Ketahanan Pangan Nasional Semakin Memprihatinkan

Cita-cita kemerdekaan Indonesia diantaranya adalah menjadi negara yang “Gemah ripah Loh Jinawi, Tata Tentrem Kertaraharja, Subur kang Sarwa Tinandur, Murah kang Sarwo Tinuku” dapat terwujud. Subur kang sarwo tinandur menggambarkan kondisi tanah yang selalu bertemu dengan air, sehingga irigasi dibangun besar-besaran mengairi tanah pertanian. Sedangkan murah kang sarwo tinuku, mengambarkan stabilitas harga murah karena produksi mencukupi sehingga dapat menjaga rendahnya inflasi karena didukung oleh daya beli rakyat yang tinggi.

Namun dalam sepuluh tahun terakhir yang terjadi adalah masifnya konversi kepemilikan lahan pertanian, terutama di pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan nasional. Dari tahun 2003 sampai 2013, terjadi konversi lahan pertanian seluas 508.287 hektar: Jawa tengah 202.222 ha; Jawa Timur 167.864 ha; Banten 71.519 ha; Jawa Barat 36.389 ha; DI Yogyakarta 30.302 ha[1]. Masifnya konversi kepemilikan lahan pertanian tersebut meningkatkan jumalah petani gurem menjadi 77,0% dan berpotensi menurunkan produksi beras 3,2 juta ton, jagung 1,6 juta ton, dan kedelai 93 ribu ton.

Dengan besarnya konversi kepemilikan lahan yang menurunkan produksi besar, jagung, dan kedelai, maka Indonesia menjadi semakin tergantung dengan import pangan. Dalam tiga tahun terakhir, total Import Pangan 7 komoditas utama (Beras, Jagung, Kedelai, Gandum, Gula Tebu, Ubi Kayu, Bawang Putih) secara volumetrik terus meningkat dari 21,7 juta ton (2014) menjadi 25,2 juta ton (2017). Volume import Beras, Jagung, dan Ubi kayu cenderung fluktuatif selama tiga tahun terakhir. Namun import Kedelai, Gandum, Gula Tebu, dan Bawang Putih cenderung selalu meningkat. Import Kedelai meningkat dari 5,84 juta ton (2014) menjadi 7,06 juta ton (2017), import Gandung meningkat dari 7,73 juta ton (2014) menjadi 11,64 juta ton (2017), import Gula Tebu meningkat dari 3,03 juta ton (2014) menjadi 4,55 juta ton (2017), dan import Bawang Putih meningkat dari 494,6 ribu ton menjadi 559,7 ribu ton (2017)[2].

Bertambahnya populasi jumlah penduduk Indonesia yang tidak diikuti dengan bertambahnya produksi pangan karena terjadinya konversi lahan pertanian besar-besaran, ternyata diikuti pula oleh tren perubahan pola konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Telah terjadi penurunan konsumsi beras sebesar 200.000 ton hingga 300.000 ton setiap tahunnya, disisi lain terjadi peningkatan konsumsi gandum sekitar 150.000 ton setiap tahunnya. Proporsi gandum sebagai pangan pokok meningkat dari 21,0% (2015) menjadi 25,4% (2017). Perubahan pola konsumsi pangan dari beras kepada gandum, sehingga volume import gandum meningkat menjadi 11,64 juta ton (2017), menjadikan Indonesia sebagai negara pengimport gandum terbesar di dunia[3], diatas volume import gandum yang dilakukan oleh Mesir dan Brasil. Padahal gandum adalah produk pertanian di wilayah sub-tropis, sedangkan Indonesia merupakan negara tropis yang tidak bisa melakukan pertanian gandum.

Bonus Demografi yang semakin besar dan puncaknya diperkirakan terjadi pada tahun 2028 sampai 2031, dimana akan terjadi peningkatan jumlah angkatan kerja usia produktif yang juga akan disertai dengan meningkatnya kebutuhan ketersediaan pangan. Bahkan diperkirakan pada tahun 2045 kebutuhan pangan akan meningkat 150% (1,5 kali lipat), sehingga neraca Beras diperkirakan defisit 11,1 juta ton, dan neraca Gandum diperkirakan akan defisit 53,6 juta ton. Defisit neraca pangan yang besar semakin mengancam Ketahanan Pangan Nasional pada masa yang akan datang.

Jakarta, 17 April 2018.

Memed Sosiawan

Bidang Ekuintek-LH DPP PKS

[1] DA. Santosa 2018. Diolah dari Sensus Pertanian 2013.

[2] DA. Santosa 2018. Diolah dari Pusdatin Kementan 2014-2017.

[3] FAS-USDA Februari 2018.