Penetapan Cost Recovery dalam Dua Tahun Terakhir Mengganggu Rasa Keadilan

Pemerintah bersama DPR telah merampungkan pembahasan RAPBNP2016, dan direncanakan dalam pekan depan RAPBNP2016 akan dibahas dalam Sidang Paripurna sebelum DPR memasuki masa reses hari raya Idul Fitri 2016. Diantara pembahasan RAPBNP2016 tersebut, salah satu yang menarik untuk dicermati adalah masalah penetapan besaran Cost Recovery senilai US$ 8,0 miliar, meskipun lebih kecil dari penetapan besaran Cost Recovery dalam RAPBNP2015 yang senilai US$ 14,09 miliar, namun ditengah merosotnya harga migas di pasar global, maka penetapan tersebut memunculkan beberapa catatan yang harus diperhatikan oleh pemerintah karena berpotensi mengurangi penerimaan negara dari migas baik PNBP Migas maupun Pph Migas, yang sangat diperlukan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Beberapa catatan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, dalam belasan tahun terakhir selama era reformasi dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2014, besaran prosentase Cost Recovery terhadap Penerimaan Kotor (Gross Revenue) Migas berada dalam kisaran 20% sampai dengan 30%, hanya pada tahun 2013 besaran prosentasenya sekitar 33%, itupun ditetapkan dengan klausul untuk memicu ekspansi lifting minyak di blok Cepu sebesar 165 ribu barel per hari sehingga diharapkan lifting minyak bisa tembus satu juta barel per hari kembali. Dengan kisaran tersebut maka penerimaan negara dari migas selalu mempunyai prosentase diatas 50% dari Gross Revenue Migas. Kalau kita perhatikan tabel dibawah ini, maka pada tahun 2015, dalam APBNP2015 ditetapkan nilai Cost Recovery sebesar US$ 14,09 miliar yang berarti mempunyai prosentase 40% dari Gross Revenue Migas sehingga mengurangi penerimaan negara dari migas, dengan prosentase menjadi dibawah 50% dari Gross Revenue Migas.

Kedua, sampai tahun 2014, besaran prosentase Cost Recovery terhadap PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Migas selalu di bawah 79%, namun dalam dua tahun terakhir dari 2015 sampai 2016, prosentasenya menjadi diatas 80%. Bahkan pada tahun 2015 prosentase Cost Recovery terhadap PNBP adalah 122%, artinya biaya Cost Recovery yang dibayarkan kepada kontraktor PSC migas adalah 1,22 kali dari PNBP hasil bagi migas yang diterima negara, artinya Pemrintah dan DPR mengalokasikan pembayaran Cost Recovery sebesar US$ 14,09 miliar untuk mendapatkan PNBP hasil bagi migas sebesar US$ 11,55 miliar. dan tahun 2016 ini, prosentase Cost Recovery terhadap PNBP migas adalah 90% yang sangat rentan bergeser menjadi lebih besar dari 100%, apabila target lifting migas tidak tercapai dan terjadi kemerosotan harga migas menjadi lebih murah sehingga Gross Revenue yang didapatkan menjadi lebih kecil. Kondisi tersebut dapat terjadi karena angka Cost Recovery yang telah ditetapkan bersifat tetap (Fix) sedangkan variable lainnya seperti realisasi lifting migas dan harga migas bersifat tidak tetap (Flexible), tergantung kondisi permintaan dan pasokan migas di pasaran serta kondisi perekonomian global yang belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Ketiga, kalau kita perhatikan tabel diatas lebih lanjut dalam dua tahun terakhir, maka bisa dilihat bahwa jumlah dari bagian bersih kontraktor PSC (Net Contractor Share) ditambah dengan biaya Cost Recovery yang diterima kontraktor nilainya lebih besar dari bagian yang diterima negara melalui PNBP migas dan pajak migas. Pada tahun 2015, jumlah yang diterima kontraktor PSC dari Net Contractor Share dan Cost Recovery adalah 55% dari penerimaan kotor (Gross Revenue) Migas senilai US$ 19,49 miliar, sedangkan penerimaan yang diterima negara melalui PNBP migas dan pajak migas adalah 45% dari penerimaan kotor (Gross Revenue) Migas senilai US$ 15,98 miliar. Dan Pada tahun 2016 ini, jumlah yang diterima kontraktor PSC dari Net Contractor Share dan Cost Recovery adalah 50% dari penerimaan kotor (Gross Revenue) Migas senilai US$ 12,26 miliar, sedangkan penerimaan yang diterima negara melalui PNBP migas dan pajak migas adalah 50% dari penerimaan kotor (Gross Revenue) Migas senilai US$ 12,39 miliar. Kondisi distribusi penerimaan migas sebagaimana yang terjadi dalam tahun 2015 dan 2016 ini terasa sangat mengganggu rasa keadilan, karena semua hasil bagi yang diterima oleh negara yang lebih kecil tersebut keuntungannya masih harus dibagi untuk memakmurkan ratusan juta penduduk Indonesia, sedangkan hasil bagi yang diterima kontraktor PSC, keuntungannya hanya dibagi untuk memakmurkan ratusan orang yang tercatat sebagai pemilik saham dan ribuan pegawainya.

Ir. Memed Sosiawan, ME

Ketua Bidang Ekuinteklh DPP PKS