata 4%.

Defisit anggaran didalam RPJMN 2020-2024 juga dijaga rata-rata sebesar 1,7% PDB, dibawah batas defisit anggaran yang diperbolehkan oleh undang-undang. APBN TA 2020 juga telah menetapkan defisit anggaran sebesar 1,76% PDB. Dengan merebaknya pandemi Corona maka dilakukan perubahan batas defisit anggaran menjadi diatas 3% PDB selama 3 tahun, dan setelahnya batas defisit anggaran kembali dibawah 3% PDB melalui Perpu No 01 TH 2020 yang kemudian disahkan menjadi UU No 02 TH 2020. Setelah terjadinya pandemi Corona dilakukan perubahan defisit anggaran sebanyak dua kali, pertama defisit anggaran menjadi 5,07% PDB pada APBNP I TA 2020 (Perpres No 54 TH 2020), dan diubah kembali menjadi 6,34% PDB pada APBNP II TA 2020 (Perpres No 72 TH 2020). Defisit anggaran pada APBN TH 2021 juga telah ditetapkan sebesar 5,7% PDB.

Dengan belum bisa diperkirakannya kapan pandemi Corona ini di Indonesia bisa mereda, tidak tertutup kemungkinan defisit anggaran masih akan dipertahankan diatas 3% PDB pada RAPBN TA 2023 untuk kebutuhan anggaran recovery dampak pandemi dan stimulus percepatan kelesuan ekonomi karena resesi. Kalaupun pada dua tahun terakhir periode 2020-2024, defisit anggaran bisa dikembalikan dibawah kisaran 3% PDB, maka harapan bisa dijaganya defisit anggaran pada kisaran 1,7% PDB sebagaimana direncanakan dalam RPJMN 2020-2024 akan sulit dicapai. Dengan demikian selama periode 2020-2024 diperkirakan defisit anggaran akan berada pada kisaran 4%.

Rasio utang terhadap PDB didalam RPJMN 2020-2024 juga diharapkan dijaga pada kisaran 30% PDB. Semula APBN TA 2020 juga telah menetapkan besaran rasio utang terhadap PDB pada kisaran 29,4% sampai 30,1% PDB. Namun dengan proyeksi terkontraksinya pertumbuhan ekonomi dan ditingkatkannya defisit anggaran, maka besaran rasio utang terhadap PDB pada APBNP II TA 2020 diperkirakan melonjak menjadi 37,6% PDB. Selanjutnya pada APBN TA 2021 besaran rasio utang terhadap PDB juga direncanakan akan semakin naik pada kisaran 37,6% - 38,5% PDB. ADB memperkirakan bahwa rasio utang Indonesia terhadap PDB masih berada dibawah 40% PDB (2020), sedangkan WB memperkirakan bahwa rasio utang terhadap PDB berada pada 37% PDB (2020) dan 37,5% PDB (2021), lalu pada akhir periode 2020-2024 diperkirakan rasio utang terhadap PDB menjadi sebesar 40% (2024).

Dengan melonjaknya defisit anggaran selama periode 2020-2024, maka harapan akan terjaganya rasio utang terhadap PDB sebesar 30% PDB sulit terwujud. Kalau dalam dua tahun terakhir periode 2020-2024, rasio utang terhadap PDB belum bisa diturunkan secara signifikan, namun cenderung stagnan atau meningkat, maka diperkirakan rata-rata rasio utang terhadap PDB selama periode 2020-2024 berada pada kisaran 38,5% PDB.

Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dalam RPJMN 2020-2024 diharapkan menurun menjadi 4.0% sampai 4,6%. Pada tahun 2020 sebelum terjadinya pandemi Corona juga telah ditetapkan target TPT sebesar 4,8% sampai 5,0% (Nota Keuangan APBN TA 2020). Perkiraan terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi setelah terjadinya pandemi Corona yang akan meningkatkan angka pengangguran, menyebabkan besarnya TPT pada 2020 dikoreksi kembali menjadi 8,1% sampai 9,2% (Outlook APBNP II TA 2020). Kondisi tersebut diperkirakan akan berlanjut sampai tahun 2021, sehingga besarnya TPT pada 2021 masih diproyeksikan pada kisaran 7,7% sampai 9,1% (Nota Keuangan APBN TA 2021). Sedangkan IMF memperkirakan bahwa besarnya tingkat pengangguran sebesar 7,5% (2000) dan sebesar 6,0% (2021).

Besarnya Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang diharapkan menurun menjadi 4.0% sampai 4,6% sebagaimana direncanakan dalam RPJMN 2020-2024 masih akan sulit diwujudkan. Kalau dalam tiga tahun terakhir dalam periode 2020-2024, tingkat pengangguran dapat diturunkan sebesar 1% per tahun, maka rata-rata tingkat pengangguran selama periode 2020-2024 diperkirakan berada pada kisaran 7%.

Tingkat Kemiskinan dalam RPJMN 2020-2024 juga diharapkan menurun menjadi 6,5% sampai 7%. Pada awalnya untuk tahun 2020 tingkat kemiskinan juga telah ditetapkan sebesar 8,5% sampai 9% (Nota Keuangan APBN TA 2020). Dengan meningkatnya tingkat pengangguran akibat resesi ekonomi maka besarnya tingkat kemiskinan pada 2020 juga dikoreksi menjadi 9,7% sampai 10,2% (Outlook APBNP II TA 2020). Sebagaimana yang terjadi dengan tingkat pengangguran, maka tingkat kemiskinan pada 2021 juga masih akan berada pada kisaran 9,2% sampai 9,7% (APBN TA 2021). ADB memperkirakan bahwa tingkat kemiskinan pada 2020 sebesar 9,4%. Sedangkan WB memperkirakan bahwa tingkat kemiskinan pada 2020 berada pada kisaran 10,0% sampai 10,9%.

Besarnya tingkat kemiskinan yang semula diharapkan bisa menurun menjadi 6,5% sampai 7% sebagaimana direncanakan dalam RPJMN 2020-2024 juga akan sulit terwujud. Kalau pada tiga tahun terakhir periode 2020-2024 terjadi penurunan angka pengangguran sebesar 1% per tahun, maka rata-rata tingkat kemiskinan selam periode 2020-2024 diperkirakan pada kisaran 8%.

Dengan terkoreksinya beberapa target perekonomian yang pada awalnya ditetapkan dalam RPJMN 2020-2024 dan asumsi makro dalam APBN 2020 serta penyesuaiannya pada asumsi makro APBN 2021, maka beberapa koreksi tersebut dapat menjadi masukan dan landasan baru dalam penyususan RPJMN 2025-2029 dan asumsi makro pada APBN tahun-tahun berikutnya.

Kondisi pandemi Corona dan kontraksi pertumbuhan ekonomi yang mengikutinya juga akan menjadi masukan berharga dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2044 yang selaras dengan cita-cita kolektif bangsa dalam Visi Indonesia 2045 (masa seratus tahun Indonesia merdeka), sebagai perencanaan jangka panjang yang melanjutkan cita-cita dan harapan sebagaimana termaktub dalam RPJPN 2004-2024 yang masa berlakunya juga akan berakhir pada tahun 2024 (Jakarta, 270920. Bidang Ekuintek-LH, DPP PKS).