PKS : Badan Pangan Nasional Jangan Berpikir Nyari Keuntungan
Semarang - Lahirnya Badan Pangan Nasional setidaknya akan menjadi harapan sengkarutnya urusan pangan nasional sedikit terurai. Selama ini antar K/L yang mengurus pangan autopilot disaat kondisi negara kritis soal pangan. Contoh nyata soal Impor beras, walau perintah presiden melarang impor beras ternyata di Kementrian memutuskan impor 1.5 juta ton. Presiden kebinggungan dan akhirnya membatalkan.
"Politik Pangan Negara masih belum mampu hadirkan cita - cita bangsa untuk mewujudkan Kedaulatan Pangan, artinya menghadirkan negara di ruang kelaparan serta pemenuhan gizi bagi rakyat. Yang ada saat ini politik pangan kita masih mengandalkan impor" papar Riyono Ketua DPP PKS bidang Tani dan Nelayan.
Melalui Perpres 66 tahun 2021 Presiden membentuk Badan Pangan Nasional yang diberikan tugas untuk melalukan kordinasi, monitoring dan evaluasi kondisi pangan nasional. Kebijakan dan pemetaan pangan akan menjadi domain BPN bukan tugas Kementan dan BULOG juga akan berada di bawah komando BPN. Pasal 3 huruf a memberikan penjelasan tentang upaya negara untuk menyediakan, menstabilisasi, keanekaragaman serta kerawanan dan juga keamanan pangan.
Produksi pangan nasional jika diurus dengan sungguh - sungguh sebenarnya petani bisa memenuhi dan bahkan bisa mengulang suskes swasembada beras di tahun 1980 dan 2004.
"PKS berharap dan mengingatkan akan peran Badan Pangan Nasional yang intinya adalah mewujudkan kedaulatan pangan berbasis kemampuan sendiri, bukan impor apalagi berpikir mencari keuntungan terhadap rakyat sendiri"tambah Riyono.
Menurut Riyono dengan penugasan terhadap BPN dipasal 4 yang mengurus komoditi beras, jagung, kedelai, telur unggas, gula konsumsi, bawang, cabai, daging ruminansia maka inkoordinasi antar kementrian dan lembaga harusnya bisa diatasi. Harga dan pasokan bisa dikendalikan oleh BPN. Bulog yang selama ini bersifat ambigu antara tugas PSO dan entitas bisnis semoga bisa ditegaskan kembali fungsi utamanya melayani pangan rakyat.
"Jangan ada kembali beras impor masuk tanpa kendali, harga gabah petani jatuh saat panen raya, tiba - tiba impor saat presiden melarang, atau beras tak layak dibagikan ke rakyat. Tugas berat BPN yang jauh dari semangat mencari keuntungan" tegas kembali Riyono.
Saat ini kebutuhan pangan nasional masih banyak yang tergantung pada impor. Beras selama 10 tahun terakhir sekitar 10 juta ton beras kita impor, gula industri juga kisaran 10 juta ton lebih. Garam selalu desifit 1.5 juta ton setiap tahun.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras sepanjang 2019 adalah 444.508.791 kg. Beras impor kebanyakan didatangkan dari Myanmar (166.700.625 kg) dan Pakistan (182.564.850 kg). Kemudian jagung. Tahun lalu, impor jagung manis (mentah maupun direbus) adalah 1.065.275 kg.
Terakhir kedelai. Impor kedelai pada 2018 tercatat sebanyak 2.585.809.099 kg, setahun berikutnya naik menjadi 2.670.086.435 kg.
Neraca kedelai nasional memang berat sebelah. Permintaan selalu di atas 2 juta ton, tetapi produksi tertahan di kisaran 1 juta ton. Jadi selisihnya mesti didatangkan dari impor.
"Ingat pesan Soekarno soal pangan saat momentum peletakan batu pertama kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 1952, sang proklamator menegaskan bahwa urusan pangan tidak boleh main-main karena menyangkut nyawa rakyat.
"Soal persediaan makanan rakyat ini, bagi kita adalah soal hidup atau mati. Camkan, sekali lagi camkan. Kalau tidak, kita akan mengalami celaka," tegas Bung Karno kala itu.
"Oleh karena itu, sekali lagi BPN jangan berpikir mencari untung, tugas dalam perpres 66/2021 mengamanatkan menjaga pangan nasional bukan mencari keuntungan " tutup Riyono