KKP-MPP PR(02): PENYERTAAN MODAL NEGARA (PMN) SEBESAR RP 106,35T DARI UTANG

Memed Sosiawan (Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS)
Memed Sosiawan (Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS)

Oleh: Memed Sosiawan (Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS)

Komisi VI DPR RI menyampaikan hasil Rapat Kerja bersama Kementerian BUMN yang digelar pada Rabu sore (14/7/2021) berkaitan dengan usulan Penyertaan Modal Negara (PMN). Komisi VI DPR menyetujui usulan PMN Tambahan tahun anggaran 2021 sebesar Rp 33,9 triliun dan PMN tahun anggaran 2022 yakni Rp 72,449 triliun sehingga total mencapai Rp 106,35 triliun.

Komisi VI DPR mengusulkan tambahan PMN 2021 untuk penanganan Covid-19 dan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional di masa pandemi dengan catatan dilakukan secara transparan akuntabel dan dilaporkan berkala kepada Komisi VI. Namun ternyata Pemerintah cq Menteri BUMN mengatakan bahwa untuk tahun 2021 ini kebutuhan PMN Tambahan 2021 sebesar Rp 33,9 triliun, akan diberikan kepada tiga BUMN. Ketiga BUMN tersebut adalah PT Waskita Karya Tbk (WSKT) sebesar Rp 7,9 triliun, PT KAI (Persero) Rp 7 triliun, dan PT Hutama Karya (Persero) atau HK sebesar Rp 19 triliun, yang tidak berkaitan dengan program penanganan Covid-19.

Komisi VI juga menyetujui PMN tunai untuk tahun anggaran 2022 senilai Rp 72,449 triliun dan konversi Rekening Dana Investasi (RDI) dan Perjanjian penerusan pinjaman atau SLA dan eks BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) menjadi PMN non tunai dalam bentuk ekuitas untuk 2022 menjadi usulan RAPBN 2022. Adapun untuk PMN tahun 2022, sudah disampaikan juga dalam Raker Kamis pekan lalu bahwa totalnya mencapai Rp 72,44 triliun diberikan kepada 12 BUMN.

BUMN yang akan menerima PMN tersebut adalah: 1. Hutama Karya Rp 31,35T untuk Jalan Tol Trans Sumatera; 2. BUMN Pariwisata in Journey (Aviasi Pariwisata Indonesia/Aviata) Rp 9,318T untuk permodalan dan restrukturisasi, proyek Mandalika; 3. PLN Rp 8,231T untuk transmisi gardu induk dan listrik perdesaan; 4. BNI Rp 7,0T untuk penguatan modal tier 1 dan CAR (rasio kecukupan modal); 5. KAI-KCJB Rp 4,1T untuk PSN Kereta Cepat; 6. Waskita Karya Rp 3,0T untuk penguatan modal, restrukturisasi; 7. IFG Rp 2,0T untuk restrukturisasi Jiwasraya; 8. Adhi Karya Rp 2,0T untuk jalan tol Solo-DIY, Bawen dan proyek SPAM Karian-Serpong; 9. Perumnas Rp 2,0T untuk perumahan rakyat berpenghasilan menengah rendah (MBR); 10. Bank BTN Rp 2,0T untuk penguatan modal tier 1 dan CAR; 11. RNI Rp 1,2T untuk penguatan industri pangan; dan 12. Damri Rp 250 miliar untuk penguatan modal dan penyediaan armada.

Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN yang berasal dari utang negara dan bukan berasal dari kekayaan negara harus diperlakukan dengan hati-hati, sehingga PMN tersebut perlu dinilai dan dievaluasi dari sisi perundang-undangan yang berlaku. Ada 2 (dua) Undang-Undang dan 4 (empat) pasal, serta 5 (lima) ayat yang menjadi rujukan PMN ke BUMN. Dua Undang-Undang tersebut adalah UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

Dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, disebutkan bahwa: Pasal 1 ayat (13) Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih; dan Pasal 1 ayat (17) Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya; serta Pasal 11 ayat (2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan; juga Pasal 2 Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, angka 1 meliputi: huruf (g) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

Sedangkan pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, disebutkan bahwa: Pasal 4 ayat (1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan; dan Pasal 4 ayat (2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. kapitalisasi cadangan; c. sumber lainnya.

Pada dasarnya ketika pemerintah memberikan Modal dan/atau Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN dalam kondisi keuangan negara surplus APBN, yaitu saat anggaran pendapatan negara lebih besar dari anggaran belanja negara, merupakan kondisi yang ideal dan sangat diharapkan. Karena surplus APBN berarti bertambahnya kekayaan bersih negara dan dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara, termasuk dapat digunakan sebagai Modal dan/atau PMN ke BUMN.

Selama masa Orde Baru sampai sebelum berlakunya UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, mekanisme anggaran demikianlah yang terjadi. Semua Modal dan/atau PMN ke BUMN berasal dari kekayaan negara. Dalam format APBN Anggaran Berimbang dan Dinamis Orde Baru yang terdiri dari anggaran pendapatan dan anggaran belanja (tanpa pembiayaan), utang negara (mayoritas dari luar negeri dan menjadi bagian anggaran pendapatan), hanya digunakan untuk belanja pembangunan/modal (menjadi bagian anggaran belanja) sesuai dengan yang telah disepakati dan tercantum dalam Buku Biru Bappenas, sehingga utang negara tidak dapat digunakan untuk belanja barang dan/atau investasi.

Namun ketika pemerintah memberikan Modal dan/atau PMN ke BUMN dalam kondisi keuangan negara defisit APBN, yaitu saat anggaran pendapatan negara lebih kecil dari anggaran belanja negara, merupakan kondisi yang tidak ideal dan tidak diharapkan. Karena defisit APBN berarti berkurangnya kekayaan bersih negara. Untuk tetap bisa memberikan Modal dan/atau PMN ke BUMN akhirnya digunakan dana yang berasal dari utang.

Mekanisme pemberian Modal dan/atau PMN ke BUMN yang berasal dari kekayaan negara atau berasal dana utang mulai dimungkinkan sejak berlakunya UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Dalam format APBN yang baru dengan menggunakan Government Finance Statistics (GFS), APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan. Dalam format GFS, utang negara menjadi bagian pembiayaan (bukan menjadi bagian anggaran pendapatan lagi), dan dapat digunakan untuk membiayai kekurangan kebutuhan anggaran belanja serta melakukan investasi. Dalam hal investasi, yang dimaksud adalah pemberian Modal dan/atau PMN, serta pemberian dana talangan (pinjaman jangka pendek) ke BUMN.

Ada perbedaan sifat dalam pemberian investasi ke BUMN, antara dana yang dikeluarkan melalui anggaran belanja (berasal dari kekayaan negara) sebelum 2003 dengan dana yang dikeluarkan melalui pembiayaan (berasal dari kekayaan negara atau berasal dari utang) setelah 2003. Meskipun berbeda mekanisme pemberiaannya (melalui anggaran belanja atau melalui pembiayaan) namun kesamaannya adalah dana investasi yang diberikan ke BUMN harus tetap dipertanggung-jawabkan karena dana investasi tersebut merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari keuangan negara.

Perbedaan dari mekanisme pemberiannya terletak kepada kewajiban mengembalikannya. Karena mekanisme pemberian investasi ke BUMN melalui pembiayaan mengandung kewajiban mengembalikannya kepada negara, sesuai dengan prinsip pembiayaan. Dalam UU No. 17 Tahun 2003 dalam Pasal 1 ayat (17) dijelaskan bahwa: Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Artinya pemberian Modal dan/atau PMN harus dikembalikan dalam bentuk deviden, sedangkan dana talangan (pinjaman jangka pendek) harus dikembalikan dalam bentuk pengembalian pokok modal dan bunganya.

Kalaupun investasi ke BUMN dalam bentuk pemberian Modal dan/atau PMN, serta dana talangan (pinjaman jangka pendek) yang berasal dari kekayaan negara atau berasal dari dana utang sudah dimungkinkan sejak tahun 2003. Namun investasi yang berasal dari dana utang (defisit APBN) melalui pembiayaan akan mengurangi kemampuan dan kesehatan fiskal pemerintah dengan resiko yang lebih besar dibandingkan dengan investasi yang berasal dari kekayaan negara (surplus APBN).

Selain memperhatikan kesesuaian PMN dengan perundang-undangan yang berlaku, pemberian PMN kepada 3 (tiga) BUMN senilai Rp 33,9 triliun di tahun 2021 dan kepada 12 (duabelas) BUMN senilai Rp 72,44 triliun di tahun 2022, juga harus mempertimbangkan beberapa kaidah sebagai berikut:

Apabila PMN tersebut merupakan bagian dari kewajiban (utang) pemerintah yang merupakan penundaan pembayaran (carry over) dalam beberapa tahun terakhir kepada BUMN yang bersangkutan, maka PMN tersebut harus diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan negara.

Apabila ada kondisi BUMN tidak dapat membayar cicilan utang (pokok hutang dan bunganya) yang jatuh tempo pada tahun berjalan dikarenakan kondisi DSCR (Debt Servive Coverage Ratio) nya lebih kecil dari 1,0. Maka BUMN yang bersangkutan akan jatuh dalam kondisi tidak mampu membayar utang jatuh tempo (default) terutama ketika utang (bond/obligasi) BUMN tersebut dijamin oleh negara. Kondisi ini tentu juga akan membahayakan status utang BUMN lainnya yang juga dijamin oleh negara. Dengan demikian PMN diperlukan agar DSCR dari BUMN yang bersangkutan bisa naik menjadi minimal 1,2 agar tetap dapat membayar kewajiban utangnya yang jatuh tempo pada tahun berjalan dan mampu melanjutkan operasional perusahaan.

Bagi BUMN yang sahamnya 100% dimiliki oleh negara kemudian mendapatkan penugasan investasi dari pemerintah dalam kondisi kekurangan modal. Maka dapat diberikan PMN sebesar 25% - 35% dari nilai total investasinya. Selanjutnya BUMN yang bersangkutan harus mampu menggandakan modal yang diterima menjadi senilai kebutuhan investasinya melalui project structuring dan project financing sehingga tercapai gearing ratio sebesar 3 - 4.

Bagi BUMN yang sahamnya 51% dimiliki oleh negara kemudian mempunyai rencana investasi yang merupakan bagian dari penugasan pemerintah. Maka perlu diperhatikan keseimbangannya dari penambahan modal yang dilakukan oleh pemegang saham yang lain. Agar saham mayoritas yang dimiliki oleh negara tidak turun prosentasenya menjadi dibawah 50%, akibatnya saham mayoritas milik negara akan terdelusi, kemudian dimiliki oleh pemegang saham lainnya. BUMN yang bersangkutan perlu diberi PMN agar saham yang dimiliki oleh negara tetap mayoritas diatas 51%.

Untuk PMN yang merupakan dana talangan (pinjaman jangka pendek) untuk menjalankan penugasan pemerintah, maka BUMN yang membutuhkannya harus dilihat dahulu Debt to Assets Ratio (DAR) nya. Apabila DAR sudah mencapai diatas 70%, maka memang sulit bagi BUMN yang bersangkutan untuk mencari dan mendapatkan dana talangan (pinjaman jangka pendek) dari pasar yang ada. Sehingga dana talangan hanya bisa diharapkan dari pemerintah melalui PMN. (Depok, 16 Juli 2021).