Dilema Demokrasi

Inspiratif. Keren. Patut diseriusi di negeri ini, untuk direalisir. Seperti dilansir dari Tempo.co (24 September 2021), Parlemen Ukraina loloskan undang-undang yang melarang oligarki terlibat politik. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky berdalih perlu untuk melindungi negara dari pengusaha kuat yang telah merusak sistem politik Ukraina selama puluhan tahun.

Dalam undang-undang tersebut, untuk digolongkan sebagai oligarki, seseorang harus memenuhi setidaknya tiga dari empat kriteria: keterlibatan langsung dalam kegiatan politik, pengaruh yang cukup besar atas media, menjadi penerima manfaat dari monopoli yang diakui oleh otoritas antimonopoli, dan kepemilikan aset melebihi UAH2,2 miliar (Rp 1,2 triliun), tidak termasuk aset media. 

Lolosnya undang-undang tersebut menjadi kabar baik bagi perkembangan kehidupan demokrasi yang lebih sehat, setidaknya di Ukraina tentu saja. Namun peristiwa itu bisa saja menginspirasi negara-negara penganut sistem demokrasi lainnya, tak terkecuali Indonesia. Musababnya, sudah banyak kajian yang menunjukkan cengkraman para oligark dalam kehidupan politik Indonesia menimbulkan berderet-deret kemudharatan paripurna.

Sebut satu saja sebagai contoh, yaitu pemberlakuan Presidential Threshold 20%. Dampaknya sudah riil terjadi, yakni calon presiden yang dia lagi dia lagi, berasal dari partai yang itu-itu sahaja. Stok calon kepemimpinan nasional kita amat sangat dibatasi oleh aturan Presidential Threshold 20% itu. Di titik inilah  para oligark berpesta pora, menyisakan sejumlah dampak yang diistilahkan Prof. Edward Aspinall sebagai, The negative effect of illiberal democracy (Baca: “Anomali Politik Indonesia” dalam rubrik Teropong 2024 edisi pekan lalu).

Sialnya, kemudharatan paripurna itu lahir dari sistem politik demokrasi liberal. Dampaknya tak terperikan pada aspek-aspek lain. Diantaranya, pertama, musyawarah mufakat sebagaimana amanah sila keempat dari Pancasila, menjadi sekadar asesoris dalam sistem ketatanegaraan kita. Alih-alih hikmah kebijaksanaan dalam musyawarah mufakat, yang terjadi adalah mekanisme pengambilan keputusan dengan suara terbanyak yang acapkali dikedepankan. Produksi peraturan perundang-undangan sesuai selera para oligark pun pada akhirnya terjadi, karena yang mewakili rakyat dalam proses pengambilan keputusan dengan suara terbanyak itu tak sedikit berasal dari model politik transaksional.

Kedua, laju tingkat kemiskinan yang mencemaskan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pada Maret 2021 lalu bahwa sebesar 10,14% atau sebanyak 27,54 juta penduduk Indonesia berstatus miskin. Garis kemiskinan yang dipatok pemerintah hanyalah Rp 472.525,00/kapita/bulan. Jika kita naikkan patokan itu menjadi Rp 900.000,-/kapita/bulan, maka angka jumlah penduduk miskin di negeri gemah ripah loh jinawi ini bisa mencapai 60 juta orang. Para oligark yang sudah super kaya itu menari-nari di atas karpet kemiskinan anak negeri, sembari tentu saja semakin menggelembungkan perut buncitnya.

Ketiga, kemudharatan paripurna lainnya terjadi di bidang hukum. Wajah diskriminatif tak bisa lagi disembunyikan, terang benderang terjadi dewasa ini. Misalkan, elite politik bebas melenggang menerabas aturan prosedur kesehatan dalam penanganan pandemi Covid-19. Rakyat kecil? Atau yang dipersepsikan sebagai lawan politik? Bernasib malang dalam wajah politik hukum yang “Tajam ke bawah, tumpul ke atas.”

Jika sejenak sahaja kita merunduk, mengikuti petuah Amartya Sen, sang peraih penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi tahun 1998, “Join the past to build a new!”, maka demokrasi liberal bakal kita rem. Salah satu tokoh bangsa itu adalah Ir. Soekarno. Pada Maret 1933 dalam naskah Mencapai Indonesia Merdeka, secara lantang Putera Sang Fajar ini memperingatkan akan bahaya demokrasi liberal.

Berikut kutipannya, “Semua ‘negeri sopan’ kini mempunyai parlemen, semua ‘negeri sopan’ kini bersistem ‘demokrasi’. Tetapi, di semua negeri-negeri sopan itu kini rakyat jelata tertindas hidupnya.

Demokrasi mereka bukanlah demokrasi kerakyatan yang sejati, melainkan suatu demokrasi burjuis belaka – suatu burgerlijke democratie yang untuk kaum burjuis dan menguntungkan kaum burjuis belaka.

Benar rakyat ‘boleh ikut memerintah’, tetapi kaum burjuis lebih kaya dari rakyat jelata. Mereka dengan harta kekayaannya, dengan surat-surat kabarnya, dengan buku-bukunya, dengan bioskop-bioskopnya, dengan segala alat-alat kekuasaannya bisa memengaruhi semua akal pilihan kaum pemilih, memengaruhi semua jalannya politik.”

Peringatan Sang Proklamator 88 tahun silam itu relevan dengan konteks keindonesiaan dewasa ini. Secara resmi Indonesia menganut demokrasi kerakyatan, sebagaimana tertera dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945: Kedaulatan adalah di tangan rakyat. Itu artinya kepentingan rakyatlah yang dinomorsatukan. Namun dalam praktek, aktualisasi cita-cita kita dalam berbangsa dan bernegara sebagaimana terpampang dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea Keempat, seperti jauh panggang dari api. Kita sejatinya tengah mengalami dilema, tepatnya Dilema Demokrasi.

Guru Besar Ilmu Politik UI Prof. Dr. Maswadi Rauf dalam Kuliah Online Politik Indonesia (KOPI AKSES) tanggal 8 April 2021 tentang Masalah-masalah Demokrasi mengingatkan pentingnya kualitas manusia yang agar demokrasi bisa berhasil. Inilah inti Dilema Demokrasi itu di negeri ini, ianya dipatok sebagai sistem politik namun dijalankan oleh manusia berkualitas kerdil. Selengkapnya:

"Penyalahgunaan kekuasaan yang mengakibatkan penderitaan rakyat dapat dicegah, dengan cara memberikan kedaulatan kepada rakyat. Namun hal tersebut sulit terlaksana karena banyaknya kendala dalam melaksanakan kedaulatan rakyat. Di samping itu, nilai-nilai demokrasi sangat idealis sehingga demokrasi membutuhkan kualitas manusia yang tinggi agar demokrasi bisa berhasil.”

Kamarudin, founder AKSES School of Research