Memotret Masa Depan Bangsa Dalam Perspektif Pemilu 2019
Handi Risza
Sekretaris Bidang Ekuinteklh DPP-PKS
Indonesia saat ini sedang menikmati kemewahan yang tidak dimiliki oleh negara lain yaitu berada pada puncak bonus demografi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah populasi warga negara Indonesia pada tahun 2019 diperkirakan akan mencapai angka 266,91 juta jiwa. Proporsi jumlah penduduk usia produktif (usia 15-65 tahun) sebanyak 183,36 juta jiwa atau sebesar 68,7% dari total populasi seluruhnya. Sedangkan usia penduduk tidak produktif (usia diatas 65 tahun) sangat rendah sekitar 6,51 persen dari populasi. Adapun presentase jumlah generasi milenial (usia 20-35 tahun) mencapai 25 persen. Bisa dikatakan, komposisi penduduk Indonesia hari ini adalah paling ideal dalam mendorong pembangunan.
Diperkirakan bonus demografi yang dialami oleh Indonesia, akan terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2036. Setelah itu, jumlah penduduk berusia lanjut (lansia) akan bertambah menjadi 19 persen hingga tahun 2045. Peluang Indonesia untuk memanfaatkan bonus demografi tersebut tinggal 17 tahun lagi. Apakah demografi yang dimiliki Indonesia saat ini, akan menjadi bonus untuk menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia yang jatuh tahun 2045, atau sebaliknya ini akan menjadi bencana demografi, dimana beban yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk tidak produktif akan semakin tinggi.
Mempersiapkan bonus demografi yang kita miliki, tidak bisa dilepaskan dari proses pemilihan umum (pemilu) yang sudah dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019 yang lalu. Pemilu ibarat pintu gerbang utama bagi terbentuknya sistim pemerintahan dan kepala pemerintahan yang kuat dan berkualitas dalam mengambil kebijakan politik (Schumpeter, 2003). Apakah bisa memanfaatkan bonus demografi yang kita miliki atau sebaliknya. Hasil pemilu akan menuntun kita untuk bisa mencapai cita-cita bangsa untuk menjadi bangsa yang sejahtera, adil dan makmur menjelang perayaan 100 tahun kemerdekaan.
Integritas Pemilu
Pemilihan umum serentak antara legislatif (Pileg) dan Presiden (Pilpres), baru saja berakhir pada tanggal 17 april 2019 lalu. Kurang lebih satu bulan setelah pelaksanaan pemilu, tensi politik akan meningkat menjelang dan sesudah pengumuman hasil pemilu oleh lembaga penyelenggara pemilu. Makin banyak tekanan dari publik mempertanyakan integritas pelaksanaan pemilu, mulai dari pelaksanaan kampanye, saat pencoblosan surat suara hingga proses perhitungan hasil pemilu. Apalagi faktanya telah jatuh korban sebanyak 527 petugas pemilu tingkat kelurahan meninggal dunia dan 11.239 jatuh sakit (data Kemenkes, 2019). Tentu hal ini telah menjadi catatan kelam dalam sejarah penyelenggaraan pemilu di dunia.
Independensi lembaga pemilu, baik sebagai lembaga penyelenggara maupun sebagai pengawas pemilu adalah sarat mutlak dalam menghasilkan pemilu yang jujur dan adil. Integritas pemilu akan dapat menghasilkan penguatan kualitas representasi publik (Frank Norris, 2014). Integritas lembaga pemilu akan terancam ketika pemerintah dan aparat keamanan mulai terlibat memasuki wilayah penyelenggara pemilu. Intervensi tersebut mulai terasa pada saat para kepala daerah mendeklarasikan secara terbuka dukungannya pada salah satu partai maupun calon tertentu.
Inilah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri dalam pelaksanaan pemilu 2019, dukungan para kepala daerah tersebut diikuti dengan perintah kepada pejabat dan aparatur yang ada dibawahnya. Kondisi tersebut telah menggerogoti wibawa dan integritas dari penyelenggara pemilu. Lembaga penyelenggara akan sangat mudah dintervensi sedangkan lembaga pengawas tidak punya nyali ketika berhadapan dengan para pejabat yang notabone sebagai penguasa didaerah tersebut.
Kualitas Legislatif
Proses pemilu yang berkualitas tidak hanya akan menghasilkan anggota parlemen yang baik tetapi juga pemerintahan yang kuat dari mandat yang diberikan oleh rakyat. Bahkan menurut Richard A. Musgrave dalam bukunya Public Finance in Theory and Practice, kualitas kebijakan anggaran negara yang dihasilkan dalam proses politik antara pemerintah dan parlemen dimulai dari proses pemilu yang menghasilkan anggota legislatif yang baik dan berkualitas.
Pertanyaan mendasar yang muncul saat ini adalah, apa yang bisa dihasilkan dari proses pemilu yang berlangsung secara tidak jujur dan adil ?. Sudah pasti tidak akan menghasilkan anggota legislatif yang baik, karena lahir dari proses transaksional, manipulatif bahkan intimidatif. Lalu bagaimana dengan pemilu yang baru saja kita rampungkan, faktanya cukup miris dengan praktek-praktek serangan fajar, penggelembungan suara, pembelian suara, baik oleh partai maupun oleh individu caleg, semuanya melibatkan oknum caleg/partai, penyelenggara pemilu dan pejabat di dapil masing-masing.
Dengan melihat kondisi tersebut, barulah kita bisa melihat relevansi dari tulisan Musgrave tersebut dengan kondisi kita hari ini. Kebijakan yang dihasilkan oleh anggota legislatif sangat lemah, baik dari sisi Kualitas maupun kuantitas. Berapa banyak produk legislasi yang dihasilkan oleh lembaga legislatif hari ini, apakah sesuai target program legislasi nasional atau tidak, berapa banyak anggota legsilatif yang ditangkap oleh lembaga anti rasuah, mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga pusat. Jadi seperti yang ditulis oleh Musgrave mengenai proses pemilu yang jujur dan adil akan sangat mempengaruhi kualitas dan integritas anggota legislatif terpilih mendapat pembenaran dengan melihat realita hari ini.
Kredibiltas Pemerintah
Dalam sistim presidensial telah memberikan kekuasaan yang sangat besar bagi Presiden dan pemerintahan yang dipimpinya, sehingga sangat sulit untuk dijatuhkan (Rod Hague, 2004). Peluang terjadinya pemberhentian atau dikenal dengan istilah impeachment sangat kecil sekali dengan proses yang sangat panjang, walau peluang tersebut tetap ada. Oleh sebab itu, sistim presidensial yang diterapkan saat ini, seharusnya menghasilkan dukungan dan legitimasi rakyat yang kuat kepada Presiden terpilih.
Proses pemilu panjang yang sudah dilalui, lebih kurang sekitar 8 bulan, seharusnya sudah bisa meyakinkan masyarakat tentang arah dan tujuan bangsa ini akan dibawa. Ditengah persoalan multidimensi yang dihadapi bangsa saat ini, masyarakat tentunya sangat berharap terhadap sosok pemimpin yang tepat dan mampu menyelesaikan masalah serta memberikan solusi dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Pemilu seharusnya menjadi ajang kontestasi dan membedah isi pikiran calon pemimpin, sehinga masyarakat yakin dengan pilihannya. Bukan sebaliknya, masyarakat tidak yakin dengan pilihan yang dimilikinya. Hal ini selaras dengan tulisan Frank Morris dalam bukunnya Measuring Electoral Integrity Arround The World, mengungkapkan bahwa pemilu yang penuh dengan kucurangan akan melemahkan kepercayaan publik.
Setali tiga uang proses pemilu yang sudah dihasilkan pada periode sebelumnya tentu memiliki kontribusi terhadap kredibilitas pemerintahan yang dihasilkan terutama Presiden sebagai kepala pemerintahan. Sedikit banyak terlihat dari bagaimana pemerintahan dikelola, kebijakan yang dihasilkan dan tingkat kepuasan publik. Praktek dan dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota kabinet, kebijakan impor bahan pangan yang meresahkan petani, keberadaab utang luar negeri yang membumbung tinggi, deindustrialisasi yang berlangsung dalam beberapa waktu terakhir, defisit transaksi berjalan adalah kondisi sebagian dari kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintahan hari ini.
Potret Masa Depan Indonesia
Bonus demografi akan segera berakhir sekitar 17 tahun lagi atau kisaran tahun 2036. Sekitar 68,7 persen usia produktif penduduk akan berakhir dan 19 persen kembali mengalami penuaan sehingga masuk kategori tidak produktif. Beban penduduk usia produktif untuk menanggung penduduk usia produktif kembali meningkat, ketika itu beban negara akan semakin berat hingga memasuki 100 tahun usia kemerdekaan yang jatuh pada tahun 2045.
Rentang 17 tahun bukanlan waktu yang lama bagi sebuah bangsa untuk mempersiapkan infrastruktur dan fondasi yang kokoh untuk mengakhiri periode bonus demografi yang dimilikinya. Generasi produktif yang kita miliki hari ini, akan menjadi tulang punggung bangsa menjelang tahun 2045. Jika kita berhasil maka bangsa ini akan menuju bangsa yang maju dan kuat, tetapi jika gagal bencana demografi ini akan membuat kita menjadi bangsa pesakitan untuk kurun waktu yang lama.
Pemilu yang demokratis dan dilaksanakan secara jujur dan adil adalah pra-syarat untuk membentuk parlemen dan pemerintahan yang memilik integritas guna menghasilkan produk legislasi dan kebijakan yang berkualitas. Pra-syarat tersebut hanya bisa dilakukan dengan menyusun kembali peraturan perundang-undangan yang mampu menjawab semua persoalan hari ini. Tetapi langkah ini akan menjadi ironi tersendiri, pada saat yang menyusun produk legislasi tersebut adalah lahir dari produk yang gagal memperbaiki dirinya sendiri. seperti lingkaran setan yang tidak berkesudahan.
Inilah dilema yang sedang kita hadapi, proses transisi demokrasi yang masih dan akan kita jalani, belum bisa menghasilkan produk demokrasi yang mampu menjawab persoalan bangsa hari ini. Pemilu 2019 ini belum cukup kuat untuk meyakinkan kita, bahwa kita sudah berada pada jalur yang tepat untuk memaksimalkan bonus demografi yang kita miliki. Akankah anak cucu kita nantinya tersenyum atau menangis ketika sang saka dikibarkan pada perayaan 100 tahun kemerdekaan republik. Wallahu’alam Bissawab