Bangkit Melalui Ketundukkan
Anda harus mengenang Masjid dengan penuh nostalgia. Saat dimana Anda merasakan bunga dan karya mekar, disaat sedang menjadi remaja untuknya. Atau mengenang jeweran wak haji untuk hadiah karena ribut di barisan shaf shalat maghrib berjama’ah. Atau halamannya yang luas, tempat bermain samberlang, batu liun dan galasin ketika terang bulan.
Pagi ini tentang Masjid, di berbagai penjuru Nusantara kita mempersoalkan perasaan yang sama. Kita melihat duyun-duyun muslim yang tak terduga, kita menyaksikan barisan shaf-shaf yang diluar ekspektasi, kita jadi juru foto untuk para bocah unyu-unyu yang diajak serta ayah-ibu-mamak-bapak-nya turut ke Masjid. Melaksanakan shalat kusuf.
Shalat dengan takbir yang syahdu dan ruku’ yang meluluhkan kalbu. Saat kita semua tunduk atas kuasa Allah Azza wa Jalla dengan gerhananya yang jelita. Menundukan raga, hati dan ruh di hadapan Sang Pencipta, sedang kita tak punya daya. Mengharap-harap Sang Nabi akan jadi suka, karena apa yang dulu kala dilakukan, kita ikuti sebagai ummatnya.
Duyun-duyun manusia ke Masjid mari kita terjemahkan sebagai sebuah kebangkitan. Dan sekaligus ketakutan bagi musuh-musuh Islam. Disaat muslim mulai antusias akan sunnah, saat insan mulai turut ikut akan ajakan kebaikan, disaat sesamanya saling berjabat, memafkan, menolong, berbagi.
Mari kita bersyukur untuk hari ini yang Allah berkahi. Untuk mata yang dihadiahi keindahan langit, untuk ruh yang di hidayahi ketundukan. Untuk setiap yang berebut senyum, ketika melahap sarapan ‘Burjo’ dengan lahapnya. Habis tak ada sisa. Melunasi setiap lelah dan payah.
Islam dulu pernah berjaya mendunia, lalu kemudian tidur lelap penuh tipu daya diatas reruntuhan. Dan jika cerita hari ini adalah sesuatu yang berkesinambungan. Kurasa kebangkitan bukan sesuatu yang jauh.
Masjid Raya Petumbukan, 29 Jumadil Awal 1437 H.
Nanda Koswara
#RelawanLiterasi
#RelawanLiterasi