Mandatory Spending Dihapus, FPKS DPR RI Konsisten Tolak Pengesahan RUU Kesehatan

Jakarta - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Kesehatan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (11/07).

Anggota Fraksi PKS DPR RI Netty Prasetiyani Aher menyampaikan beberapa pandangan dan pertimbangan Fraksi PKS terkait penolakan pengesahan RUU Kesehatan.

“Pertama, tidak dicantumkannya pengaturan alokasi wajib anggaran (mandatory spending) kesehatan dalam RUU merupakan kemunduran bagi upaya menjaga kesehatan rakyat Indonesia,” katanya

Padahal, ujar Netty, mandatory spending merupakan bagian penting dari RUU yang menjamin adanya alokasi anggaran kesehatan secara adil guna memastikan peningkatan derajat kesehatan masyarakat.

“Upaya memastikan penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang adil, merata, dan terjangkau di seluruh lapisan masyarakat merupakan amanah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Negara tidak boleh melepas tanggungjawab tersebut dengan alasan tidak tersedia dana atau alasan lainnya,” tandas Netty.

Dalam pandangan Fraksi PKS yang disampaikan Netty, proses penyusunan undang-undang ini menjadi preseden yang kurang baik dalam proses legislasi ke depan karena waktu pembahasan yang pendek.

“Pembahasan tingkat satu RUU Kesehatan yang mengompilasi regulasi dari 13 Undang-Undang, baik berupa perubahan maupun penghapusan, dilakukan dalam rentang waktu kurang dari dua bulan. Bagaimana bisa pembahasan menyangkut begitu banyak UU terdampak dilakukan dengan tergesa-gesa,” ujarnya.

Selain itu, Fraksi PKS juga menyoroti adanya 101 ketentuan lebih lanjut dalam RUU ini yang akan diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan pasal 476 RUU ini menyebutkan bahwa Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diundangkan.

“Fraksi PKS menilai bahwa hal tersebut akan mengakibatkan over/hiper regulasi dan sangat mungkin penyusunan peraturan pelaksanaan dilakukan tergesa-gesa,” tegas Netty.

Lebih lanjut Netty menyampaikan pandangan Fraksi FPKS tentang penghapusan pasal yang melepaskan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap jaminan kebutuhan hidup orang pada masa karantina rumah.

“Penghapusan pasal 52 ayat (1), pasal 55 ayat (1), dan pasal 58 dari UU Kekarantinaan Kesehatan yang berbunyi: ‘Selama penyelenggaraan Karantina Rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat’ merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab negara terhadap rakyat di masa wabah,” ujarnya.

Fraksi PKS, kata Netty, menginginkan terwujudnya ‘Kerja Mudah, Sehat Murah’ bagi masyarakat Indonesia sehingga aturan yang dihadirkan harus berpihak kepada masyarakat luas dan bukan pada para pemilik modal.

“Kerja mudah, artinya, negara harus menjamin tersedianya lapangan kerja yang luas, dalam hal ini bagi tenaga medis dan kesehatan dalam negeri. Jangan persempit kesempatan kerja akibat masuknya tenaga kerja asing dengan payung regulasi. Sehat murah, artinya, negara harus dapat menjamin tersedianya sistem kesehatan yang dapat diakses merata dan murah oleh seluruh rakyat,” ungkapnya.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut dan dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, ucap Netty, maka Fraksi Partai Keadilan Sejahtera dengan mengucapkan menyatakan menolak Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan untuk disahkan menjadi Undang-Undang.