Politisi PKS Tegas Pertanyakan Impor Beras untuk Siapa

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS Amin Ak
Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS Amin Ak

Jakarta — Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS Amin Ak meminta Menteri Perdagangan dan Bulog jujur soal importasi beras terkait apa yang dijadikan dasar dibalik keputusan impor.

Amin menyoroti ‘keukeuhnya’ pemerintah mengimpor beras, yang Senin (16/12) lalu sudah direalisasikan sebesar 5.000 ton dari rencana 500 ribu ton. Menurut Amin, jika pengendalian harga beras dilakukan dengan cara impor itu sih mudah dan instan. Persoalannya, impor beras ditengah produksi petani sendiri yang berlebih, itu bukan langkah bijak karena mengganggu penyerapan beras petani.

“Kebijakan impor beras merupakan pukulan berat bagi petani karena menekan harga beras petani. Pemerintah harus mencari solusi yang lebih baik selain impor,” ungkapnya.

Kewajiban pemerintah untuk mencari strategi yang tepat tanpa harus mengorbankan petani dan kepentingan nasional dalam upaya mewujudkan swasembada pangan.

“Kebijakan impor hanya menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola beras nasional karena saat ini stok beras justru naik. Ini juga mempermalukan pemerintah sendiri karena beberapa waktu lalu mengklaim sudah 3 tahun Indonesia tidak mengimpor beras alias sudah tercapai swasembada tapi klaim tersebut tidak sesuai dengan fakta,” kata Amin.

Anggota DPR RI dari Dapil Jatim IV itu pun prihatin dengan kisruh data perberasan nasional yang muncul setiap tahun. Harmonisasi data pangan, informasi pangan, serta akuntabilitas neraca komoditas pangan tidak pernah diselesaikan.

“Keputusan Kemendag untuk impor beras disebutkan karena cadangan beras pemerintah (CBP) yang dikelola Bulog menipis hingga tersisa 570 ribu ton dari batas minimal yang dianggap aman sebesar 1,2 juta ton. Impor dilakukan untuk menambah stok CBP. Sementara itu, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun ini terjadi surplus beras sebesar 1,7 juta ton. Produksi beras sepanjang tahun ini mencapai 31,90 juta ton, sedangkan konsumsi nasional 30,20 juta ton. Selain itu, konsumsi beras per kapita trennya juga menurun,” jelasnya.

Di sisi lain, data perberasan semestinya semakin bagus dan akurat, pantauan luas tanam dan luas panen pun sudah didukung dengan penggunaan satelit. Artinya, kata Amin, jika alasan impor beras karena kekurangan pasokan, maka kemampuan Bulog mengamankan cadangan beras dengan menyerap produksi petani dipertanyakan.

“Pemerintah seharusnya mencari akar masalah dari merosotnya CBP yang dikelola Bulog. Tren rendahnya serapan Bulog itu sudah terjadi sejak Juli 2022, mengapa tidak diantisipasi pemerintah sejak dini?” kata Amin.

Kalau dirunut akar masalahnya, tingginya harga pembelian pemerintah (HPP) menjadi penyebab merosotnya daya serap Bulog terhadap gabah petani. Namun tingginya HPP gabah, juga tidak benar-benar dinikmati oleh petani.

Adanya peningkatan biaya produksi akibat faktor eksternal menyebabkan biaya yang harus dikeluarkan petani semakin tinggi. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) memicu kenaikan biaya bahan baku dan biaya pendukung lainnya, selain faktor depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga benih, lahan, dan pupuk.

“Alokasi anggaran untuk ketahanan pangan tahun 2022 ini mencapai Rp94,1 triliun. Masa iya para menteri dan Menko terkait tidak bisa berkoordinasi dan bekerjasama untuk menyelesaikan akar masalah ini,” pungkasnya.