MSI: Budaya Proyek Penyebab Maraknya Praktik Korupsi

Jakarta – Wakil Ketua Majelis Syura PKS, Mohamad Sohibul Iman (MSI) menyoroti fenomena kasus korupsi yang menjerat pejabat publik akhir-akhir ini. MSI menulis dalam tweet di akun pribadinya @msi_sohibuliman banyak faktor penyebab korupsi, salah satunya adalah “budaya proyek”.

“Banyak faktor penyebab korupsi. Dari pengalaman saya sebagai PNS dan Aleg DPR RI, salah satunya adalah “budaya proyek”. Umumnya gaji bulanan dianggap “hak sebagai pegawai/pejabat”. Adapun proyek itu kerjaan lain yang juga harus dapat imbalan. Maka dicari-carilah cara agar dapat imbalan,” tulis MSI dalam tweet-nya Sabtu (5/12/2020) pukul 14.34 WIB.

Lebih lanjut, Presiden PKS masa bakti 2015-2020 ini menyoroti akibat dari “budaya proyek” tradisi-tradisi lainnya seperti kick back (minta uang dari rekanan), mark up (menaikan harga), perjalanan dinias fiktif dan lainnya.

“Akibat “budaya proyek” tersebut tidak heran muncul tradisi kick back, mark up, perjalanan dinas fiktif, minta dijamu oleh institusi yang dikunjungi (agar biaya dinas utuh masuk kantong), dll. Relatif merata di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan auditif,” jelas MSI.

MSI juga berbagi pengalaman saat dirinya menjadi Wakil Ketua Komisi XI dan Wakil Ketua DPR RI antusisas untuk membahas perubahan sistem penggajian dengan Remunerasi. MSI berharap sistem Remunerasi dapat meningkatkan penghasilan PNS, menaikkan kinerja, dan tidak ada korupsi. Namun menurut MSI melihat praktik-praktik korupsi atau gratifikasi masih marak, Ia menilai sistem Remunerasi belum bisa menghapus “budaya proyek”.

“Selama jadi Wakil Ketua Komisi XI dan Wakil Ketua DPR RI saya banyak terlibat membahas sistem Remunerasi ini. Saya sangat antusias dengan perubahan ini. Sebagai mantan PNS saya empati dengan teman-teman PNS semoga dengan sistem baru ini penghasilan mereka meningkat, kinerja pun naik, dan tidak ada korupsi. Apakah harapan itu nyata? Melihat praktek-praktek korupsi/gratifikasi yang masih marak, nampaknya Remunerasi belum bisa menghapus “budaya proyek”. Bahkan jika dulu mark up dan kick back hanya melibatkan birokrat dan pengusaha, sekarang meluas dengan keterlibatan para politisi di parlemen, dari pusat sampai daerah. Makin rumit,” jelas MSI.

Sebagai sebuah solusi, MSI melihat perbaikan sistem menjadi hal yang penting, namun jauh lebih penting menurutnya adalah perbaikan “mental model”, dari tamak (rakus) jadi qana’ah (merasa cukup).

“Saya melihat perbaikan sistem itu penting, tapi jauh lebih penting perbaikan “mental model”, dari tamak jadi qana’ah. Perlu dua hal: keteladanan dan ketegasan hukum. Mari, siapa pun, jangan lelah untuk jadi contoh sekecil apapun. Dan kita dorong hukum ditegakkan dengan tegas untuk beri efek jera,” pungkas MSI.