Kompetensi Masa Depan Penting Bagi Siswa Juga Guru

Jakarta -- Kehidupan di abad XXI dan perubahan dunia terkait industri 4.0 membutuhkan keterampilan dan kompetensi yang lebih mumpuni dari para siswa sekolah. Namun menurut anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah, keterampilan dan kompetensi ini tidak bisa dibuat instan, saat anak sudah duduk di bangku sekolah menengah, melainkan harus ditumbuhkan sejak dini.

Salah satu hal yang disebut-sebut merupakan ciri khas kompetensi masa depan adalah kemampuan penerapan HOTS (higher order thinking sklill) dalam bidang pendidikan, hingga munculah penerapan soal-soal ujian sekolah dengan tipe HOTS ini sejak beberapa tahun lalu. Sayangnya, penerapan soal-soal bertipe HOTS ini lantas malah memunculkan keluhan dari banyak siswa yang merasa soal-soal ujian tersebut terlalu susah dan di luar kisi-kisi pelajaran yang mereka dapati selama ini.

“Kenapa hal seperti ini bisa terjadi salah satunya karena anak didik selama ini tidak diajar dan dilatih dengan pola higher order thinking sklill ini tapi lalu mendapat ujian dengan soal sistem HOTS, tentu jadi tidak nyambung buat mereka. Akhirnya malah memberatkan siswa dan mempengaruhi nilai ujian mereka,” kata Ledia usai melakukan rapat dengan Sekjen dan Dirjen Kemendikbud terkait Revitalisasi Pendidikan Vokasi di Indonesia, Selasa (5/5).

Dalam rapat ini pihak Kemendikbud mengungkapkan bahwa diantara kompetensi dasar masa depan yang perlu dimiliki SDM negeri ini adalah memiliki kemampuan critical thinking, creativity, communication, collaboration di samping juga harus memiliki karakter positip.

Dalam hal pendidikan vokasi yang berbasis pada penerapan 70% praktek dan 30% teori ini penguasaan kompetensi masa depan menjadi basis pertumbuhan lulusan pendidikan vokasi yang siap menghadapi situasi masa depan yang dinamis, cepat berubah dan penuh tantangan.

“Tanpa kesiapan terkait ketrampilan belajar dan kompetensi masa depan lulusan vokasi bisa jadi akan mengalami kegagapan saat terjun langsung ke dunia usaha dan dunia industri,” kata Ledia.

Kegagapan ini bisa disebabkan karena apa yang dipelajari di sekolah bisa jadi jauh berbeda dengan kenyataan kerja, baik dalam hal teknis, metode, alat dan tentunya budaya kerja. Karena itu menguasai kompetensi dasar masa depan dan memiliki karakter positip menjadi landasan penting untuk menghasilkan lulusan pendidikan vokasi yang berkualitas dan siap memasuki dunia usaha dunia industri.

“Dengan menghasilkan lulusan-lulusan vokasi yang mumpuni, Indonesia yang sebentar lagi akan mendapat bonus demografi tak akan kekurangan tenaga kerja berkualitas hingga tak perlu lagi memperbanyak tenaga kerja asing masuk dan bekerja di Indonesia,” lanjut Ledia.

Namun, sambung Aleg FPKS ini lagi, ketrampilan dan kompetensi dasar seperti berpikir kritis, kreatif, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi serta memiliki karakter positip tersebut tentu tidak bisa ujug-ujug diharapkan terpatri pada siswa dan mahasiswa, melainkan perlu ditumbuhkan, dilatih dan diasah sejak kanak-kanak. “Sejak awal, sejak dari rumah lalu memasuki pendidikan nonformal seperti PAUD hingga ke sekolah dasar, menengah hingga pendidikan tinggi ketrampilan dan kompetensi dasar ini ditumbuhkan, diantaranya dengan keteladanan dan implementasi keseharian. Bila mereka terbiasa dengan keterampilan ini, kelak hal tersebut akan melekat baik pada cara berpikir, bersikap, bertindak, maupun berbicara,”

Tak kalah pentingnya, selain perlu mempersiapkan sejak dini ketrampilan dan kompetensi dasar bagi siswa, Ledia juga mengingatkan perlunya mempersiapkan para pendidik yang mampu mengajarkan keterampilan dan kompetensi tersebut serta memberi keteladanan dalam pembentukan karakter positif.

Sayangnya, ujar Ledia, di saat kita berharap peserta didik memiliki kemampuan seperti higher order thinking sklill justru banyak guru yang masih terbata-bata dengan konsep tersebut. “Tentu hal ini akan menjadi kerumitan tersendiri bagi dunia pendidikan kita sebab para guru ini semestinya mampu melatih siswa, membuat soal dan bahkan memberikan penilaian dalam konsep HOTS karena mereka lebih mumpuni. Namanya juga guru, kan.”

Karena itu tuntutan pembentukan SDM berkualitas bagi generasi emas masa depan Indonesia jelas harus dibarengi dengan peningkatan kualitas guru. Sayangnya dalam hal sertifikasi ajar saja, sebagai salah satu elemen kompetensi bagi seorang pendidik berdasarkan amanat Undang-undang No 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, Indonesia masih punya problem pekerjaan rumah yang besar.

Mayoritas guru di Indonesia diketahui masih belum tersertifikasi. Bahkan, khusus untuk guru SMK sebagaimana diungkapkan dalam rapat terkait Revitalisasi Pendidikan Vokasi ini masih ada 191.502 dari 301.755 guru atau sekitar 63% guru SMK di Indonesia yang belum bersertifikat. Padahal sertifikasi menjadi ukuran dalam menentukan kelayakan profesi termasuk dalam profesi guru.

Karena itu Sekretaris Fraksi PKS ini lantas mengingatkan pemerintah agar secara cepat dan bersungguh-sungguh memperhatikan soal pengembangan kualitas guru, dosen, kepala sekolah, baik melalui berbagai pendidikan, pelatihan, dan program-program kesetaraan yang bisa meningkatkan kualitas para pendidik di negeri ini.

“Pembentukan generasi emas Indonesia yang berkualitas sangat penting, dan salah satunya didapat dari kehadiran para guru yang juga berkualitas. Maka menyiapkan kompetensi dasar bagi siswa dan juga guru adalah dua persoalan pendidikan kita yang harus dilakukan seiring sejalan.”