Monografi Politik  

Edisi pekan lalu rubrik Teropong 2024 ini menyoal “pertarungan politik di unit terkecil (Desa/kelurahan ke bawah) di Masa Tenang dan hari H Pemilu”, dengan judul “At the Last Minute.” Salah satu rekomendasi pentingnya adalah “membekali pengurus partai dan tim sukses dengan materi Monografi Politik Berbasis Desa/Kelurahan untuk Pemenangan Pemilu 2024, yang kelak dari program ini bisa menelurkan rekomendasi strategi dan program pemenangan pemilu yang khas desa/kelurahan setempat.” Pertimbangan mengapa rekomendasi itu disorongkan, mengacu hasil sejumlah survei AKSES School of Research, adalah salah satu sumber berita utama warga tentang pemilu berasal dari “Ngobrol dengan warga” dan bentuk sosialisasi politik calon anggota legislatif yang paling disukai adalah “Acara Temu Calon Secara Langsung”.

Lalu apa itu Monografi Politik? Yaitu peta politik berupa data tentang preferensi (pilihan) politik dan karakteristik pemilih dengan menjadikan skala desa/kelurahan sebagai unit analisis. Data tersebut bisa di-up date secara periodik misalkan setiap semester. Mengapa perlu monografi politik berbasis desa/kelurahan?

Pertama, setiap partai politik berupaya menempatkan dirinya dalam posisi strategis dalam pentas politik lokal dan nasional serta sekaligus bermakna keharusan bagi partai politik untuk merebut kekuasaan politik.

Kedua, pemahaman atas pola preferensi (pilihan) politik dan karakter pemilih di tingkat Desa/Kelurahan perlu dilakukan secara sistematis dan berkala untuk persiapan dalam menghadapi pemilu.

Ketiga, dalam menghadapi ketatnya persaingan menuju pemilu setiap pengurus partai dan tim sukses dituntut untuk bekerja dengan berbasiskan data (tidak management by feeling)

Sudah lima kali pemilu di era reformasi dilaksanakan dengan tingkat kompetisi yang tinggi

(48 partai politik peserta pemilu 1999, 24 partai politik peserta pemilu 2004, 38 partai politik peserta pemilu 2009, 12 partai politik peserta pemilu 2014, dan 16 partai politik peserta pemilu 2019).

Keempat, strategi jitu untuk merengkuh hati publik harus diterapkan sejak saat ini juga dengan tanpa menanti masa kampanye. Menunggu masa kampanye tiba sama halnya, menurut hasil kajian Dr. Riswanda Himawan (UGM), hanya memompa perolehan 4% suara pemilih.

Kelima, perlu perubahan paradigma dalam mengelola strategi dan program pemenangan pemilu dari top down menjadi bottom up. Karena desa/kelurahan adalah struktur terdepan yang berhadapan langsung dengan berbagai problematika yang dihadapi masyarakat.

Lalu apa manfaat kongkrit dari Monografi Politik Berbasis Desa/Kelurahan itu? Setidaknya ada delapan manfaat dari tools (alat) yang menggunakan metode survei politik dalam pembuatannya ini. Pertama, alat ukur tingkat popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas partai politik dan calon anggota legislatif di tingkat Desa/Kelurahan.

Kedua, mengetahui fluktuasi/konsistensi dukungan/penolakan terhadap partai politik dan calon anggota legislatif di tingkat Desa/Kelurahan.

Ketiga, mengetahui tingkat loyalitas pemilih terhadap partai politik dan  calon anggota legislatif yang dipilihnya pada Pemilu 2019 dengan saat Monografi Politik dilaksanakan, serta memprediksi perolehan suara pada Pemilu 2024 di tingkat Desa/Kelurahan. Dalam konteks ini Monografi Politik adalah “termometer politik”.

Keempat, mengetahui faktor penyebab dukungan/penolakan terhadap partai politik dan calon anggota legislatif di tingkat Desa/Kelurahan.

Kelima, mengetahui isu/program yang diminati warga di tingkat Desa/Kelurahan. Pada point ini dalil “Kutahu yang kau mau” mutlak ditegakkan, ketimbang bersetia pada dalil “Kutahu yang kumau”. Diksi “Kau” di sini merujuk kepada kalangan pemilih.

Keenam, Sebagai basis data untuk  intervensi program pemenangan pemilu di tingkat Desa/Kelurahan.

Ketujuh, alat evaluasi efektivitas program pemenangan pemilu  di tingkat Desa/Kelurahan.

Kedelapan, mengetahui tokoh agama, adat/suku, pemuda, jawara, perempuan, pengusaha, influencer, dan politik yang paling berpengaruh di tingkat Desa/Kelurahan.

Apakah metode ini bermanfaat dan layak untuk dikuasai serta diimplementasikan? Tiga puluh dua kali pelaksanaan training Monografi Politik sejak 2007 yang diikuti mayoritas politisi memperlihatkan sebagian besar menilai bermanfaat. Termasuk perhelatan terakhir yang digelar tanggal 27 – 28 November 2021 yang diikuti oleh empat puluh sembilan peserta. Di akhir training mereka disodorkan formula pertanyaan, “Bagaimana penilaian Anda terhadap kebermanfaatan materi training dalam persiapan menghadapi pemilu?” Hasilnya, 60% menilai Sangat bermanfaat, 36% Bermanfaat, dan hanya 4% yang menilai “Kurang bermanfaat” dan tak ada yang memilih jawaban “Sangat tidak bermanfaat.”

Akhirnya, mari bayangkan di kantor pusat partai terpampang layar monitor berukuran besar berisi peta Indonesia. Setiap provinsi berwarna khas milik partai pemenang di provinsi tersebut. Kita klik satu provinsi, seketika layar jumbo itu menampilkan peta provinsi dengan berisi kabupaten/kota di provinsi tersebut. Masih dengan warna warni khas partai pemenang di setiap kabupaten/kota. Kemudian diklik satu kabupaten, dan seketika pula layar bersalin gambar peta kabupaten itu yang terdiri dari kumpulan kecamatan dengan warna warni partai pemenang. Lantas diklik kecamatan tertentu, muncul peta kecamatan dengan himpunan desa/kelurahannya berikut warna warni partai pemenang.

Ibarat bermain puzzle, begitulah Monografi Politik. Bermula dari desa/kelurahan, akhirnya kita dapatkan peta politik se-Nusantara secara periodik. 

Kamarudin, founder AKSES School of Research