Guru Tulang Punggung Mutu Pendidikan Nasional

Oleh: Dr. Fahmy Alaydroes, MM, MEd

Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat DPP PKS
Anggota DPR RI Komisi X, Fraksi PKS

Rasulullah SAW diutus oleh Allah SWT sebagai Guru bagi umat manusia. Allah SWT mengutusnya untuk mendidik manusia, agar menjadi beradab.

"Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata."(QS Al Jumuah:2)

Semangat menjadikan pendidikan nasional sebagai tulang punggung mencerdaskan dan membina akhlak mulia sudah sejak lama digaungkan oleh banyak pihak, bahkan sudah menjadi amanah yang dituangkan dalam UUD 1945; Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. ( Pasal 31 ayat 3), dan kemudian diatur dalam UU Sisdiknas (20/2003).

Bicara pendidikan, semua sepakat bahwa peran Guru sebagai Pendidik sangat penting dan menjadi faktor utama, faktor penentu kemajuan dan keberhasilan proses pendidikan. UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen menegaskannya; “Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab” (Pasal 6/UU No. 14/2005).

Artinya, Guru menjadi tumpuan utama untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, menjadi factor penentu dan pemegang peran utama dalam upaya meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian, seharusnya Pemerintah dan kita semua memberi perhatian yang serius dan sungguh-sungguh terhadap profesi Guru.

Lalu bagaimana kenyataannya? Posisi dan peran Guru sebagai tulang punggung pendidikan masih banyak masalah. Dari sisi jumlah, Indonesia masih kekurangan 1,1 juta guru (versi PGRI), atau 870 ribu orang per 31 Desember 2018 (versi Dirjen Pendidik & Tenaga Kependidikan, Kemendikbud). Bukan hanya kekurangan guru, Indonesia mengalami salah urus tata kelola distribusi Guru. Satu sekolah, satu kecamatan, atau satu kabupaten/kota kelebihan guru, sementara yang lainnya kekurangan guru. Perekrutan, penempatan, dan mutasi guru perlu ditata dengan lebih baik lagi.

Belum lagi persoalan Guru Honorer, Jumlah tenaga guru honorer K2 saat ini mencapai 1,53 juta orang, dari jumlah guru keseluruhan sebanyak 3,2 juta orang. Lebih jauh, persolan kompetensi mereka juga masih jauh dari harapan, terlebih lagi di era zaman digital, yang tak terhindarkan juga akan menjadi tuntutan literasi dan kompetensi bagi para guru.

Profesi guru belum mendapatkan posisi yang bermartabat. Penghargaan material (kompensasi dalam bentuk gaji, tunjangan, insentif, dsb) masih harus ditingkatkan. Masyarakat juga belum sepenuhnya memposisikan guru sebagai profesi yang terhormat dan bermartabat. Akibatnya, profesi Guru belum menjadi daya pikat bagi putera-puteri yang berbakat, pintar dan memiliki semangat.

Sudah menjadi opini umum, bahwa peminatan lulusan SMA untuk melanjutkan studi ke LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) umumnya hanya pilihan ke tiga atau ke empat, atau LPTK hanya menjadi pilihan pertama bagi calon mahasiswa yang sulit bersaing masuk ke PT lainnya yang dianggap lebih favorit. Artinya, sejak awal pola perekrutan guru yang mengandalkan LPTK, menjadi salah satu sebab bermasalahya kualitas guru kita.

Belum lagi, jumlah dan mutu LPTK yang juga sarat masalah. Menurut satu sumber dari 421 Lembaga LPTK yang beroperasi, hanya 18 LPTK yang terakreditas A, yang terakreditasi B sebanyak 81 LPTK, sisanya sebanyak 322 LPTK akreditasnya di bawah B yang berarti kualitas penyelenggaraannya tidak memadai sebagai lembaga Pendidikan yang mencetak calon Guru.

Pemerintah kemudian membuat kebijakan sertifikasi, sebagaimana amanat UU, dalam rangka memastikan guru-guru yang akan mengajar, memiliki kemampuan yang cukup. Dari data di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), sampai Maret 2019 sebanyak 1.174.377 guru PNS dan 217.778 guru non-PNS sudah tersertifikasi; dari jumlah 3.017.296 guru di Indonesia.

Masih banyak guru-guru yang mengajar, tapi belum bersertifikat. Dengan sekian banyak masalah Guru, sebagai tulang punggung mutu Pendidikan nasional, maka menjadi tidak aneh, apabila kemudian kita temukan dan dapatkan berbagai potret buram wajah Pendidikan nasional kita.

Pada 2018, angka rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia mencapai 8,58 tahun atau setara dengan kelas 2 SMP/sederajat. Angka tersebut belum memenuhi target Renstra Kemendikbud , yang ditargetkan mencapai angka 8,7 tahun. Capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN. Rata-rata lama sekolah di Singapura 10,2 tahun, Malaysia 9,3 tahun, Filipina 8,9 tahun, dan Brunei Darussalam 8,7 tahun.
Jumlah penduduk kita saat ini 250 juta, menempati urutan ke-4 dunia. Akan tetapi kualitas penduduk kita berada di urutan 124 dari 187 negara, (BKKBN). Dengan kondisi demikian, tentu saja berdampak kepada Lemahnya Daya Saing Indonesia. Global Talent Competitiveness Index (GTCI) yang mengukur pemeringkatan daya saing negara berdasarkan kemampuan atau talenta sumber daya manusia yang dimiliki negara tersebut, di tahun 2019 ini menempatkan Indonesia berada pada posisi ke enam di kawasan negara ASEAN, dengan skor 38,61. Singapura menempati peringkat pertama dengan skor 77,27. Peringkat berikutnya disusul oleh Malaysia (58,62), Brunei Darussalam (49,91), dan Filipina (40,94).

Sisi lain, dalam capaian moral dan karakter, begitu banyak fakta di lapangan yang sungguh memprihatinkan. Penelitian yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser Indonesia (2019) lewat mereka alat kontrasepsi Durex terhadap 500 remaja di lima kota besar di Indonesia menemukan, 33 persen remaja pernah melakukan hubungan seks penetrasi.

Dari hasil tersebut, 58 persennya melakukan penetrasi di usia 18 sampai 20 tahun. Selain itu, para peserta survei ini adalah mereka yang belum menikah. Meskipun angka ini mendapatkan kritik, tetapi setidaknya memberikan warning dan potret buram wajah moralitas sebagian pelajar kita.

Fenomena seks bebas di Indonesia semakin memprihatinkan dimana data dari hasil survei yang dilakukan oleh Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan sebanyak 32% remaja usia 14-18 tahun di kota-kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Yogyakarta) pernah berhubungan seks.

Hasil survei lain juga menyatakan, satu dari empat remaja di Indonesia melakukan hubungan seksual pranikah dan membuktikan 62,7% remaja kehilangan keperawanan saat masih duduk di bangku SMP, bahkan diantaranya pernah berbuat ekstrem yaitu melakukan aborsi.

Data dari Kementerian Kesehatan RI menunjukkan hampir 50% pengidap HIV adalah kelompok remaja dan dewasa muda (15-29 tahun). Laporan tahunan Rutgers WPF Indonesia menyatakan bahwa 36,2% dari kasus AIDS berasal dari kelompok usia 15-29 tahun.

Saya meyakini, Pemerintah akan terus berupaya memperbaiki segala persoalan Pendidikan ini, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan Guru, sebagai tulang punggung mutu Pendidikan. Saya membayangkan, Pemerintah akan melakukan serangkaian kebijakan dan eksekusi yang efektif untuk meningkatkan harkat dan martabat Profesi Guru,dengan cara;

1. Menempatkan Guru sebagai profesi mulia, dengan memberikan penghargaan, kompensasi, warga kehormatan atas jasa dan kinerja mereka. Alangkah bahagianya Guru apabila mereka medapatkan keringanan untuk premi bpjs, medapat diskon untuk belanja sembako, diskon pulsa listrik, pulsa untuk internet/telpon, transportasi, medapatkan apresiasi, insentif, penghargaan dari berbagai pihak

2. Melakukan penataan ulang sistem rekrutmen Guru, melalui sistem yang tepat dan menarik minat para lulusan SMA yang terbaik untuk mengabdi melalui profesi Guru, dan sistem pengembangan profesi yang berkala dan berkelanjutan.

3. Meningkatkan sistem penjaminan kualitas/akreditasi yang ketat bagi institusi yang berhak melakukan proses pendidikan calon Guru, sertifikasi Guru, maupun penilaian kelayakan profesionalitas Guru.

4. Review regulasi dan kebijakan tentang guru, menguatkan yang baik, mengoreksi dan meluruskan yang kurang tepat.
Kita berharap mulai hari ini, di bawah kepemimpinan Mas Menteri (Nadiem Makarim), ada langkah-langkah terobosan untuk melanjutkan yang sudah benar dan memperbaiki yang kurang/salah arah kebijakan tentang Guru dan Tenaga Kependidikan.

Empat poin di atas bisa menjadi pertimbangan langkah-langkah terobosan dimaksud. Tentu saja semua pihak akan berupaya mendukungnya, demi kepentingan harkat martabat Guru Indonesia, demi dan untuk kejayaan Pendidikan Nasioal. Selamat Hari Guru Nasional.