Sohibul Iman Nilai Capres Ideal yang Mampu Kelola Pemerintah, Bukan Sekadar Pencitraan

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS M Sohibul Iman dalam Rapimnas PKS (PKSFoto)
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS M Sohibul Iman dalam Rapimnas PKS (PKSFoto)

Jakarta-- Wakil Ketua Majelis Syura PKS, Mohammad Sohibul Iman menyinggung kriteria Capres ideal dalam Pemilu mendatang, Sohibul menyebut kemampuan mengelola pemerintahan dan tidak mengandalkan pencitraan sebagai kriteria Capres yang layak dipilih.

"Ketika kita berbicara sosok Capres ini bukan perkara mudah, demokrasi saat ini didominasi dengan pencitraan bukan kepada hal yang substansial, karena itu terjadi keterpisahan antara kapasitas dalam memerintah ketika menang nanti," ucap Sohibul.

Yang ideal dia yang memang yang punya kapasitas untuk memerintah, bukan dia yang bisa mengelola pencitraan senata," lanjut dia.

Sohibul menyebut, seorang pemimpin harus memiliki banyak solusi untuk mengatasi beragam permasalahan yang dihadapi, dan mau menjembatani dia kelompok yang saling bersebrangan.

"Kita ingin pemimpin yang memiliki basis pengetahuan cukup lebar, sehingga dia punya stok solusi permasalahan, kedua memiliki kesadaran penuh tentang pentingnya mau membangun jembatan antar kelompok yang mengalami fragmentasi hari ini, dia ingin membangun jembatan diantara kedua hal tersebut," imbuhnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya membesarkan perolehan suara di parlemen, Sohibul menganggap selain pemilihan presiden, pemilihan legislatif menjadi hal penting untuk dijadikan fokus utama membesarkan kapasitas partai.

Selain itu membesarkan kursi PKS di parlemen menjadi perhatian utama kita karena buat apa memenangkan Presiden tapi suara di parlemen justru mengeci, kita tidak menafikan Pilpres tapi jangan terbawa arus dan melupakan pembesaran kapasitas partai kita," tandas Sohibul.

Diskusi politik nasional sebagai salah satu rangkaian Rapimnas PKS selain menghadirkan Wakil Ketua Majelis Syura PKS Mohamad Sohibul Iman, juga hadir sebagai narasumber, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi dan peneliti utama pusat riset politik BRIN, Firman Noor.