Garam dan Gincu

Mengulik mengapa “Politik” itu perlu  diketahui, penting dipahami, mutlak dikuasai, dan wajib diimplementasikan, tak lengkap jika abai terhadap faktor yang inheren di dalam diri kita. Itulah “Perspektif Psikologis”, keempat dari lima perspektif, yang fokus pada aspek motivasi dan peran kepribadian dalam bertindak. Ini adalah ranah Psikologi Politik, ilmu yang menggunakan perspektif psikologi untuk menelisik sikap, perilaku, dan tindakan aktor politik.

Secara psikologis ada hasrat dari umat Islam untuk berpartisipasi di negeri ini. Hasrat itu membuncah, menjelma menjadi moral obligation (kewajiban moral). Kajian Henry E. Brady, Sidney Verba, dan Kay Lehman Schlozman dalam “Beyond SES: A Resource Model of Political Participation,” (The American Political Science Review, 1995) menyimpulkan “Agama sebagai faktor penting bagi lahirnya semangat keterlibatan warga dalam kegiatan-kegiatan sosial”.

Sejurus dengan kesimpulan itu, kegiatan sosial yang antara lain berbentuk aktivitas keagamaan, seperti terkonfirmasi lewat studi Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi dalam Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca Orde Baru (2012), akan membuka peluang untuk terlibat aktif dalam kegiatan komunitas non keagamaan. Non keagamaan, maknanya termasuk kegiatan politik.

Dalam tekanan rezim otoritarian dan totalitarian saja, umat selalu ada cara untuk memperjuangkan dan mengekspresikan nilai-nilai keyakinannya, apatah lagi dalam keleluasaan sistem politik demokrasi. Robin Wright dalam “Islam’s New Political Force” (Current History: A World Affair Journal, January 1991) mengungkap ada tiga faktor penyebab mengemukanya partisipasi politik umat: Pertama, Islam merupakan satu-satunya agama monoteis besar yang (ajarannya) mencakup serangkaian nilai untuk mengatur pemerintahan sebagaimana juga nilai-nilai kepercayaan spiritual. Kedua, kelompok-kelompok muslim memiliki jaringan komunikasi melalui masjid-masjid dan masyarakat Islam. Ketiga, pada banyak negara, Islam (telah) berakar kuat. Dan ketika kehidupan politik dibuka, maka kaum muslimin memasuki sistem tersebut.

Dalam konteks Indonesia mengapa hasrat untuk berpartisipasi itu membuncah, lalu menjelma menjadi moral obligation? Pertama, politik itu mulia. Politik, yang dalam literatur Islam dikenal dengan istilah siyasah, adalah semua tindakan yang dengannya manusia lebih dekat dengan kebaikan dan semakin jauh dari kerusakan. Islam di sini dimaknai sebagai ad-Dien, bukan agama dalam makna religion. Ad-Dien berpadu antara urusan spiritual dengan urusan sosial, habluminallah wahablu minannas. Integralistik, bukan sekularistik. Ini adalah inti dari perspektif ideologis.

Dalam salah satu ungkapan tersohor dari Hasan al-Banna, “Islam adalah agama dan kemasyarakatan, masjid dan negara, dunia dan akhirat.”

Dan Al-Qur’an adalah (juga) kitab politik, yang didalamnnya kita beroleh pelajaran dari kisah-kisah otentik, yakni tentang raja-raja yang taat (Sulaiman, Zulqarnain, Daud) dan raja-raja pembangkang (Fir’aun, Namrudz). Prinsip pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diagungkan di era modern ini ada termaktub dalam Al-Qur’an, antara lain Kekuasaan sebagai amanah, Keadilan, Persamaan, Pengakuan dan perlidungan terhadap hak-hak asasi manusia, Perdamaian, Kesejahteraan, dan Ketaatan rakyat.

Kedua, secara sosiologis umat Islam Indonesia adalah mayoritas, benteng terdepan penjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai komunitas penghusung peradaban tauhid, umat Islam secara berturut-turut digelari sebagai, “Ummatan muslimatan, Ummatan Wasathan, Ummatan Wahidatan, Ummatun Muqtashidatun, Ummatun Yad’una ila al-Khair, dan Khaira Ummah.” Intinya ada tanggungjawab maha besar disematkan ke pundak umat, sebagai Khalifatullah fil ardh, untuk menyelamatkan manusia dan kemanusiaan.

Seturut dengan itu, maka misi penyelamatannya menjangkau pula entitas lain diluar kerangka umat, pasti dalam semangat Rahmatan lil ‘alamin. Dalam ungkapan ringkas Sang Begawan Politik, Prof. Dr. Deliar Noer, “Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa.” Ini adalah inti dari perspektif sosiologis.

Ketiga, kontribusi umat adalah fakta sejarah yang tak terbantahkan, riil dan bukan a-historis. Mengabaikan berderet-deret fakta sejarah itu pastilah berasal dari mereka yang hidup bagai katak dalam tempurung. Tidak ada yang namanya NKRI ini bila tidak ada kontribusi dan peran umat Islam, tentu dibawah perkenan dan ridho Allah SWT. “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, …” Ini adalah inti dari perspektif historis.

Ketiga perspektif itu melahirkan sikap, keyakinan, lalu menjelma sebagai moral obligation untuk selalu berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan, termasuk di dalam lapangan politik. Keterlibatan itu terentang amat luas, dari ikhtiar dalam pemberdayaan umat, bergerak di jalur kultural, masuk ke dalam birokrasi pemerintahan, hingga pendirian partai politik Islam.

Pendirian partai politik Islam, hanyalah salah satu cara umat berkontribusi terhadap negeri yang dicintainya ini. Di luar bidang politik tak terhitung lapangan yang tersedia untuk menyalurkan hasrat berpartisipasi itu.

Guru Besar Ilmu Politik FISIP UI Prof. Dr. A. Rahman Zainuddin menyebutnya sebagai pertemuan antara Filsafat Garam dan Filsafat Gincu. Segelas air mineral yang dimasukkan garam, yang terjadi adalah warna tak berubah namun rasa berubah. Jika dimasukkan gincu merah, warna berubah merah tapi rasa tetap. Islam adalah mata air peradaban, yang darinya menjadi pandu kehidupan, mengalir jauh menyuburkan pelbagai relung kehidupan, di jalur kultural maupun struktural.

Gincu dan garam. Adalah Islam Kultural dan Islam Struktural, yang kedua kelompok penghusungnya seyogyanya saling menghormati, saling melengkapi, saling memperkokoh, demi kejayaan NKRI yang Baldhotun toyyibatun warobbun ghoffur.

Kamarudin, founder AKSES School of Research