Indikasi Kecurangan Pemilu Makin Jelas Rugikan Prabowo Hatta
JAKARTA, 10 Agustus 2014 - Langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan surat edaran untuk membuka kotak suara hasil Pilpres 2014 kian menguatkan adanya dugaan kecurangan. Kotak suara seharusnyanya menjadi salah satu alat bukti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi sebagaimana gugatan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
"Kalau kotak suara dibongkar akan dipastikan jadi soal besar. Akan dipersoalkan validitas (data KPU)," ujar pakar hukum tata negara Margarito kepada wartawan kemarin.
Menurutnya, kotak suara beserta perlengkapan pilpres bakal dihadirkan dalam persidangan guna membuktikan laporan Prabowo-Hatta atas indikasi kecurangan. Selain juga, pihak-pihak terkait yang akan turut dihadirkan sebagai saksi. "Itu mesti jadi alat bukti. Kalau pihak Prabowo-Hatta atau hakim MK minta dihadirkan maka KPU wajib menghadirkan kotak suara. Bahkan hal lain yang berkaitan dengan pilpres," jelas Margarito.
Margarito menyayangkan langkah KPU tersebut. Mengingat MK sendiri telah mengeluarkan nomor register terkait pengaduan pasangan Prabowo-Hatta atas dugaan kecurangan dalam penyelenggaraan Pilpres.
Dengan dikeluarkannya nomor register menandakan bahwa MK secara resmi menerima pengaduan. Artinya, segala bentuk yang berkaitan dengan pelaksanaan Pilpres 2014 harus dijaga dengan baik.
"Penerbitan penerimaan perkara umumnya tiga hari. Tapi, dapat dipastikan sudah diterbitkan MK karena sudah ditentukan jadwal sidang tanggal 6 Agustus," demikian Margarito.
Dikatakannya bahwa pada persidangan kedua yang digelar oleh MK pada Jumat (8/8) lalu, sekaligus mematahkan argumen sebelumnya yang telah banyak beredar di masyarakat. Seperti, selalu dikatakan bahwa permasalahan di tempat pemungutan suara (TPS) tidak bisa dipersoalkan di tingkat provinsi.
"Buktinya ada persoalan di TPS tapi ternyata diabaikan oleh penyelenggera pemilu sendiri. Faktanya juga ada yang dipersoalkan di panitia pemilihan kecamatan (PPK) juga diabaikan. Di tingkat KPU demikian, mereka sudah diprotes, namun tetap pula diabaikan atau ditolak," tegas Margarito.
Dari keterangan dua saksi di Jawa Timur saja menurut Margarito, sudah sangat menarik. Kini muncul sinyal hukum bahwa di wilayah itu terjadipermasalahan yang sangat serius. "Belum lagi di daerah lain seperti di Jawa Tengah, DKI Jakarta, Sumatera, Papua, dan wilayah lainnya, yang kesaksiannya belum digelar MK. Dari keadaan hukum yang sudah tercipta ini kalau saya menjadi hakim cukup memberi keyakinan bahwa ada something wrong (sesuatu yang salah) dalam proses Pilpres di Jawa Timur," tegas Margarito.
Hal sama juga disampaikan oleh Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta, M Taufik menyatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah terbukti melanggar peraturan dengan membongkar kotak suara, tanpa persetujuan MK.
"Ketua MK telah bilang pembukaan kotak suara diizinkan mulai 8 Agustus 2014, sehingga tindakan KPU bongkar kotak suara, jelas-jelas melanggar peraturan, karena bongkar kotak suara sebelum tanggal tersebut," kata Taufik di rumah yang berada di Jalan Sisingamangaraja No. 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Minggu (10/8/2014).
Taufik pun menilai, bersalahnya Ketua KPU melakukan pelanggaran dengan mengirimkan surat ke KPU daerah untuk pembongkaran kotak suara, sebelum proses persidangan MK berlangsung. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa tim Prabowo-Hatta akan memenangkan gugatan hasil Pilpres 2014."Bagi kami, ini merupakan pintu kemenangan buat kami. Karena KPU jelas-jelas melakukan pelanggaran," cetus Taufik.
Diketahui bahwa KPU keluarkan surat edaran pada 25 Juli 2014 mengenaii nstruksi KPU Pusat kepada seluruh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota untuk membuka kotak suara dalam rangka mengantisipasi gugatan Prabowo-Hatta ke MK. Diketahui, KPU menerbitkan Surat Edaran Nomor 1446/KPU tertanggal 25 Juli 2014 yang ditujukan kepada Ketua KPU Provinsi/KIP Aceh dan Ketua KPU/KIP Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Isinya memerintahkan untuk membuka kotak suara.
KPU beralasan surat edaran dimaksud untuk mengantisipasi keberatan yang diajukan oleh saksi pasangan capres dalam pelaksanaan rapat pleno rekapitulasi hasil penghitungan suara secara nasional