Mayoritas Pimpinan Fraksi DPR Tolak Pemilu Proporsional Tertutup, HNW: Peserta Pemilu Dukung Sistem Terbuka

Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid
Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid

Jakarta (04/01) — Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid mengapresiasi sikap delapan Ketua/Pimpinan Fraksi DPR RI, yang secara bersama tegas menolak sistem pemilu proporsional tertutup.

Hal tersebut, kata Hidayat, agar konstitusi dilaksanakan dengan benar dan progresif, agar demokrasi di Indonesia tidak mundur ke belakang.

Sikap bersama delapan Pimpinan Fraksi di DPR RI ini makin penting diperhatikan oleh KPU, karena Ketua dan dua Wakil Ketua Komisi II yang merupakan mitra kerja KPU juga ikut mendukung dan menandatangani sikap mereka yang menolak usulan pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup.

Dan kalau Fraksi (sesuai ketentuan UU MD3) adalah kepanjangan tangan Partai, maka berarti hanya satu partai di DPR yang mendukung sistem proporsional tertutup, dan ada delapan partai peserta Pemilu yang berada di DPR sudah menyatakan sikap tegasnya menolak pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup dan mendukung Mahkamah Konstitusi (MK) agar konsisten dengan keputusan sebelumnya yaitu Pemilu dengan sistem proporsional terbuka.

“Ini menunjukkan bahwa delapan dari sembilan fraksi yang ada di DPR RI, atau delapan dari sembilan Partai di DPR peserta Pemilu semuanya sepakat menghendaki sistem pemilu proporsional terbuka. Artinya, kecuali Fraksi PDIP, semua fraksi dan Partai peserta Pemilu di DPR kompak ingin sistem proporsional terbuka dilanjutkan, karena sistem proporsional terbuka sesuai dengan konstitusi, dan itu sesuai dengan putusan MK sebelumnya,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (04/01).

HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa dengan sistem pemilu terbuka, maka rakyat, pemilih, dan pemilik kedaulatan tertinggi dapat mengetahui dan bisa memilih langsung calon legislatif yang dipercayai untuk menjadi Wakilnya di Parlemen. Mereka bisa mempergunakan kedaulatan untuk memilih dengan terbuka, tidak ibarat ‘membeli kucing dalam karung’ seperti bila itu mutlak dipilihkan oleh partai politik sebagaimana diberlakukan dalam sistem pemilu proporsional tertutup.

“Dan diharapkan rakyat selaku pemilih dan pemilik kedaulatan bisa mempergunakan haknya untuk memberi ‘reward atau punishment’ dengan memperhatikan track record serta visi dan misi caleg atau parpol yang akan dipilihnya,” ujarnya.

Lebih lanjut, HNW sependapat dengan pernyataan sikap delapan Ketua Fraksi itu bahwa sistem proporsional terbuka merupakan bentuk kemajuan demokrasi di Indonesia, yang tidak menyerahkan anggota legislatif yang dipilih rakyat sebagai mutlak kewenangan parpol semata layaknya di dalam sistem tertutup.

“Ini juga sejalan dengan ketentuan kedaulatan ada di tangan rakyat yang dijamin oleh Pasal 1 ayat (2) UUD NKRI 1945,” tuturnya.

HNW berharap bahwa sekalipun sistem proporsional terbuka masih memerlukan banyak perbaikan, tetapi sikap delapan Ketua Fraksi di DPR dikuatkan oleh tiga Pimpinan Komisi II yang membidangi urusan pemerintahan dan Pemilu menjadi salah satu pertimbangan MK dalam memutus perkara pengujian UU Pemilu yang diajukan oleh sejumlah pihak yang menginginkan pemberlakuan kembali sistem proporsional tertutup.

“MK juga harusnya konsisten dengan putusannya sendiri yang sebelumnya mengubah dari sistem proporsional tertutup menjadi terbuka, dan bahwa sistem proporsional terbuka lah yang lebih sesuai dengan UUD NKRI 1945,” tuturnya.

Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga berharap agar kegaduhan mengenai sistem pemilu ini segera diakhiri dengan ditolaknya permohonan itu, agar semua pihak terkait fokus melaksanakan seluruh tahapan Pemilu.

“Apalagi pimpinan KPU ketika bertemu dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah sudah juga mendapatkan penegasan bahwa Pemilu pada 14 Februari 2024 merupakan harga mati,” tegasnya.

“KPU fokus saja pada tugasnya untuk melaksanakan Pemilu dan tidak ikut campur dalam polemik wacana perubahan sistem tertutup ini. Karena pada prinsipnya ada asas presumption of constitutionality, yakni suatu aturan UU dianggap konstitusional selama MK tidak memutuskan sebaliknya. Dan yang berlaku saat ini adalah sistem proporsional terbuka. Maka MK yang putusannya bersifat final dan mengikat hendaknya juga konsisten dengan putusan yang pernah dibuatnya, agar tidak menimbulkan kegaduhan yang dapat menyebabkan ketidakpercayaan Rakyat serta persiapan pemilu yang tidak maksimal yang bisa berakibat kepada hasil pemilu yang tidak maksimal, dan karenanya tidak menghadirkan kemajuan demokrasi dan masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, sebagaimana harapan Rakyat dan kita semuanya,” pungkasnya.