Ini Catatan Akhir Tahun PKS Terkait Dampak Buruk Omnibus Law Terhadap Buruh

Ketua DPP PKS Bidang Ketenagakerjaan Martri Agoeng. (Foto:HumasPKS)
Ketua DPP PKS Bidang Ketenagakerjaan Martri Agoeng. (Foto:HumasPKS)

Jakarta (27/12) - Diskusi Catatan Akhir Tahun 2021 DPP PKS kembali digelar. Kali ini terkait dengan tenaga kerja, buruh, tani dan nelayan dengan tajuk 'Pasca Omnibus Law: Buruh, Tani dan Nelayan Dapat Apa?', di akun Instagram @PK_Sejahtera, Senin (27/12/2021). Dalam kesempatan itu, Ketua DPP PKS Bidang Ketenagakerjaan Martri Agoeng mengatakan, kalau dilihat dari proses pembentukan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memang sudah bermasalah dan sudah banyak masukan. Fraksi PKS, menurutnya juga sudah ikut berjuang mengawal dari proses pembahasannya, memberikan masukan-masukan kepada Panja, tetapi yang diserap ternyata sangat tidak memuaskan sehingga sektor diperburuhan terus melakukan kajian mengkritisi termasuk aksi ke jalan untuk mengawal proses di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Putusan MK yang banci itu, MK memutuskan suatu putusan biasanya final banding tapi ini justru membingungkan dan bikin kacau, itu yang terjadi, tentang PP No. 36 Tahun 2021 ini juga bukan meningkatkan kesejahteraan buruh tetapi justru menggerus kesejahteraan buruh. Dan yang lebih parahnya lagi dengan adanya PP No. 36 ini istilah saya itu merusak moralitas kepala daerah itu, kepala daerah kalau dulu dengan otonomi daerah kan dia punya kewenangan upah minimum di kabupaten kota masing-masing sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemampuan dari ekonomi di daerah itu termasuk upah sektoral, dengan adanya UU Cipta kerja ini sekarang tidak ada kewenangan itu," kata Martri.

Dewan pengupahan, lanjut Martri, juga hanya sekedar nama. Secara legal perundangan dewan pengupahan tidak dibubarkan tetapi kewenanganya sudah tidak ada, karena semua sudah diselesaikan dengan PP No 36. "Nah ini mas Anies Gubernur DKI melakukan terobosan dengan kenaikan upah dengan 5,1%, diantara sekian banyak yang hanya 0,8 kenaikannya bahkan ada yang nol banyak sekali, ini pun mas Anies sudah diancam-ancam dengan kemendagri, akan dicarikan sanksi apa dan seterusnya. Lah ini kan kepala daerah moralitasnya jadi hancur dengan seperti ini, yang berani seperti apa dan yang tidak berani yasudah ikut saja," jelas Martri.

Selanjutnya, masih kata Martri, pihaknya sangat menyayangkan pernyataan Gubernur Banten yang justru mengeluarkan jawaban yang tidak pantas ketika ditanya oleh rakyatnya. "yang parah Gubernur Banten yang mengatakan yang demo di PHK saja, yang ngantri kan banyak untuk kerja, Ini omongan pejabat apa terhadap rakyatnya begitu," imbuh Martri.

Demikian juga dengan status ketenagakerjaan yang saat ini semakin parah dengan adanya UU Cipta Kerja. Misalnya seperti Outsourcing yang dulu dibatasi sekarang tidak dan justru sangat mudah, PHK yang sebelumnya harus ada persetujuan dan perundingan dengan serikat pekerja sekarang tidak ada perundingan dengan serikat pekerja. Bahkan PHK sekarang ini walaupun perusahaan mengalami surplus dengan alasan tertentu efisiensi tetap boleh untuk mem-PHK pekerja. "Jadi negara fungsinya apa terhadap warga negaranya," ujar Martri.

Di tingkat pusat, Martri mengungkapkan, Fraksi PKS sudah memperjuangkan hal ini tetapi karena kendala di jumlah, Fraksi PKS hanya 50 dari 575 anggota sehingga pihak buruh memakluminya. Sementara di daerah PKS akan mendampingi para kepala daerah khususnya yang diusung oleh PKS untuk menyusun perda-perda terkait ketenagakerjaan yang bisa dipelajari dan dikaji dari sisi-sisi mana dapat masuk dan kemudian memberikan kontribusi dan tambahan.

"Seperti yang diberikan DKI misalkan mereka diberikan kartu kerja, mendapatkan subsidi transportasi, kemudian dapat tambahan makanan dan seterusnya, itu diantaranya. Itu bisa dilakukan, nanti kita akan dialog dengan kepala daerah dari PKS baik gubernur, bupati dan walikota, itu yang bisa kita lakukan untuk pekerja-pekerja kita. Tetapi dari sisi perjuangan terus dengan adanya putusan MK, ini yang juga harus terus dikawal di DPR baik fraksi maupun kader yang bergerak di sektor perburuhan, mari bareng-bareng kita kawal pembahasan ulang untuk undang undang cipta kerja ini yang justru kalau dilihat di DPR sibuk merevisi UU no 12. Padahal itu tidak ada perintah dalam putusan MK, tapi yang disibukkan sekarang adalah mencari cantolan seolah-olah nanti UU cipta kerja itu menjadi sah menjadi punya cantolan hukum ketika uu no 12 diubah dan mencantumkan omnibus law ini menjadi salah satu cara pembentukan UU," turut Martri.

Sementara, lebih jauh Martri menegaskan, yang harus dikawal adalah pembahasan norma-normanya terkait dengan UU cipta kerja secara langsung, karena menurutnya kalau dilihat putusan MK yang diperintahkan adalah membahas ulang UU Cipta Kerja, yaitu UU No 11 tahun 2020.

"Putusan no 3 putusan no 7 itu jelas sekali perintahnya yang perlu merubah pembahasan UU Cipta Kerja. Saya kira itu yang harus dikawal betul supaya nanti tidak melenceng seperti kemarin dan mari bareng-bareng ini ada juga pegiat lingkungan, pegiat HAM bareng-bareng, kemarin juga saya sudah mengajak para pakar hukum tata negara, yuk bareng-bareng kita tolak ini UU yang memang tidak berpihak pada warga negara kita," pungkas Martri.