Opini Hari Ibu: Ekonomi Keluarga, Harga Pangan dan Ibu Bahagia

Eko Yuliarti Siroj, S.Sos.I., M.Si. (Kerudung Coklat) Kadep Ketahanan Keluarga BPKK DPP PKS
Eko Yuliarti Siroj, S.Sos.I., M.Si. (Kerudung Coklat) Kadep Ketahanan Keluarga BPKK DPP PKS

Oleh: Eko Yuliarti Siroj, S.Sos.I., M.Si.
Kadep Ketahanan Keluarga BPKK DPP PKS

Setiap penghujung tahun, negeri kita tak pernah melewatkan momen hari ibu yang diperingati pada tanggal 22 Desember. Momen yang diharapkan bisa menjadi milestone demi milestone bagi anak bangsa ini agar waktu demi waktu penghargaan kepada ibu dan perannya semakin terangkat dan termuliakan. Hanya saja pada kenyataannya, ibu semakin gagap dalam menjalankan tugasnya di tengah padatnya himpitan tuntutan keadaan. Tugas pengasuhan dan mengelola rumah tangga menjadi semakin berat dengan bertambahnya beban harus turut mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga.

Pandemi covid 19 di awal tahun 2020, mampu mengubah banyak wajah dunia termasuk wajah ekonomi makro dan mikro yang memberi pengaruh pada ekonomi keluarga. Pembatasan aktivitas saat pandemi menyebabkan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja atau penghentian kerja sementara yang berdampak pada berkurang hingga hilangnya pendapatan keluarga. Hal ini tentu saja berpengaruh pada dinamika ketahanan ekonomi keluarga. Di saat keluarga tak bisa beraktivitas normal, kegiatan di rumah pun semakin padat karena pembatasan gerak di ruang publik, anak-anak belajar di rumah, orang tua pun hanya bisa bekerja dari rumah. 

Setelah hampir tiga tahun berjalan sejak pandemi covid 19 datang, aktivitas kehidupan pun mulai berangsur normal. Anak-anak sudah bisa kembali belajar di sekolah, para pekerja pun kembali bekerja di tempat kerja dan pusat-pusat kegiatan ekonomi pun bergeliat kembali. Namun ternyata, permasalahan yang mengusik ekonomi keluarga bangsa ini belum mereda. Ketika tengah berbenah menyambut kehidupan normal dan bersiap bangkit setelah menjalani kondisi pandemi covid 19, di penghujung tahun 2021 dan awal tahun 2022 keluarga Indonesia, terutama para ibu, menerima kejutan dari pemerintah berupa kenaikan harga bahan pangan.

Lonjakan harga bahan pangan yang tajam, mempengaruhi daya beli masyarakat yang artinya juga mempengaruhi konsumsi masyarakat. Sebagai contoh, minyak goreng yang merupakan kebutuhan sangat lekat di kehidupan dapur masyarakat, melonjak harganya hingga dua kali lipat. Telur sebagai asupan protein murah yang bisa dijangkau masyarakat, harga per kilogram menembus Rp 30.000 yang sebelumnya ada di kisaran maksimal Rp 25.000. Pada saat yang sama, masyarakat pun diberi kejutan dengan kenaikan harga elpiji non subsidi hingga puluhan ribu, yang akan cukup memberatkan masyarakat pelaku usaha mikro. Dan awal September 2022 kejutan pun bertambah dengan naiknya harga bahan bakar minyak. Kenaikan harga ini mengingatkan penulis kepada laporan yang dirilis oleh ADB dan IFPRI. 

Sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Asian Development Bank (ADB) dan the International Research Institute (IFPRI) yang didukung oleh Bappenas yang berjudul “Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture During 2020-2045”, menemukan bahwa ada 22 juta rakyat Indonesia mengalami kelaparan kronis antara tahun 2016 dan 2018. Pada laporan yang dipublikasikan bulan Oktober 2019 ini menyatakan adanya pertumbuhan signifikan pada sektor agrikultur di beberapa tahun terakhir.

Namun laporan tersebut juga menyatakan meskipun ada pertumbuhan pada sektor tersebut, masyarakat Indonesia masih menjalankan pola agrikultur tradisional sehingga terjebak pada kegiatan yang berupah rendah. Hal ini berdampak pada kelaparan dan meningkatnya resiko stunting pada anak-anak. “Banyak orang tidak mendapatkan cukup makanan dan anak-anak mereka rentan terhadap stunting yang membuat mereka berada dalam lingkaran penderitaan itu dari generasi ke generasi. Sejak 2016 sampai 2018 sekitar 22 juta rakyat Indonesia menderita kelaparan,” bunyi laporan tersebut.

Laporan Badan Pangan Dunia atau FAO menunjukkan bahwa Indonesia memiliki harga pangan bergizi tertinggi dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Harga tertinggi ini bukan berdasarkan nominal harga pangan, namun memperhitungkan daya beli masyarakat. Sederhananya, kemampuan masyarakat membeli pangan yang sehat tidak mencukupi dari penghasilannya. Dengan memperhitungkan faktor paritas daya beli (purchasing power parity/PPP), harga pangan bergizi di Indonesia mencapai angka 4,47 dollar AS sekitar Rp 69.000 perhari. Ini lebih tinggi ketimbang antara lain Thailand (4,3 dollar AS), Filipina (4,1 dollar AS), Vietnam (4 dollar AS), dan Malaysia (3,5 dollar AS). 

Masih berdasarkan riset, biaya yang perlu dikeluarkan orang Indonesia untuk membeli makan bergizi seimbang adalah sebesar Rp 22.126 per hari atau Rp 663.791 per bulan. Harga tersebut berdasarkan standar komposisi gizi Healthy Diet Basket (HDB), yang juga digunakan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO). Dengan biaya sebesar itu, ada 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia yang tidak mampu memenuhi biaya tersebut. Hitungan lain yang digunakan dalam analisis ini adalah standar Bank Dunia yang menetapkan pengeluaran untuk bahan pangan maksimal 52 persen dari pengeluaran total keluarga. 

Ketika bicara tentang kebutuhan pangan keluarga, maka hal ini tak bisa dilepaskan dari peran ibu yang mengelola kebutuhan rumah tangga. Kemampuan keuangan keluarga yang baru saja diuji dengan hempasan pandemi Covid 19, masih terhuyung-huyung mengembalikan kestabilannya ketika dihantam oleh lonjakan demi lonjakan harga bahan pangan.

Para ibu semakin terhimpit ruang gerak dan beban pikirannya mengatur alokasi pendapatan keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Bila satu keluarga dirata-rata terdiri dari 4 orang, yaitu ayah, ibu, dan 2 anak, maka 183,7 juta orang kira-kira sama dengan 46 juta keluarga, yang berarti ada 46 juta ayah harus ekstra banting tulang mencari nafkah dan ibu yang memutar otak serta ikut bekerja demi mencukupi kebutuhan gizi keluarga. Namun itu pun belum masuk katagori terpenuhi. Akan jadi apa bangsa ini bila separuh dari jumlah penduduknya tidak terpenuhi standar gizi dan masih berjuang untuk sekedar agar perut kenyang?

 Apabila kita kembali kepada spirit hari ibu yang ingin memuliakan dan memberi peenghargaan kepada peran ibu, maka penguatan ketahanan ekonomi keluarga merupakan hal penting. Kita akui bahwa peran ibu sangat besar dalam upaya pengelolaan ekonomi keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain mengatur arus keuangan keluarga, ibu pun mengolah ketrampilannya demi menambah pemasukan keuangan. Riset LPEM FEB UI tahun 2020 mengungkapkan bahwa jumlah perempuan pegiat UMKM yang memulai bisnis dari nol melalui online selama pandemi, hampir 1,5 kali lipat lebih banyak dibandingkan laki-laki, dengan kategori usaha kuliner, griya dan fashion. Data Badan Pusat Statistik (BPS) di 2021, sebanyak 64,5 persen dari total UMKM dikelola oleh kaum perempuan. Geliat UMKM yang diinisiasi oleh para perempuan menunjukkan hadirnya kegiatan ekonomi berasal dari rumah. 

Namun kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para ibu sebagai upaya membantu menstabilkan keuangan keluarga perlu mendapat perhatian dan dukungan kebijakan publik agar peran pengasuhan dan pengelolaan rumah tangga tetap terjaga. Tugas mencari nafkah merupakan kewajiban suami sebagai kepala keluarga. Maka format kebijakan publik yang bersifat dukungan ekonomi kepada keluarga yang belum mampu memenuhi standar gizi, perlu memperhatikan pemberdayaan ekonomi para suami. Dalam hal ini, para ibu berperan mengelola pendapatan untuk kecukupan keluarga. Sementara bagi keluarga dengan ibu tunggal, dukungan kebijakan publik untuk pemberdayaan ekonomi menjadi prioritas dengan ditambah dukungan pengasuhan anak sehingga ibu tidak kelelahan dalam menjalankan peran ibu yang juga berkewajiban mencari nafkah.

Di sisi lain, kebijakan harga pangan murah harus menjadi perhatian dan diupayakan oleh pemerintah apabila menginginkan rakyatnya sehat, cerdas dan sejahtera. Kebijakan ini merupakan bentuk penguatan ketahanan ekonomi keluarga karena hal tersebut tidak bisa semata diupayakan dari dalam keluarga. Ibu yang sudah bersusah payah membantu menambah pendapatan keluarga masih tetap bersusah payah dan bersiasat agar mampu membeli harga pangan yang mahal. Tentunya ini menjadikan ibu tidak bahagia, stress, terbebani bermacam masalah dan siklus hidupnya hanya mengurai benang kusut permasalahan ekonomi keluarga, yang berdampak negatif pada interaksi pengasuhan di keluarga.

Menyikapi upaya penguatan ketahanan ekonomi keluarga, Fraksi PKS sejak masa pandemi Covid 19 mengawal dan mengingatkan pemerintah agar memperhatikan kestabilan harga pangan murah agar masyarakat semakin tidak terbebani hidupnya. Penolakan PKS terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak pada September 2022 lalu, merupakan wujud keberpihakan kepada kondisi rakyat yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ketika kebutuhan gizi masyarakat tidak terpenuhi, yang terdampak adalah para ibu dan anak-anak. Angka stunting dan gizi buruk anak di negeri ini sulit diturunkan. Sementara remaja putri yang tidak mendapat kecukupan gizi layak kelak tak memiliki kesiapan reproduksi yang sehat untuk melahirkan generasi yang sehat, kuat dan cerdas.

Momen hari ibu, untuk ke sekian kalinya, mengingatkan komitmen bangsa ini untuk memuliakan peran ibu dengan mewujudkan kesejahteraan bagi para ibu. Ibu bahagia di kala melihat anak-anak tumbuh kembang baik dengan kecukupan gizi layak. Ibu bahagia di kala melihat anak-anak mendapat pendidikan yang beradab dan mencerdaskan. Ibu bahagia di kala melihat keluarganya beraktivitas dalam lingkungan yang ramah dan aman. Pertanyaan kita, sudahkan kebahagiaan ibu itu terwujud?