Perhatian Negara Terhadap Perlindungan Anak Stagnan
Jakarta (31/3) -- Kasus anak yang menjadi korban eksploitasi keluarga atau orang terdekat merupakan kisah lama yang menjadi makanan sehari-hari.
Hal tersebut dikatakan Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Wirianingsih.
“Ini sangat memprihatinkan dan seharusnya sudah terminimalisir. Saya mengapresiasi laporan dari media, artinya media telah menjalankan fungsi kontrol sosial. Saya berharap media bekerja terpadu dan transparan serta monitoring agar mendapat respon dari negara, ” kata Wiwik, demikian ia akrab disapa, di DPP PKS, Jl TB Simatupang no 82, Jakarta, Kamis (31/3/2016).
Akan tetapi, kata Wiwik, selama ini belum pernah ada laporan dari media bahwa pelaku kekerasan atau eksploitasi kepada anak telah mengalami tindakan yang serius dari negara sehingga menimbulkan efek jera.
“Artinya, negara yang selama ini sudah kelihatan peduli terhadap urusan anak Indonesia harus lebih serius lagi menanganinya. Tidak hanya menemukan kasus namun dibiarkan begitu saja seperti orangtua yang menelantarkan anak. Jika pemerintah tidak memfollow-up dalam hal ini maka akan terjadi terus berulang-ulang,” ujar Wiwik.
Wiwik mengatakan juga bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah membentuk Gugus Tugas Perlindungan Anak hingga tingkat kelurahan. Namun hingga kini belum juga ada struktrur dan orang-orangnya yang melakukan tugas-tugas penting.
“Sayangnya tidak ada kelanjutannya. Amat disayangkan jika hanya berbasis kepada anggaran. Padahal kasus kekerasan anak adalah kasus darurat dari segala sisi. Dari segi moral menjadi korban seks bebas, use and abuse drugs (penggunaan dan penyalahgunaan narkoba), bullying di sekolah, dan lainnya,” katanya.
Untuk itu, lanjutnya, harus ada stakeholders (pemangku kepentingan) untuk mengatasi kondisi darurat ini yakni keluarga dan masyarakat.
“Keluarga adalah institusi terdekat dengan anak. Sedikit sekali ortu yang faham tentang perlindungan anak. Maka negara berkewajiban mengedukasi keluarga tentang parenting, tentang kewajiban ortu, tentang hak anak. Negara sendiri belum intervensi untuk menjadikan keluarga menjadi basis perlindungan anak. Selama ini hanya melihat dari faktor ekonomi saja. Tidak melihat dari aspek sisi psikogisnya,” ucap Wiwik.
Jika peduli, lanjutnya, negara harus melakukan intervensi hingga ke dalam. Meningkatkan pola pengasuhan dan tanggung jawab orangtua terhadap anak.
Dari masyarakat sendiri, Wiwik melihat mereka adalah komponen yang terdiri dari berbagai unsur seperti lembaga swadaya masyarakat atau Non Government Organisation (NGO), tempat-tempat ibadah, yang seharusnya peduli kepada perkembangan anak-anak di sekitar.
“Selama ini yang lebih banyak berperan memberikan edukasi dan penyadaran tentang pentingnya keluarga adalah komponen masyarakat seperti LSM atau yayasan, para ustadz atau rohaniwan dan rumah-rumah ibadah. Negara kewalahan dan banyak anak menjadi korban. Padahal anak adalah aset negara yang sangat potensial untuk masa depan suatu bangsa,” ujarnya.
Yang kedua, kata Wiwik, adalah aparat hukum harus diberikan pemahaman agar bisa bertindak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Penelantaran Anak.
“Penanganan masalah perlindungan anak ini harus terintegrasi semua pemangku kepentingan. Negara, Keluarga, dan Masyarakat.” kata Wiwik.
Seperti diketahui sebelumnya, Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Selatan mengungkap praktik eksploitasi anak. Dimana polisi menemukan seorang bayi berusia 6 bulan yang diberi obat penenang oleh 2 pelaku yaitu pasangan, saat melakukan aksi "joki three in one" di jalanan.
Polisi mengatakan bahwa anak tersebut disewakan seharga Rp200 ribu per hari. Anak tersebut diberi obat penenang jenis riklona 2 miligram agar tidak rewel.
Keterangan Foto: Ketua Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Wirianingsih