Memaknai Gotong Royong
Sebagai bangsa kita sedang prihatin. Hari demi hari kita disuguhi dengan berbagai aksi kekerasan masyarakat. Perilaku saling menyalahkan, bahkan mengarah pada perpecahan dengan segala modifikasinya seolah merupakan kewajaran.
Peristiwa tawuran, perkelahian antarkelompok, perpecahan partai politik, pertikaian antarkelembagaan negara, bahkan adegan kebencian yang disuguhkan oleh para pemimpin formal dan informal secara tidak kita sadari menambah memori akan ” indahnya perpecahan”.
Siapa pahlawan adalah seolah siapa yang menang. Atau siapa yang lebih besar pengaruhnya dibanding pihak lain. Atau bahkan siapa yang mampu mengalahkan atau mempermalukan pihak lain di mata publik. Tidak berlebihan jika Gerry Van Klinken dalam bukunya ”Perang Kota Kecil; Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia” menuliskan ada fakta baru dalam Social Movement theory: kekerasan adalah bagian dari politik normal.
Nampaknya teori ini seolah menjadi pembenar apa yang sedang terjadi pada bangsa ini. Sejatinya, segala bentuk kekerasan dan perpecahan ini bukanlah akar budaya kita. Nenek moyang kita telah mewariskan nilai-nilai luhur sebagai pedoman kehidupan berbangsa.
Bung Karno, sang founding father kemudian merumuskannya dalam konsep ideologi Pancasila. Konsep inilah yang menyatukan kita saat ini dalam bingkai kebangsaan bernama Indonesia Sebagai bagian dari ikhtiar untuk mempermudah pemahaman masyarakat Indonesia, Bung Karno lalu memeras lagi Pancasila menjadi konsep Trisila.
Yakni: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Bahkan, disarikan kembali menjadi Ekasila: Gotong royong. Artinya inti atau roh dari Pancasila adalah gotong royong. Namun, di era globalisasi ini kemudian muncul ancaman bagi eksistensi gotong royong dari dua arah yang berbeda.
Pertama, tema modernitas ala Barat yang bersifat kapitalisisme yang cenderung liberal. Pendekatan transaksional yang memiliki kaidah entuk apa, entuk pira (dapat apa, dapat berapa). Ancaman kedua adalah faktor individualistis yang dibingkai ”kesalehan pribadi”.
Faktor ini muncul akibat pemahaman islami yang juzzi (terpotong), seolah sosok individu yang akan masuk surga sendiri. Ancaman tersebut menggerus gotong royong yang merupakan identitas dasar bangsa Indonesia. Sebuah indentitas bangsa yang telah meregional, yakni identitas ketimuran.
Ala PKS
Hari Rabu (20/4/2016), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) genap berusia 18 tahun. Usia ini tentu mengarah pada masa pematangan jatidiri untuk semakin mematangkan kontribusi kenegaraan. PKS yang lahir, tumbuh dan berkembang di Indonesia dan bercampur dengan tradisi lokal yang ada, ingin kembali bersama komponen bangsa menyegarkan nilai-nilai luhur bangsa yang mulai terkikis.
Gotong royong, yang sejatinya adalah konsep saling membantu ini, dapat diaplikasikan ke berbagai macam bentuk dan jenjang struktural bermasyarakat. Sebagai entitas politik, cap ”politisi anyaran; rung ngerti ilmune menang” (politisi baru; belum mengerti ilmu untuk menang) acapkali mampir dari gerakan gotong royong ala PKS.
Tim Pos Penanggulangan Bencana PKS, gerakan beli PKS, gerakan ”bank darah” kader, bagian kecil dari upaya PKS untuk bekerja sama dengan berbagai elemen bangsa nguri-nguri budaya ini. Saat ini PKS mengemas kembali konsep tersebut dalam payung ”Rumah Khidmat PKS”. Sebuah gerakan nasional untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat Indonesia.
Termasuk di dalamnya program ”Rumah Cerdas”, ”Rumah Sehat”, ”Rumah Peduli”, ”Rumah Konsultasi Syariah”, ”Rumah Aspirasi” dan ”Rumah Dakwah”. Sebuah upaya kecil untuk ikut menuntaskan berbagai problematika masyarakat.
Rumah sederhana di seluruh pelosok Indonesia yang digadang-gadang akan melahirkan sosok penggerak lingkungannya sesuai kapasitasnya. Tidak harus besar namun harus memberi inspirasi. Karena ”Rumah Khidmat PKS” ini bukan one stop service dari semua permasalahan masyarakat, sebagaimana pusat penyelesaian masalah yang dimiliki pemerintah.
Namun ini merupakan ikhtiar kecil agar rasa kebersamaan ini ada. Mengapa ”Rumah Khidmat”? Karena PKS yakin masyarakat Indonesia sejatinya adalah masyarakat yang hebat, mandiri, dan siap berkorban bersama. Hanya saja mereka membutuhkan sosok insipirator yang hadir di tengah masyarakat baik formal maupun informal.
Itulah sebabnya PKS Jawa Tengah berharap bisa lebih njawani, dengan pengertian menyatu dalam tubuh masyarakat. Bukan merupakan aliran baru yang ingin menghilangkan atau minimal menggerus paham yang sudah ada. Bukan pula juga sosok individu atau kelompok yang dipersepsikan selalu ingin benar sendiri atau menang sendiri.
Namun PKS hanya ingin bergotong royong bersama masyarakat melalui apa yang bisa para kader PKS berikan. Kesadaran itulah yang menyebabkan PKS ingin tetap bersama Koalisi Merah Putih menjadi penyeimbang bagi Pemerintahan Jokowi-JK. Bersikap kritis namun konstruktif dalam kenegaraan, dengan tetap menjalin silaturahim dengan elemen pemerintahan. (47)
— Kamal Fauzi, ketua DPW PKS Jawa Tengah 2015-2020
Sumber: Suara Merdeka Cetak