Paket Stimulis Biden 2021 Senilai US$1,9 Triliun dan Pengaruhnya Sebagai Refleksi Akhir Tahun

Oleh: Memed Sosiawan (Ketua Komisi Kebijakan Publik MPP PKS).

Pada awal pemerintahan Biden, Senat Amerika Serikat (AS) mengesahkan Paket Stimulus Penanganan Covid-19 dan dan Pemulihan Ekonomi Biden senilai US$ 1,9 triliun (setara Rp 27.335 triliun dengan kurs Rp 14.386/US$) yang diusulkan pemerintahan Presiden Joe Biden, pada Sabtu (6/3/2021). Kemudian Kongres yang dikuasai Partai Demokrat mengesahkan paket itu per Selasa (9/3/2021) waktu setempat. Hasil pemungutan suara atas paket stimulus itu menunjukkan hasil 50-49, sebuah hasil dramatis mengingat Partai Republik mempertanyakan perluasan paket tersebut. Setelah itu, pengesahan dikirimkan kepada Biden untuk ditandatangani sebelum batas waktu 14 Maret 2021 demi memperbarui program bantuan sebelumnya.

Sebagai perbandingan, jumlah US$ 1,9 triliun tersebut adalah senilai cadangan devisa pemerintah China yang dikumpulkan sejak 1978 (awal reformasi ekonomi China) sampai tahun 2008. Pada tahun 2008, total cadangan devisa dolar AS China sebesar US$ 1,9 triliun.  Dengan kata lain, Cina memulai reformasi dan keterbukaannya pada tahun 1978, dan setelah 30 tahun cadangan devisa US$ dan akumulasi kekayaan, China hanya memperoleh US$ 1,9 triliun.

Untuk mendapatkan US$ 1,9 triliun tersebut, seluruh pekerja China yang tak terhitung jumlahnya bekerja lembur di jalur produksi, dan sumber daya tanah jarang yang tak terhitung jumlahnya dijual dengan harga murah, dan itu telah memakan waktu selama 30 tahun.

Perbandingan lainnya adalah perusahaan Aramco (Saudi Arabian Oil Company) penghasil migas terbesar di dunia dengan kemampuan lifting 10 juta barel perhari yang didirikan sejak 1933. Ketika sahamnya mulai dijual ke publik (Initial Public Offering, IPO) pada bulan Desember 2019 setelah beroperasi selama 86 tahun, Aramco mempunyai nilai perusahaan sebesar US$ 1,88 triliun.

Amerika untuk mendapatkan (mencetak uang) senilai US$ 1,9 triliun hanya membutuhkan waktu 8 hari, sejak paket stimulus ekonomi diumumkan Bideng pada 6/3/2021, kemudian disahkan Kongres pada 9/3/2021, dan dikirim kembali ke Biden untuk ditandatangani paling lambat tanggal 14/3/2021.

Memang mencetak uang akan menimbulkan inflasi, namun tergantung seberapa luas uang tersebut digunakan. Kalau Amerika mencetak uang dollar maka inflasinya akan ditanggung oleh seluruh dunia yang menggunakan mata uang dollar Amerika. Kalau Indonesia mencetak uang rupiah maka inflasinya hanya ditanggung oleh rakyat Indonesia.

Bagi negara-negara pengimpor pangan dengan cadangan devisa negara terbatas, hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang dapat menumbangkan pemerintahan. Mesir adalah salah satu contohnya. Pada tahun 2008, krisis subprime mortgage yang merebak dari Amerika Serikat melanda dunia.  Untuk mengeluarkan ekonomi AS dari krisis subprime mortgage, pemerintahan Obama mengaktifkan mesin cetak uang dan melepaskan dollar secara luas (Quantitative Easing Policy).

Pada periode 2008 – 2015 pemerintahan Obama, total assets the Fed melonjak dari US$ 900 miliar menjadi US$ 4.500 miliar. Berarti pada masa tersebut paket stimulus Obama yang diberikan dengan mencetak uang sebesar US$ 3,6 triliun.

Dan pelepasan besar dolar AS ini justru menumbangkan rezim negara terbesar di Afrika Utara-rezim Mesir. Kondisi 95% dari luas daratan Mesir adalah gurun, tanah subur sangat terbatas, dan lebih dari 80% makanannya bergantung pada impor.  Namun dalam konteks pelepasan dolar AS yang besar, hal itu secara langsung berkontribusi pada melonjaknya harga pangan internasional.  Tiba-tiba, Mesir tidak mampu membeli mengimpor gandum sebagai makanan pokok rakyatnya karena cadangan devisa Mesir dalam dollar merosot nilainya.

Hal ini membuat Mesir yang tidak kaya, mengalami harga makanan yang melonjak, dan kebanyakan rakyat Mesir bahkan tidak mampu untuk membeli makanan. Rakyat Mesir kemudian melampiaskan semua kemarahan mereka pada pemerintah Mesir serta menggulingkan Presiden Mesir Mubarak dalam satu gerakan.

Kebijakan yang sama dilakukan oleh Biden di awal pemerintahannya juga akan menyulitkan negara-negara pengimpor pangan dan migas dalam jumlah besar. Bahkan di negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah yang sedang kekurangan cadangan gandum akan mendorong krisis politik yang dapat menumbuhkan musim semi Arab baru. Junta militer di Sudan yang melakukan kudeta pada 25/10/2021, akhirnya mau menerima pemerintahan sipil kembali dibawah tekanan Amerika dan Saudi.

Sedangkan bagi Amerika, setelah stimulus Biden diluncurkan perekonomiannya menjadi pulih (Recovery Speed) lebih cepat dari yang diperkirakan semula. Kondisi tersebut ditandai dengan pertumbuhan ekonomi triwulan I-2021 yang mencapai 6,4% secara tahunan. Sejalan dengan naiknya permintaan dan tumbuhnya perekonomian, inflasi tahunan AS juga naik menjadi 1,9% per akhir Maret 2021. Bahkan, Bank Sentral AS (The Fed) menaikkan proyeksi inflasi tahun ini menjadi 3,4% dari perkiraan sebelumnya 2,4%.

Merespons pertumbuhan ekonomi AS yang relatif cepat tersebut, Rapat Komite Pasar Terbuka The Fed (Federal Open Market Committee, FOMC) pada 16/06/2021 memroyeksikan kenaikan suku bunga 2 kali pada 2023 dari level saat ini sebesar 0,25%. Padahal sebelumnya diperkirakan, kenaikan suku Bunga baru akan terjadi pada 2024 (Kompas, 23/06/2021).

Risalah Rapat Komite Pasar Terbuka The Fed pada 14/10/2021, menyepakati pengetatan moneter (Tappering Off) melalui pengurangan program pembelian aset bank sentral mulai pertengahan November dan Desember. The Fed akan mengurangi belanja obligasi senilai US$15 miliar perbulan dari total pembelian sebesar US120 miliar. Sehingga diperlukan waktu selama 8 bulan untuk pengurangan belanja obligasi tersebut, dimulai bulan November atau Desember 2021 dan akan berakhir pada bulan Juni atau Juli 2022.

Masalah lain yang dihadapi pemerintah Amerika sejak awal Oktober adalah terkait batas utang (debt ceiling). Jika Kongres tidak menyepakati kenaikan batas utang, maka pemerintah AS terancam tidak bisa membayar kewajiban utang alias default. Pemerintahan Amerika juga akan tutup untuk sementara (shutdown) karena ketiadaan anggaran. Saat ini batas utang pemerintah AS adalah US$ 28,4 triliun. Dengan asumsi US$ 1 setara dengan Rp 14.315 seperti kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada  01/10/2021, jumlah itu sebesar Rp 406.546 triliun.

Karena peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya, tidak ada yang benar-benar tahu persis konsekuensi yang akan timbul, tetapi kemungkinan pasar di seluruh dunia akan jatuh dan suku bunga global akan naik. Ini karena jika pemerintah AS tidak dapat membayar kembali utangnya kepada pemegang obligasi, nilai obligasi akan menurun. Dan yield (pengembalian yang dibayarkan pemerintah kepada investor) akan meningkat, karena obligasi tersebut dianggap sebagai investasi yang kurang aman. Hal tersebut akan mendorong kenaikan suku bunga di seluruh dunia, terutama yang sering terikat dengan surat utang AS (bills, notes dan bonds).

Namun pada hari kamis tanggal 07/10/2021, Senat Amerika Serikat (AS) menyetujui penangguhan batas utang pemerintah dalam jangka pendek hingga 03/12/2021. Kesepakatan ini setidaknya berhasil menghindarkan pemerintah dari risiko default dalam waktu dekat. Kesepakatan ini memungkinkan pemerintah dapat menarik utang baru sebesar US$ 480 miliar. Karena batas utang saat ini dinaikkan dari US$ 28,4 triliun menjadi sekitar US$ 28,9 triliun.

Indonesia juga pernah melakukan pencetakan uang untuk membiayai pembangunan. Terjadinya krisis ekonomi 1966 yang bersumber dari merosotnya kegiatan ekspor yang telah meningkatkan laju inflasi dan krisis devisa, ditambah dengan kurangnya penerimaan negara ditengah upaya membebaskan Irian Barat sehingga berkonfrontasi dengan Belanda menyebabkan pembiayaan defisit negara dibiayai oleh BI melalui pencetakan uang baru (inflatory) yang akhirnya semakin meningkatkan inflasi sampai menjadi hiper-inflasi 650%.

Pembiayaan defisit negara oleh BI juga dilakukan oleh Pemerintah JKW dalam menghadapi pandemi Covid-19, namun berbentuk pembelian Surat Beharga Negara (SBN) oleh BI. Dengan mekanisme burden sharing antara Pemerintah dan BI sebagaimana disebutkan dalam UU No. 1 tahun 2020 tentang KKN SSK Pandemi Corona dan PP No. 23 tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Sejak 2020 sampai 2022, BI akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) dengan total mencapai Rp 912,42 triliun. Dengan rincian senilai Rp 473,42 triliun pada tahun 2020 dan Rp 439 triliun pada tahun 2021 – 2022.

Surat Keputusan Bersama (SKB) I antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 16/04/2020, sebesar Rp75,86 triliun, termasuk dengan skema lelang utama, greenshoe option (GSO), dan private placement.

Sementara, realisasi pendanaan dan pembagian beban untuk pendanaan Public Goods dalam APBN tahun 2020 melalui mekanisme pembelian SBN secara langsung sesuai SKB II pada 7/7/2020, telah mencapai Rp397,56 triliun.

SKB III burden sharing yang mengatur pembelian SBN oleh BI yang terbagi menjadi dua kali pembiayaan. Pertama pembelian SBN oleh BI dalam APBN 2021 sebesar Rp 215 triliun. Kedua untuk APBN 2022 sebesar Rp 224 triliun di pasar perdana (primary market) dan private placement.

Kebijakan Tappering Off the Fed, selesainya masalah batas utang pemerintah Amerika dalam jangka pendek sampai awal Desember (3/12/2021), dan kebijakan pembiayaan defisit anggaran oleh BI melalui mekanisme burden sharing dapat meningkatkan yield obligasi dan SBN, meningkatkan suku bunga, melemahkan rupiah, capital outflow, dan inflasi.

Meskipun pembiayaan defisit oleh BI dapat mendorong inflasi, namun sampai bulan Agustus 2021 tingkat inflasi masih rendah dan perlu tetap dijaga untuk tahun berikutnya. Tingkat inflasi tahun kalender (Januari–Agustus) 2021 sebesar 0,84 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Agustus 2021 terhadap Agustus 2020) sebesar 1,59 persen. Demikian juga apabila terjadi capital outflow belum akan berdampak signifikan terhadap index harga saham gabungan (IHSG), karena masih dalam kondisi trend menanjak sampai akhir tahun (Depok, 7/11/2021).