Kinerja Aleg dalam Etalase Politik

Etalase adalah panggung depan (front stage), laksana pajangan di pusat perbelanjaan. Ditengok, diamati, ditelisik, lantas -tentu jika menarik- deal. Sekira begitu pemaknaan yang bisa kita ajukan terhadap kinerja anggota legislatif (Aleg) di hadapan pemilih. Disebut sebagai etalase politik, karena dia adalah sungguh-sungguh salah satu isu strategis yang bisa mendongkrak nilai elektabilitas partai.

Mengacu pada temuan survei AKSES School of Research bertajuk Peta Politik dan Perilaku Pemilih Pemilu 2024 di beberapa daerah sepanjang 2021 ini, dengan 1.200 responden di setiap provinsi dan menggunakan metode Multistage Random Sampling, kinerja Aleg adalah perkara strategis, karena:

Pertama, keseriusan Aleg dalam memperjuangkan aspirasi rakyat masuk dalam pertimbangan utama dalam memilih partai politik. Faktor keseriusan Aleg ini, dari 18 variabel yang diuji dalam survei tersebut,  berada urutan ketiga di Jawa Timur (84.4%), urutan ketiga di Jawa Tengah (82.9%), urutan pertama di DIY (91.9%), dan urutan keenam di Banten (67.3%). Responden dalam masalah ini disodorkan dengan formulasi pertanyaan, “Apakah menurut Anda pertimbangan berikut ini (18 variabel) penting atau tidak penting dalam memilih partai politik dalam Pemilu Legislatif?”

Kedua, publik menilai sebuah partai politik bercitra baik dengan alasan prestasi kerja dari Aleg-nya (juga faktor kinerja positif dari kepala daerahnya). Di Jawa Timur alasan tersebut teratas dengan nilai sebesar 23.3%, di Jawa Tengah juga teratas dengan 17.5%, urutan kedua dengan nilai 18.3% di DIY, dan teratas pula dengan nilai 15.8% di Banten. Responden dalam rentang jawaban di atas, setelah menjawab partai politik mana yang bercitra positif, lalu disodorkan formulasi pertanyaan, “Mengapa Anda menilai partai politik tersebut bercitra paling baik dalam 3 (tiga) bulan terakhir ini?”

Ketiga, Party Identification (Party Id) terbentuk salah satunya karena prestasi kerja dari Aleg-nya (juga faktor kinerja positif dari kepala daerahnya). Di Jawa Timur faktor tersebut teratas dengan nilai sebesar 23.2%, di Jawa Tengah urutan ketiga dengan nilai 11.7%, urutan keempat dengan nilai 10.7% di DIY, dan teratas dengan nilai 24.9% di Banten. Distribusi jawaban responden di atas terhidang, setelah menjawab pertanyaan bahwa ada partai politik yang mereka merasa dekat dengannya, kemudian mereka disodorkan formulasi pertanyaan, “Mengapa Anda merasa paling dekat dengan partai tersebut?”

Keempat, responden yang tidak akan merubah pilihan politiknya saat survei dilaksanakan dengan di hari H Pemilu beralasan antara lain karena keseriusan Aleg-nya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Di Jawa Timur alasan tersebut berada di posisi kedua dengan nilai sebesar 27.2%, di Jawa Tengah di posisi kedua dengan nilai 24.6%, DIY di posisi pertama dengan nilai 43.9%, dan teratas sebesar 60.5% di Banten. Bagi responden yang menjawab “Tidak Akan Berubah” pilihan politik antara saat survei tersebut dilaksanakan dengan hari H Pemilu, disodorkan formulasi pertanyaan berikut ini yang menghasilkan distribusi prosentase jawaban di atas: “Mengapa Anda tidak akan berubah pilihan politik pada hari pelaksanaan Pemilu 2024 nanti?”

Muncul pertanyaan berikut, “operasional isu/program apa sajakah yang perlu diseriusi para Aleg sehingga bisa mencuri perhatian pemilih?” Pertama sekali, berlaku dalil “Kutahu yang Kau Mau, bukan Kutahu yang Kumau.” Dalam kepustakaan ilmu marketing politik, dia disebut faktor intimacy (kedekatan). Jadi hukum perkara mencari tahu apa yang diingini publik di setiap daerah pemilihan: Wajib. 

Jika bersetia pada data hasil survei, karena memang mesti mengenyampingkan model management by feeling, ini adalah daftar operasional isu/program yang kudu diseriusi Aleg: Keseriusan dalam mendorong penciptaan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemberantasan KKN, dan penegakan hukum. Sederet daftar itu memang terlihat sebagai problem serius negeri ini di era pandemi Covid-19. Yakni, publik berharap urusan basic needs (baca: ekonomi) dijadikan skala prioritas utama, dan bersamaan itu pula adanya kepastian dan keadilan hukum dalam mempercepat proses penanganan pandemi yang memang berdampak serius terhadap tingkat kesejahteraan rakyat.

Mengapa perkara kinerja Aleg adalah soalan strategis, dan apa saja isu/program yang layak jual, sudah dibeberkan di atas. Pekerjaan rumah berikutnya adalah bagaimana menjembatani dua pihak, antara Aleg dengan pemilih, sehingga pemilih benar-benar merasakan kehadiran Aleg dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Di sisi lain, Aleg berkelimpahan dukungan suara saat hari H pemilu. Ingat, salah satu prasyarat untuk menjawab pertanyaan  bagaimana merealisir target nasional PKS sebesar 15% itu ke dalam pelbagai strategi dan program partai, adalah bersetia pada dampak elektoral. Oleh karena, apapun aneka strategi dan program jempolan yang diluncurkan adalah percuma belaka jika tak berdampak positif pada elektabilitas partai.

Jembatan itu adalah public relation (PR), yang dalam realitasnya kerap minim perhatian. Acapkali diketemukan kasus para Aleg sudah merasa all out memperjuangkan aspirasi pemilih, tetapi pemilih menilai Aleg minim ikhtiar atau bahkan terlena dalam istilah klasik: 5 D (Datang, Duduk, Dengar, Diam, dan Duit). Dalam konteks jembatan berbentuk PR itu dibutuhkan antara lain: (1) Sosialisasi politik dengan model temu warga secara langsung atau setidaknya dengan simpul-simpul suara (down to earth); (2) Kepiawaian dalam berkampanye digital dengan menggunakan pelbagai platform media sosial; (3) Persahabatan dalam skema saling menguntungkan dengan tokoh informal (misal tokoh agama, adat/suku, jawara, pemuda, perempuan), termasuk infuencer berpengaruh di level desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota.

Apa materi tatkala berinteraksi itu? Tentu saja di seputar ikhtiar para Aleg, capaian realisasi janji politik, kendala saat bertarung di parlemen, dan lain-lain yang intinya adalah pesan kepada pemilih bahwa Aleg sudah bersungguh-sungguh.

 

Kamarudin, founder AKSES School of Research