Mengintip Evaluasi Mendagri Atas APBD DKI 2015 Usulan Gubernur Ahok: Menyeimbangkan Informasi (3-Habis)

Alokasi anggaran untuk Tunjangan Kinerja mencapai 10,85 triliun (T) atau 16,1% total belanja daerah, dinilai harus ditinjau ulang dan disesuaikan dengan peraturan perundangan yang ada (Pasal 63 PP No. 58/2005 dan Pasal 39 Permendagri No 13/2006). Alokasi tunjangan kinerja ini juga lebih besar daripada belanja untuk penyelenggaraan urusan wajib  yang berkaitan dengan pelayanan dasar, seperti Pendidikan (10,759 T atau 15,95%), Kesehatan (6,6 T atau 9,8%), Pekerjaan Umum  (10,7 T atau 15,9%), perumahan rakyat (3,08 T atau 4,58%). Lebih ironis lagi, alokasi anggaran untuk Tunjangan Kinerja ini juga jauh lebih besar daripada alokasi belanja untuk program penanggulangan banjir yang hanya 5,35 triliun padahal Jakarta punya problem banjir yang semakin serius dan menimbulkan kerugian yang semakin besar. Padahal juga, kemarin Gubernur Ahok teriak tidak mau anggaran untuk banjir yang jadi prioritas dipotong oleh DPRD. Sementara Pemda DKI malah mengalokasikan anggaran Tunjangan Kinerja yang dua kali lipat anggaran penanggulangan banjir. Lalu, bagaimana Gubernur bisa marah-marah soal anggaran siluman dan ingin anggaran pro rakyat dan mengatasi permasalahan kronis seperti kemacetan dan banjir, padahal Gubernur justru mengalokasikan anggaran yang fantastis untuk gaji dan tunjangan.

Alokasi anggaran yang tidak rasional dan tidak sesuai azas kepatutan terlihat pada alokasi anggaran untuk honorarium yang mencapai 2,9 triliun dan anggaran Tenaga Ahli/Infrastruktur/ Narasumber yang totalnya mencapai  825,6 milyar. Padahal alokasi anggaran untuk kegiatan-kegiatan lain yang diperlukan, atau untuk fungsi-fungsi pemerintahan lain seperti penanggulangan bencana dan urusan sosial jauh lebih kecil nilainya. Belum lagi anggaran Belanja Tidak Terduga yang mencapai 1,2 Triliun yang tidak rasional dibandingkan anggaran yang sama pada APBD-P 2014 yang hanya 87,1 Milyar.

Dalam hal pembiayaan untuk penyertaan modal pemerintah (PMP), Gubernur juga tidak melakukan evaluasi atas penyertaan modal yang telah diberikan kepada beberapa BUMD yang tidak menunjukkan kinerja yang baik. PMP terhadap PD. Dharma Jaya, PT. Ratax Armada, PT. Cemani Toka, PT. Grahasari Surya Jaya dan PT. RS Haji Jakarta dengan total Rp. 319.3 Milyar dinila perlu dilakukan evaluasi lagi dan melakkan upaya hukum atas penyehatan perusahaan atas PMP yang sudah dilakukan. Dalam KUA-PPAS, DPRD bahkan sudah membei peringatan untuk tidak mamasukkan PMP kepada PD. Dharma Jaya dan PT. Ratax Armada, namun tidak ada tindakan yang dilakukan oleh eksekutif.

Dalam APBD versi Gubernur juga ada anggaran perjalanan dinas dalam kota dan luar kota sebesar Rp. 160,7 milyar yang harus dikurangi karena dinilai tidak efisien. Ada juga anggaran perjalanan rapat dalam kota senilai Rp. 65,9 milyar yang diindikasikan terjadi duplikasi dengan anggaran perjalanan dinas dalam kota.  Anggaran lain yang dinilai tidak wajar dan tidak patut seperti anggaran sewa sarana mobilitas yang mencapai Rp. 776,6 milyar, anggaran belanja modal angkutan, peralatan dan perlengkapan kantor, pengadaan komputer termasuk UPS, mebeulair, peralatan studio dan komunikasi dengan total mencapai Rp. 1,03 Triliun. Alokasi anggaran-anggaran tersebut diminta harus dialihkan untuk anggaran yang berkaitan dengan fungsi pelayanan dasar atau peningkatan kualitas dan kualitas pelayanan publik serta penanggulangan masalah kronis Jakarta seperti banjir dan kemacetan. Anggaran yang juga diminta dikurangi dan dialihkan untuk kepentingan yang lebih besar adalah alokasi anggaran belanja jasa konsultansi yang mencapai Rp. 506,8 milyar.

Mari kita sama-sama memahami duduk persoalan yang sebenarnya dari polemik APBD ini. Jika alokasi anggaran yang diajukan Gubernur ke Mendagri seperti ini, maka wajar jika Kemendagri membuat begitu banyak catatan terhadap RAPBD yang diajukan. Menjadi wajar pula jika DPRD mempertanyakan mengapa bukan anggaran hasil pembahasan bersama DPRD yang sudah disetujui bersama yang diajukan ke Mendagri sesuai ketentuan perundang-undangan. Kalaupun ada anggaran yang dinilai berlebihan atau tidak wajar, Gubernur bisa tidak mengeksekusinya. Jangan justru mengajukan anggaran yang jauh dari keberpihakan kepada kepentingan yang lebih besar dan menolak untuk diutak-atik atas usulan anggaran tersebut.

***

Sebelumnya Mengintip Evaluasi Mendagri Atas APBD DKI 2015 Usulan Gubernur Ahok: Menyeimbangkan Informasi 

Sumber: http://politik.kompasiana.com