Dewan Desak Transparansi Kerjasama Emisi Karbon dengan Norwegia
JAKARTA (21/4) – Berlanjutnya kerjasama pemerintah Indonesia dengan Norwegia pada pengurangan reforestasi dan degradasi hutan atau reducing emissions forum deforestation And format degradation (REDD) menjadi pertanyaan oleh anggota komisi IV DPR Andi Akmal Pasluddin terhadap apa kesepakatan-kesepakatan di balik kerja sama tersebut.
Kerjasama yang telah berlangsung sejak jaman pemerintahan SBY ini dengan kompensasi Norwegia memberikan dana hibah senilai US$1 miliar untuk program perlindungan lingkungan di hutan Indonesia dengan syarat Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon sebesar 26% hingga 41% pada tahun 2020. Namun keterbukaan kerjasama ini oleh politisi PKS dari Sulawesi Selatan II ini masih di anggap samar dan masih perlu transparansi.
“Ada beberapa kebijakan affirmative lainnya yang tidak di buka pada kerjasama komitmen penurunan emisi karbon antara Indonesia dan Norwegia. Norwegia memberi hibah US$1 miliar, lantas mereka minta apa selain komitmen penurunan emisi karbon. Jangan sampai negara kita di atur-atur dalam regulasi lingkungan dengan di tukar dana 1 milyar dollar” tukas Andi Akmal.
Lebih lanjut Andi Akmal menjelaskan, pada tahun 2010 ketika kerjasama ini dimulai saat SBY menjadi pimpinan nasional, banyak yang mempertanyakan adanya kerjasama penurunan emisi karbon ini menjadi senjata bagi negara lain untuk melumpuhkan industri sawit nasional. Isu lingkungan dibenturkan dengan produksi sawit kita yang sudah mulai merambah baik ke pasar internasional. Berbagai isu dan kebijakan dalam negeri mereka hembuskan dengan melarang menggunakan atau mengkonsumsi produk sawit Indonesia karena hasil merusak lingkungan hutan.
“Ini tipu daya tidak sehat”, sindirnya.
Perjanjian Oslo pada tahun 2010, ketika kerjasama ini terjadi, dimana indonesia melakukan moratorium penebangan hutan, dan mendapat dana hibah US$1 miliar, ternyata dalam 5 tahun terakhir tidak membuat masyarakat sekitar hutan menjadi lebih sejahtera hidupnya. Mereka hidup berlimpah kekayaan alam tapi pola hidupnya tidak mendapatkan pendidikan layak bagaimana hidup teratur dan sejahtera. Berbagai penelitian menunjukkan, masyarakat hutan di Indonesia 35% di garis kemiskinan.
Setelah empat tahun berlalu tepatnya tahun 2014, Indonesia di vonis menjadi negara penghasil emisi karbon tertinggi ke enam di dunia. Vonis ini pertama kali muncul dari World Resources Institute (WRI) di Washington DC. Satu tahun kemudian, April 2015, Presiden Jokowi melanjutkan kerjasama persis seperti pada saat perjanjian Oslo.
“Kami semua tidak mengetahui rencana apa dibalik kerjasama emisi karbon ini. Kami meminta kepada pemerintah untuk dapat membuka semua kepada publik, agar proses pelaksanaan dan dampak kerjasama ini dapat di pantau dan di analisa banyak orang. Sehingga jika terjadi hal-hal yang merugikan negara, akan banyak yang memberi peringatan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat”, pungkas Andi Akmal Pasluddin.
Sumber: Humas Fraksi PKS DPR RI