Kontribusi dan Daya Saing Sektor Pertanian Terus Merosot

Ketua Bidang Ekuinteklh DPP PKS Memed Sosiawan (PKS Foto)
Ketua Bidang Ekuinteklh DPP PKS Memed Sosiawan (PKS Foto)

Oleh Ir. Memed Sosiawan, ME

Ketua Bidang Ekuinteklh DPP PKS

Selama tiga puluh tahun lebih dari 1985 sampai dengan 2016, terjadi trend perubahan struktur ekonomi dan struktur ketenagakerjaan di Indonesia (Platform Kebijakan Pembangunan PKS 2017).

Berbagai sektor usaha mengalami transformasi, dan diantara berbagai sektor yang mengalami perubahan dengan trend yang konstan adalah kinerja sektor pertanian dengan kecenderungan terus merosot. Kemerosotan kinerja sektor pertanian dapat dibaca melalui turunnya kontribusi sektor pertanian secara kontinyu terhadap PDB dan melemahnya daya saing sektor pertanian.

Pada tahun 1985, Sektor pertanian masih memberikan kontribusi tertinggi terhadap PDB dengan porsi 21 persen PDB, dengan kontribusi tertinggi terhadap PDB maka sektor pertanian juga mampu menjadi tumpuan serapan tenaga kerja dengan porsi sampai 53 persen dari total tenaga kerja pada saat itu.

Sedangkan pada tahun 2016, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB merosot menjadi 12,82 persen dan tenaga kerja yang mampu diserap oleh sektor pertanian tinggal 31 persen. Sebanyak 22 persen tenaga kerja bermigrasi ke sektor ekonomi lain yang memberikan penghasilan, produktifitas dan daya saing lebih tinggi.

Pada masa yang akan datang sektor pertanian masih mempunyai kecenderungan merosot karena pertumbuhan tahunan sektor pertanian selalu berada dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional. Dalam tiga tahun terakhir dari 2014-2016, ditengah stagnasi pertumbuhan ekonomi nasional yang berkisar diangka 5 persen, dengan pertumbuhan : 5,01 persen (2014); 4,88 persen (2015); dan 5,02 persen (2016) ternyata pertumbuhan sektor pertanian terus menurun dalam kisaran dibawah 4 persen, dengan pertumbuhan : 4,24 persen (2014); 3,77 persen (2015); dan terus menurun menjadi 3,25 persen (2016).

Selain kontribusi sektor pertanian terhadap PDB, serapan tenaga kerja sektor pertanian, dan laju pertumbuhan sektor pertanian yang cenderung terus menurun, maka disisi lain inflasi pangan (volatile food) yang terjadi juga masih sangat bergejolak dibandingkan dengan kecenderungan inflasi tahunan yang cenderung stabil dan turun dalam kisaran rendah dalam tiga tahun terakhir.

Inflasi pangan bergerak fluktuatif dan cenderung tinggi, dengan angka 10,88 persen (2014), lalu turun menjadi 4,84 persen (2015), dan naik kembali menjadi 5,92 persen (2016), ditengah kondisi inflasi tahunan yang cenderung menurun dan stabil, pada kisaran 8,36 persen (2014), lalu turun menjadi 3,35 persen (2015), dan kembali turun menjadi 3,02 persen (2016). Gejolak inflasi pangan yang seharusnya bergerak pada kisaran 4 persen-5 persen menandakan belum terjadinya keseimbangan antara pasokan (supply) pangan dan konsumsi (demand) pangan.

Gejolak inflasi pangan bisa juga menandakan bahwa struktur pasar sektor pertanian belum terbangun secara kompetitif dan berdaya saing karena ada dominasi pelaku bermodal besar yang menentukan harga pasar dan rantai pasokan. Ada monopoli dan oligopoli dalam struktur pasar sektor pertanian, yang harus diberantas.

Upaya pemerintah untuk melakukan stabilisasi harga pangan melalui kebijakan impor dan penerapan harga eceran tertinggi (HET) belum sepenuhnya menghilangkan dampak negatif yang akan dirasakan oleh sektor pertanian terutama petani dan pedagang kecil menengah.

Kebijakan impor pangan akan menekan harga pangan yang merugikan petani, sedangkan penerapan HET akan memangkas rantai pasokan pangan dari pedagang kecil sampai pedagang menengah (pengepul), karena pedagang bermodal besar akan berusaha sendiri menekan harga beli ditingkat petani dan mendorong harga jual mendekati HET serta mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan yang seharusnya terdistribusi kepada pedagang kecil dan pedagangan menengah.