Mencari Kesejahteraan di Perbudakan Dunia

Oleh Riyono
Ketua DPP PKS Bidang Pekerja Petani dan Nelayan

Indonesia dengan geopolitik di perempatan jalan dunia memiliki peran kunci bagi kelancaran jalan laut dunia. Geopolitik bisa menjadi geoekonomi jika bangsa Indonesia mampu hadirkan kesejahteraan bagi stakeholder kelauatan dan perikanan, bahkan setelah geoekonomi maka akan menjadi Geo strategi.

Geo politik - ekonomi - strategi akan hasilkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia yang sesungguhnya. Selat Hormuz di Iran bahkan mampu menjadi Senjata Geopolitik, selat tersibuk di dunia ini tiap 10 menit lewat 1 kapal tangker dan 40 persen impor minyak dunia melewati selat hormuz, 90 persen eskpor minyak negara arab teluk, irak dan iran melalui selat hormuz.

selat Indonesia dari 9 selat yaitu makasar, sunda, malaka, lombok tiap tahun di lalui 40 - 50 persen perdagangan dunia, fakta yang sangat menggiurkan untuk mengambil peran strategis.

Posisi yang sangat strategis ini ternyata belum mampu menjadi Senjata Geopolitik malah sebaliknya mejadi zona penyangga (buffer zone) dan "wilayah tempur" (proxy war) negara lain untuk berbagai kegiatan illegal. Illegal fishing, perompakan, penyelundupan dan Perbudakan pekerja migran yang sekarang viral di media.

Kekayaan laut nasional yang ditaksir hampir 7200 Trilyun atau 3x APBN 2020 ternyata gak mampu menahan minat WNI menjadi ABK di LN. Ada hampir 22.000 ABK di Kapal ikan asing Taiwan tahun 2019 rawan kekerasan dan perbudakan saat bekerja di Laut. Surga di Negara sendiri di tinggalkan, Neraka di negara lain di datangi.

Prediksi bahwa 2045 Indonesia membutuhkan minimal 22.000 kapal berukuran 100 Gt ke atas dengan minimal 25 tenaga kerja per kapal, maka ada peluang bekerja didalam negeri sebanyak 550.000 tenaga kerja di sektor kelautan perikanan. Belum lagi potensi lestari ikan kita mencapai 8 juta ton/tahun. Lalu kenapa WNI lebih memilih menjadi ABK yang bertaruh dengan nyawa?

Godaan Kesejahteraan dan Sengkarutnya Aturan

Memang menjadi ABK ahli di kapal asing memiliki gaji yang tinggi. Di kapal Cina, Taiwan dan Korea Selatan minimal ABK menerima gaji 300 Dollar atau setara 4.47 Juta/bulan. Dengan kontrak minimal 2 tahun maka bayangan ABK pulang bisa punya tabungan minimal 100 juta/2 tahun.

Angka yang cukup besar bagi ABK dengan pendidikan rendah serta kerja kasar di kapal ikan asing. Maka resiko kekerasan, perlakuan tidak manusiawi dan berujung kematian yang berulang setiap tahun seolah diabaikan oleh ABK.

Jika di bandingkan dengan kerja di kapal lokal yang paling besar maksimal penghasilan antara 2 - 2.5 juta per 40 hari kerja. Itupun bisa dan turun sesuai hasil tangkapan ikan. Lebih susah lagi buruh kapal yang tidak memiliki penghasilan tetap, memang sangat ironi.

Kekerasan dan kasus pembuangan jenazah oleh kapal Cina baru - baru ini jelas melanggar HAM dan masuk kategori kejahatan kemanusian, Perlakuan perbudakan dan kekerasan dalam kapal ikan asing sudah lama terjadi.

Bahkan temuan Greenpeace Asia menyebutkan ada kasus ķematian ABK yang jenazahnya dimasukan dalam freezer dicampur dengan ikan. Keterangan ABK yang bekerja di kapal Cina ternyata sangat mengerikan, bekerja 20 - 22 jam per hari, bahkan hanya di gaji 100.000 per bulan, makan dan minum tidak layak, sangat rentan sakit berujung kematian.

Kasus Kematian ABK Supriyanto 2016 di kapal Ikan Taiwan yang dipukuli sampai meninggal contoh kekejaman yang sungguh sangat diluar nalar kemanusiaan.

Kenapa semua itu terjadi? Lemahnya pengawasan dari hulu dan hilir tentang pengiriman ABK ke luar negeri, aturan yang tumpang tindih di dalam negeri membuat munculnya ketidakpastian hukum bagi perlindungan dan jaminan keselamatan kerja ABK. Indonesia juga belum meratifikasi ILO 188 mengenai Pekerjaan dalam penangkapan Ikan dan berkaitan dengan ABK kapal perikanan.

Kondisi diatas akhirnya menjadikan ABK kita menjadi Budak di negeri orang. Ada sekitar 250.000 ABK di luar negeri yang berpotensi bermasalah. Data Kemenlu 2017 menyebutkan ada sekitar 40.000 ABK illegal yang menjadi BUDAK di kapal Taiwan. Sangat menyedihkan dan menyakitkan bagi bangsa Indonesia. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) dan sampai sekarang belum memiliki PP sebagai turunan UU.

Jadi selama Indonesia belum meratifikasi ILO 188 dan belum keluarnya PP UU PPMI maka potensi kejadian berulang ke depan akan pasti ada. Lemahnya posisi diplomasi dan regulasi membuat Indonesia tidak berdaya. Banyaknya broker serta perusahaan illegal membuat semakin parah nasib ABK kita di luar negeri.

Kembali ke Laut Indonesia

Potensi dan kekayaan laut Indonesia sebenarnya cukup untuk membuat Indonesia sejahtera. "Tinggalkan" daratan dan berlayarlah ke lautan bersama juataan ikan dan potensi laut yang lain.

Memang pilihan sulit, janji Poros Maritim Dunia hilang ditelan waktu dan Indonesia semakin jauh dari kata sejahtera. Kasus pembuangan jenazah ABK oleh kapal Ikan Cina menjadi titik keberanian Indonesia menyelesaikan kasus perbudakan di kapal asing. Langkah berikut perlu diambil untuk segera memastikan posisi Indonesia sebagai negara yang melindungi nyawa rakyatnya di LN.

Pertama, pemanggilan Dubes Tiongkok yang sudah dilakukan harus mendapatkan kepastian pemerintah Tiongkok serius mengusut tuntas kasus dengan tengat waktu maksimal 1 bulan atau tanggal 12 Juni 2020. Kebohongan pemilik kapal harus berani diungkap oleh Cina.

Kedua, Indonesia bisa melaporkan kasus ini ke Dewan HAM PBB sebagai bentuk protes keras atas 3 nyawa rakyatnya. Laporan ke Dewan HAM PBB harus di kawal, posisi Cina yang kuat di diplomasi Internasional akan mengancam kasus ini akan lama dan berujung tidak jelas.

Ketiga, segera ratifikasi ILO 188 agar ada kemampuan hukum Internasional bagi pemerintah dalam melindungi ABK kita. Selain itu keluarkan PP UU PPMI agar ada kepastian hukum bagi ABK dan sistem rekrutmen serta pengawasan hulu - hilir terkait pekerja sektor perikanan.

Keempat, jika semua langkah diatas dalam jangka pendek gagal maka kita bisa mengambil langkah melakukan Moratorium pengiriman TKI ke kapal ikan asing. Sulit dan mungkin sakit bagi ribuan ABK, tapi ini menyangkut harkat dan martabat serta nyawa rakyat Indonesia yang terlunta - lunta di negeri orang. Perbudakan dan kejahatan kemanusian harus dihentikan.

Kelima, siapkan sektor perikanan kelautan nasional menjadi raksasa baru pasca covid 19 dalam membangkitkan perekonomian nasional ke depan. 2045 bukan waktu yang lama, penuhi 22.000 kapal Ikan diatas 100 GT dalam waktu secepatnya agar semua ABK memiliki kesempatan kerja.

Kita tidak mau mendengarkan dan menyaksikan anak bangsa yang berjuang demi keluarga pulang tinggal nama. Kesejahteraan di perbudakan dunia hanya semu semata.